Dengarkan artikel berikut
Peradaban Islam sempat menjadi peradaban yang dominan dalam sejarah manusia. Lantas, mengapa Masa Keemasan Peradaban Islam bisa sirna?
Banyak umat Muslim yang mungkin kenal dengan nama seperti Ibnu Sina dan Al Khawarizmi. Yap, Ibnu Sina adalah sosok cendekiawan Muslim abad ke-10 yang berikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan, sementara Al Khawarizmi adalah cendekiawan Muslim abad ke-8 yang menemukan rumus Aljabar.
Dua figur sejarah tersebut kerap dipandang sebagai manusia-manusia terbaik yang lahir dalam era Masa Keemasan Peradaban Islam, suatu era ketika kerajaan-kerajaan besar Islam menjadi pemain besar dalam politik internasional yang pengaruhnya bahkan bisa dikatakan melampaui kejayaan sejumlah kerajaan besar Eropa ketika masanya dahulu.
Tidak main-main, kekhalifahan-kekhalifahan Muslim pada saat itu bahkan juga memiliki wilayah kekuasaan yang begitu luas, yakni dari daratan Iran modern hingga sebagian wilayah Semenanjung Iberia. Hal tersebut menjadikan peradaban Islam sebagai bagian dari segelintir peradaban di dunia yang bisa punya pengaruh secara global.
Kendati demikian, era keemasan Peradaban Islam tidak bertahan selamanya. Sesuai catatan sejarah, Masa Keemasan Peradaban Islam umumnya diakui dimulai pada abad ke-8 oleh Kekhalifahan Rasyidin dan berakhir pada abad ke-14 di era Kekhalifahan Abbasiyah.
Pada masa sekarang, meskipun masih ada negara-negara Muslim yang punya pengaruh internasional kuat seperti Arab Saudi dan Turki, pengaruh mereka sangatlah jauh di bawah kekhalifahan Muslim ketika Masa Keemasan Peradaban Islam.
Hal ini lantas kerap munculkan pertanyaan besar bagi para penyuka sejarah maupun politik. Mengapa Peradaban Islam yang pernah begitu besar bisa runtuh?
Rumitnya Memahami Keruntuhan Peradaban Islam
“Bumi dipenuhi dengan reruntuhan kerajaan yang percaya bahwa mereka abadi.”
Adagium dari Camille Paglia, seorang profesor di University of Arts, Philadelphia di atas kerap perenungan bahwa sebesar apapun pengaruh sebuah peradaban atau kerajaan di masa lampau, dan sehebat apapun mereka anggap dirinya sendiri, pasti akan menemui masa ketika keberlangsungan mereka harus berakhir.
Tentunya, layaknya peradaban-peradaban hebat sebelumnya, kejayaan Kekhalifahan Islam juga harus menemui akhirnya. Berhanundin bin Abdullah dan kawan-kawan dalam tulisan mereka The Weakness of the Islamic Civilization: The Causes and its Solution, menyimpulkan salah satu faktor menarik yang diduga kuat jadi penyebab berakhirnya kejayaan Kekhalifahan Islam.
Pertama, perseteruan politik internal yang berkelanjutan. Perbedaan pandangan politik dalam Kekhalifahan Islam selalu jadi benih dari permasalahan yang lebih besar. Perang sipil Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 865–866 Masehi, yang juga kerap disebut sebagai perang “Fitnah Kelima”, kerap dijadikan acuan dari rantaian konflik-konflik lain yang membuat Peradaban Islam mengalihkan fokusnya dari pengembangan ilmu pengetahuan ke perseteruan politik.
Sejak masa itu, banyak sejarawan yang berpandangan bahwa semangat Kesultanan Islam yang ditunjukkan pada tahun-tahun sebelumnya mulai hilang sedikit demi sedikit. Tadinya, Peradaban Islam kerap dipandang sebagai peradaban yang sangat menjunjung tinggi persebaran pengaruh politik melalui edukasi dan pembangunan. Akan tetapi setelah itu para Kesultanan Islam dinilai mulai terlalu fokus dalam menjadikan agama sebagai populisme politik agar kubunya bisa menjadi kubu yang dominan dalam keseluruhan kekhalifahan.
Kedua, kelelahan berperang. Ahmad Y. al-Hassan dalam tulisannya Factors Behind the Decline of Islamic Science, menyebutkan bahwa Kekhalifahan Islam mengalami tekanan pertahanan yang begitu besar karena menghadapi dua pertempuran besar, pertama adalah Perang Salib, dan kedua adalah Invasi Mongol.
Kendati Kekhalifahan memenangkan beberapa pertempuran di Perang Salib, contohnya seperti perebutan Jerusalem oleh Salahuddin, Kekhalifahan Islam sayangnya pada masa yang begitu berdekatan juga harus menghadapi invasi Mongol pada awal dan akhir abad ke-12. Invasi tersebut bahkan sampai menghancurkan Kota Baghdad yang pada masa itu menjadi salah satu pusat peradaban Islam.
Ketiga, al-Hassan juga menyoroti adanya pengaruh bencana alam. Pada tahun 968, Sungai Nil mengalami tingkat perendahan air yang menyebabkan kelaparan besar dan mengakibatkan kematian sekitar 600.000 orang. Tidak berhenti di situ, tragedi Sungai Nil, berlangsung selama tujuh tahun antara tahun 1066 dan 1072. Para petani di sana terpaksa meninggalkan pemukiman dan produksi pertanian di Kekhalifahan Islam sangat terganggu.
Namun, bencana alam terbesar Peradaban Islam adalah wabah penyakit pada tahun 1347, 1348, dan 1349, yang dikenal di Eropa sebagai Black Death. Penyakit tersebut melanda dunia Islam dan Eropa. Ribuan orang meninggal setiap hari, dan populasi Mesir, Suriah, dan Irak disebut berkurang sepertiganya. Mirisnya, Black Death ini kemudian diiringi wabah-wabah lain yang tidak kalah mematikan. Diperkirakan bahwa antara tahun 1363 dan 1515 saja, enam belas epidemi terjadi di Mesir dan lima belas terjadi di Suriah.
Tiga faktor di atas bisa disebut menjadi penyebab-penyebab terbesar mengapa Masa Keemasan Peradaban Islam berakhir. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah kejayaan Peradaban Islam kembali?
Tidak Bisa dari Timur Tengah?
Satu hal yang bisa dipelajari dari dinamika Peradaban Islam adalah ketidakpastian politik dan bahkan alam di Timur Tengah menjadi salah satu alasan utama mengapa Masa Keemasan Peradaban Islam berakhir. Dan jujur saja, hingga masa sekarang ketidakpastian itu masih menyelimuti dinamika politik negara-negara di Timur Tengah.
Kendati diisi oleh negara-negara mayoritas Islam, Timur Tengah kini jadi salah satu wilayah dengan potensi kestabilan politik yang paling rendah di dunia. Di bagian selatan mereka punya perseteruan antara Arab Saudi dengan kelompok Houthi di Yaman, di bagian barat mereka punya ketidakpastian dengan Israel, sementara di bagian timur dan utara ada potensi perang besar antara Arab Saudi dengan Iran.
Karena hal-hal itu, meskipun negara-negara Islam terkaya di dunia kini diisi oleh mayoritas negara-negara Timur Tengah, cukup sulit untuk membayangkan negara seperti Arab Saudi, Iran, ataupun Uni Emirat Arab akan sanggup secara independen kembali membawa kejayaan Peradaban Islam di dunia modern. Terlebih lagi, mereka sampai sekarang jadi perhatian utama para adidaya seperti Amerika Serikat (AS).
Maka dari itu, cukup menarik untuk dibayangkan bahwa mungkin satu-satunya negara yang bisa secara nyaman membawa kembali kejayaan Peradaban Islam adalah Indonesia. Kita tidak boleh lupa bahwa Indonesia mungkin adalah satu-satunya negara mayoritas Muslim di dunia yang punya potensi perang paling kecil, Indonesia pun memiliki modal besar baik dari aspek demografis dan sumber dayanya.
Akan tetapi, tentu pada akhirnya ini semua hanyalah asumsi belaka, di mana hal semacam ini hanya bisa terjadi bila Indonesia mampu melewati masa transisi ekonomi, politik, dan moralnya secara utuh dengan mempertahankan nilai-nilai toleransi.
Akan tetapi, sebagai sebuah bangsa yang terus berkembang, bukan tidak mungkin bila Indonesia nantinya bisa menjadi negara besar yang secara bersamaan pun menjadi mercusuar bagi negara-negara mayoritas Islam lainnya. (D74)