HomeNalar PolitikMengapa Prabowo Kepincut Pesawat “Seken”?

Mengapa Prabowo Kepincut Pesawat “Seken”?

Kontroversi masih menyelimuti rencana Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto atas pembelian pesawat tempur bekas Eurofighter Thypoon dari Austria. Pengamat menilai langkah tersebut keliru dan berpotensi menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari. Namun, dengan berbagai pertimbangan komprehensif terkait situasi seputar budget serta analisa pertahanan yang ada, apakah langkah Prabowo tersebut merupakan yang paling tepat saat ini?


PinterPolitik.com

Keseriusan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dalam upaya memperkuat pertahanan negara tampaknya semakin jelas terlihat. Sebelum melakukan kunjungan terbarunya ke Turki, Prabowo secara resmi mengirim surat kepada Menhan Austria untuk mengungkapkan keinginan Indonesia memborong 15 pesawat tempur Eurofighter Thypoon milik negara Eropa Tengah itu yang otomatis nantinya berstatus “bekas”.

Embel-embel bekas itulah yang dinilai bermuara pada polemik di dalam negeri. Bahkan Direktur LSM Imparsial, Al Araf meyakini jika pembelian ini dilaksakakan, akan menimbulkan masalah akuntabilitas anggaran pertahanan dan risiko keselamatan prajurit TNI itu sendiri di kemudian hari.

Dari sisi spesifikasi, harus diakui bahwa pesawat Eurofighter Thypoon yang diproduksi oleh konsorsium gabungan Uni Eropa itu bisa dikatakan masih kalah superior jika dibandingkan duo pesawat tempur terpopuler di dunia, yakni F-16 buatan Amerika Serikat (AS) ataupun berbagai jenis Sukhoi buatan Rusia yang sudah dimiliki oleh Indonesia.

Namun demikian, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) agaknya memiliki penilaian lain mengenai standarisasi pertahanan kekinian yang paling tepat plus kecermatan kalkulasi anggaran di tengah krisis keuangan negara akibat pandemi.

Hal itulah yang juga disoroti oleh Rafael Carvera dalam Impact of the Economic Crisis on Defence Policy. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa meskipun dalam kondisi krisis ekonomi, memaksimalkan standarisasi pertahanan tetap tidak bisa ditawar dengan justifikasi efisiensi. Dalam konteks ini, Carvera menitikberatkan pada esensi particular adjustment atau penyesuaian partikular sebagai kunci utama dalam strategi pertahanan di tengah krisis.

Particular adjustment seperti yang disiratkan Carvera tersebut agaknya memang tengah diperagakan Prabowo terkait rencana pembelian Eurofighter Thypoon dalam menyusun strategi pertahanan negara, khususnya alutsista pesawat tempur di tengah pandemi Covid-19.

Analisa mengenai polemik pesawat Eurofighter Thypoon “seken” yang belakangan ramai, semestinya disandingkan pula dengan berbagai kebijakan serupa Prabowo sebelumnya. Misalnya, pada pertemuan antara Prabowo dan Menhan Rusia, Sergei Shoigu, di Moskow pada akhir Februari lalu. Prabowo bahkan telah menandatangani kontrak pembelian 11 pesawat tempur Sukhoi jenis Su-35 senilai US$ 1,14 miliar atau sekitar Rp 16,5 triliun.

Meskipun faktanya kontrak tersebut juga merupakan tindak lanjut kesepakatan yang sama pada era Menhan Ryamizard, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva berharap agar deal itu segera direalisasikan di era Prabowo.

Dengan realita tersebut serta mengacu pada esensi pernyataan Carvera sebelumnya, terdapat dua perspektif yang terbuka bagi interpretasi bahwa kalkulasi Prabowo mencakup tiga hal. Pertama, rencana pembelian Eurofighter Thypoon dari Austria serta Sukhoi Su-35 merupakan adjustment Prabowo sebagai strategi menakar, memperkaya, dan meningkatkan standarisasi jangka panjang TNI-AU meskipun dengan keterbatasan anggaran yang ada saat ini.

Baca juga :  Ke Mana Jokowi Akan Berlabuh?

Kedua, dengan fakta bahwa status pembelian kedua jenis pesawat tersebut yang masih belum final, ada tendensi bahwa langkah Prabowo terhadap negosiasi pembelian pesawat tempur Austria dan Rusia juga merupakan bagian dari taktik diplomasi pertahanannya.

Disinilah narasi menjadi menarik mengenai sejauh mana taktik Prabowo ini berhasil dalam menyeimbangkan realisasi diplomasi pertahanan dengan realisasi modernisasi alutsista, khususnya pesawat tempur bagi TNI-AU.

Jangan Takut Embargo, Pak Prabowo!

Jika memang manuver “ngidam” pesawat tempur dari beberapa negara sekaligus merupakan bentuk diplomasi pertahanan Prabowo, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri, utamanya terkait keseriusan komitmen hubungan antar negara, dalam hal ini pada aspek vital pertahanan.

Masih abu-abunya finalisasi dua kesepakatan formal pengadaan pesawat tempur yang telah mengemuka tersebut dinilai akan menjadi tendensi minor tersendiri jika berujung pembatalan, ketika faktanya yang menginisiasi pembelian pesawat tempur itu ialah pihak Indonesia melalui Menhan Prabowo sendiri.

Namun, kesan keragu-raguan Prabowo itu sedikit terkuak ketika Juru Bicara Kemenhan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa pembelian alutsista, termasuk pesawat tempur sangat memperhatikan pertimbangan geo-strategis dan potensi embargo bagi Indonesia jika salah langkah.

Pada titik ini, situasi menjadi sedikit tercerahkan saat rencana Prabowo membeli pesawat tempur bekas Austria, di sisi berbeda terlihat seperti membuka sebuah alternatif atau pengalihan, setelah sebelumnya sempat berencana membeli Sukhoi Su-35 dari Rusia. Hal ini juga mendukung rasionalisasi bahwa realisasi dua pembelian sekaligus pada saat yang berdekatan harus diakui tidak relevan dengan budget yang ada.

Dan bagaimanapun, ancaman embargo AS dalam balutan Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) memang menghantui setiap transaksi alutsista negara sekutu Paman Sam dengan negara yang secara formal digolongkan “terlarang” untuk terlibat dalam kongsi persenjataan, termasuk Rusia.

Namun demikian, sesungguhnya Prabowo tak perlu berlebihan merisaukan sanksi ataupun embargo dari pihak manapun saat ini. Hal ini sejalan dengan konklusi publikasi Richard Perkins dan Eric Neumayer yang berjudul The Organized Hypocrisy of Ethical Foreign Policy: Human Rights, Democracy and Western Arms Sales.

Perkins dan Neumayer mengatakan bahwa “ancaman” sanksi maupun embargo dari Barat, khususnya AS dalam sektor transaksi alutsista faktanya tidak melulu berlandaskan idelisme aspek politik semata. Kepentingan terkait materialistik seperti pasar alutsista, terutama di negara berkembang yang besar juga menjadi realita penunjang sebelum sanksi maupun embargo dikeluarkan.

Kecenderungan itulah yang seharusnya tidak perlu membuat Prabowo ragu apalagi takut dengan embargo yang diantisipasi jika bertransaksi alutsista, khususnya pesawat tempur dengan negara manapun.

Apalagi secara historis Indonesia pernah membalikkan embargo AS pada tahun 1995 hingga 2005, yang diakibatkan tudingan pelanggaran HAM Timor-Timor, menjadi sebuah kekuatan.

Pada tahun 2003, di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri, Indonesia justru memilih Rusia sebagai alternatif belanja alutsista yang turut berkontribusi bagi terbentuknya kekuatan anyar TNI-AU kala itu, yakni berupa tambahan satu skuadron pesawat tempur terbaru Sukhoi.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Apa yang dikatakan Perkins dan Neumayer juga senada pernah diterjemahkan oleh Tenaga Ahli PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisjahbana bahwa sesungguhnya eksistensi embargo alutsista justru merugikan AS sendiri karena akan kehilangan Indonesia sebagai salah satu pasar potensial.

Lantas, pertimbangan apa yang lebih tepat dan sebaiknya dimaksimalkan oleh Prabowo dalam aspek pengadaan pesawat tempur bagi Indonesia?

Saatnya Wujudkan Visi

Sebuah saran yang patut dipertimbangkan turut datang dari peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi yang meminta agar Prabowo jangan terbawa arus gembar-gembor isu pembelian pesawat tempur yang kemudian membuat keputusan hanya berdasarkan pertimbangan taktis, bukan pertimbangan strategis.

Ihwal yang disampaikan Fahmi tampak simultan dengan esensi yang disampaikan oleh John Paul Dunne dalam The Demand for Military Strategy in Developing Country, yang menyebut bahwa variabel strategis aspek pertahanan – berupa budget, kapasitas, serta potensi ancaman – di negara berkembang haruslah terkait dengan pemenuhan dan penyesuaian standar minimum yang ada.

Pada 2018 silam, Koorsahli KASAU, Marsda TNI Umar Hariyono mengatakan bahwa jika mengacu pada visi Ideal Essential Forces (IEF), kapasitas TNI-AU masih jauh dari memadai. Setidaknya, Indonesia membutuhkan sekitar 300 pesawat lagi, terutama pesawat tempur baru dengan pertimbangan potensi ancaman terbesar di Laut China Selatan (LCS). Frasa “baru” dari Hariyono menjadi menarik ketika memang problematika klasik Indonesia ialah mayoritas pesawat tempur yang ada berstatus bekas dan acapkali mengalami insiden.

Pada titik ini, Prabowo tentu memahami variabel strategis aspek pertahanan yang dikemukakan Dunne serta analisa konkret berbasis IEF tersebut. Akan tetapi sampai saat ini, belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan seolah Menhan Prabowo masih ragu-ragu untuk mendatangkan pesawat tempur terbaik guna memperkuat pertahanan Indonesia.

Serangkaian rekaan tendensi, realita, serta analisa di atas dinilai cukup untuk membuat Menhan Prabowo kiranya dapat lebih tegas lagi dalam membuat keputusan pengadaan alutsista, terutama pesawat tempur yang memang Indonesia sangat butuhkan.

Menjalin diplomasi pertahanan tentu sangat baik. Akan tetapi, jika di satu sisi hal tersebut tidak dengan kesungguhan komitmen realisasi kesepakatan, termasuk pembelian pesawat tempur, agaknya akan menodai esensi upaya permufakatan itu sendiri.

Oleh karena itu, Prabowo dinilai mesti lebih tegas dan cermat dalam bermanuver di level internasional untuk menyempurnakan alutsista Indonesia, terutama ketika ekspektasi publik dan urgensi pertahanan senantiasa menuntut progresivitas yang sejalan dengan tuntutan dinamika global. Itulah harapan kita bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?