Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan Peraturan Kepolisian terkait Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Aturan ini menimbulkan polemik lantaran dikaitkan dengan PAM Swakarsa yang eksis di akhir rezim Orde Baru. Lantas, apa sebenarnya tujuan Polri menghidupkan istilah tersebut?
Sekitar satu tahun yang lalu, mantan perwira tinggi TNI Kivlan Zen sempat menghebohkan publik karena menggugat eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto ke pengadilan atas tuduhan kasus korupsi.
Menariknya, gugatan Kivlan tersebut berkaitan dengan kasus yang sudah cukup lama, yakni mengenai Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa yang eksis saat masa transisi rezim Orde Baru menuju era reformasi.
Dalam gugatannya, Kivlan menyebut dirinya sempat mendapat perintah dari Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk membentuk organisasi PAM Swakarsa. Ia mengaku hanya diberi modal Rp 400 juta untuk menjalankan misinya itu.
Namun, karena dijanjikan akan mendapat jabatan tinggi di ABRI, Kivlan rela menutupi kekurangan dana tersebut dengan uang prbadinya. Dia mengklaim pembentukkan PAM Swakarsa dengan jumlah mencapai 30 ribu orang menghabiskan dana hingga Rp 8 miliar.
Setelah misi PAM Swakarsa selesai, Kivlan menyebut janji diberi posisi di ABRI tak kunjung terealisasi. Ia lantas menagih kekurangan dana pembentukan PAM Swakarsa kepada Presiden B.J Habibie yang kala itu didapuk menggantikan Presiden Soeharto.
Namun, menurut pengakuan Kivlan, Habibie telah memberikan uang operasional pembentukan PAM Swakarsa kepada Wiranto. Pemberian uang tersebut turut disaksikan mantan Menteri Koperasi, almarhum Adi Sasono, dan Jimly Asshiddiqie. Inilah yang menjadi dasar tuntutan Kivlan terhadap Wiranto.
Namun, belum juga gugatan Kivlan mencapai konklusinya, polemik PAM Swakarsa kembali muncul ke ranah publik belakangan ini. Hal ini berawal dari terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) RI Nomor 4 tahun 2020 oleh Kapolri Jenderal Idham Azis beberapa waktu lalu.
Dalam beleid tersebut, Idham kembali menghidupkan istilah PAM Swakarsa sebagai satuan keamanan lingkungan yang mendapat pengukuhan untuk mendukung kerja-kerja kepolisian. Penggunaan istilah tersebut lantas memantik kritik dari sejumlah pegiat Hak Asasi Manusia (HAM). Polri dituding tengah menghidupkan kembali ketakutan masa lalu dengan menghidupkan kembali PAM Swakarsa.
Istilah ini memang mendapatkan sentimen minor dari publik. Ini tak bisa dilepaskan dari kiprah organisasi tersebut yang dianggap menjadi alat Orde Baru untuk membendung arus demonstrasi.
Sejumlah Ormas yang tergabung ke dalam organisasi PAM Swakarsa di tahun 1998 adalah Pemuda Pancasila, FKPPI, Pemuda Panca Marga dan Banser. Negara saat itu dituding mengadu domba masyarakat sipil karena organisasi ini kerap berbenturan dengan massa pro reformasi.
Eksistensi PAM Swakarsa juga mendapat penolakan dari sejumlah tokoh politik kala itu, seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais. Organisasi ini juga kerap dikait-kaitkan dengan sejarah lahirnya Front Pembela Islam (FPI).
Meski Polri sudah melakukan pembelaan dengan menyebut istilah yang digunakan saat ini tak ada sangkut pautnya dengan yang terjadi di tahun 1998, namun penggunaan nama PAM Swakarsa kadung menimbulkan polemik di masyarakat.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya tujuan Polri menghidupkan kembali wacana PAM Swakarsa?
Community Policing
Mengacu pada Perpol nomor 4/2020, PAM Swakarsa merupakan suatu bentuk pengamanan oleh pengemban fungsi kepolisian yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Polri. Singkatnya, istilah ini merujuk pada pelibatan masyarakat dalam penegakan keamanan dan ketertiban umum.
Konsep pelibatan elemen masyarakat dalam kerja-kerja kepolisian sebenarnya bukan barang baru. Di beberapa negara konsep ini dikenal dengan istilah community policing atau pemolisian komunitas.
Dennis Rosenbaum dalam bukunya yang berjudul The Challenge of Community Policing mengatakan model pemolisian komunitas menekankan pada kemitraan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Model ini memungkinkan terjadinya kerja sama antara masyarakat dan polisi dalam pencegahan kejahatan dan berbagai macam gangguan ketertiban lainnya.
Pencegahan kejahatan yang menekankan pada peningkatan kapasitas masyarakat disebut dengan isitilah community crime prevention. Pencegahan kejahatan dengan pola ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan langkah yang dilakukan tanpa adanya kemitraan dengan masyarakat.
Untuk memahami bagaimana relasi antara penegakan ketertiban dan pencegahan kejahatan saling berkaitan, George L Kellng dan James Q Wilson mengajukan konsep yang dikenal dengan istilah broken windows theory atau teori jendela rusak. Mereka, dalam buku yang berjudul Fixing The Broken Windows, mengumpamakan jika sebuah jendela rumah pecah atau rusak dibiarkan saja, maka akan menimbulkan kesan adanya ketidakpedulian. Hal tersebut dapat memicu datangnya kerusakan-kerusakan lain.
Mereka lantas menjabarkan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki jendela yang rusat tersebut. Di antaranya menangani ketidaktertiban para pelanggar hukum minor, memberikan informasi kepada polisi untuk mengungkap kejahatan, hingga melibatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap tempat-tempat umum dengan menegakkan berbagai standar perilaku masyarakat.
Berangkat dari hal tersebut, maka memperbaiki jendela yang rusak dapat diibaratkan sebagai suatu kegiatan kepolisian yang menekankan perpaduan segenap potensi masyarakat yang ada dalam rangka melakukan pencegahan kejahatan pada tingkat paling awal.
Dengan adanya pemolisian komunitas, maka kepolisian bersama masyarakat dapat memperbaiki jendela yang rusak dengan cara bersama-sama mencegah kejahatan dan menangani gangguan sosial yang terjadi di lingkungannya agar dapat terselasaikan dan tidak tersebar lebih luas lagi.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka program PAM Swakarsa yang menekankan pada bentuk pengamanan yang dilakukan oleh pengemban fungsi kepolisian di masyarakat, dapat dimaknai sebagai usaha Polri dalam menjalankan konsep pemolisian komunitas. Hal ini juga bisa dianggap sebagai usaha pencegahan kejahatan yang berbasis masyarakat (community crime prevention).
Lalu apakah ini berarti PAM Swakarsa yang tengah dihidupkan Polri tak bisa serta merta disamakan dengan PAM Swakarsa yang ada di tahun 1998?
Berbeda dengan 1998?
Pasal 2 Perkap 4/2020 dijelaskan bahwa PAM Swakarsa bertujuan untuk meningkatkan pembinaan penyelenggara dan kemampuan dalam mengemban fungsi kepolisian terbatas di lingkungan masing-masing. Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono juga menyebut bahwa aturan ini sebenarnya sudah lama ada.
Aturan tersebut, lanjut Awi, merupakan perubahan peraturan setelah dilakukan evaluasi di tubuh Korps Bhayangkara. Salah satunya untuk menyelesaikan persoalan jumlah personel Polri yang tak seimbang dengan jumlah penduduk.
Mengacu pada penjelasan Awi, maka dapat dilihat bahwa Perpol 4/2020 tersebut bisa dimaknai dalam kacamata hukum responsif. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka yang berjudul Law and Society in Transition mengatakan bahwa hukum responsif menekankan pada pandangan kritis bahwa hukum merupakan cara untuk mencapai tujuan.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan dan kepentingan sosial. Selain itu sistem ini juga menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Tipe hukum responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat.
Jika diamati lebih jeli, Perpol nomor 4 tahun 2020 mengatur dengan detail bagaimana proses perekrutan, pembinaan, hingga tugas pokok dan fungsi dari PAM Swakarsa. Contohnya, dalam Pasal 3 Perpol tersebut mengatakan bahwa mereka yang bisa bergabung dalam PAM Swakarsa adalah Satuan Pengamanan (Satpam), Satuan Pengamanan Lingkungan (Satkamling), serta petugas keamanan yang berasal dari pranata sosial atau kearifan lokal seperti Pecalang di Bali, Kelompok Sadar Keamanan, hingga mahasiswa Bhayangkara.
Selain itu, Perpol ini juga mengatur dengan jelas bagaimana persyaratan dan tes yang harus dilalui oleh calon satuan PAM Swakarsa. Misalnya lulus tes kesehatan, psikotes, bebas narkoba, hingga memiliki batas minimal jenjang pendidikan.
Jika melihat aturan-aturan tersebut, PAM Swakarsa yang diatur dalam Perpol tersebut memang berbeda jauh dengan PAM Swakarsa yang ada di tahun 1998, yang mana pada saat itu diisi oleh ormas-ormas dan tidak memiliki kualifikasi yang jelas. Adapun polemik yang bergulir saat ini terjadi lebih karena penggunaan istilah yang bersinggungan dengan pengalaman buruk di masa lalu.
Namun di luar persoalan istilah, substansi dari PAM Swakarsa sendiri sebenarnya dapat dimaknai sebagai kemitraan Polri dengan elemen masyarakat yang selama ini sudah biasa dilakukan. Adapun aturan-aturan yang tertuang dalam Perpol teranyar tersebut hanya menyempurnakan landasan hukum terkait proses perekrutan anggota keamanan dari elemen masyarakat sebagai respons adanya persoalan keterbatasan jumlah personel polisi.
Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kiranya kurang tepat menyamakan PAM Swakarsa dalam Perpol nomor 4/2020 dengan PAM Swakarsa yang eksis di tahun 1998. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri juga, wacana ini tetap meninggalkan sejumlah persoalan krusial, misalnya terkait pengelolaan dana dan pengawasan program tersebut. Maka untuk memastikan program tersebut berjalan tepat sasaran, pengawasan publik yang ketat tetaplah dibutuhkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.