PDIP bersikap keras. Ultimatum dikeluarkan kepada Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi. Ini dikarenakan Bobby terbuka menyatakan dukungan pada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sementara PDIP mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tak tanggung-tanggung, Bobby diberi batas waktu menyerahkan KTA-nya.
“All political parties die at last of swallowing their own lies.”
― John Arbuthnot (1667-1735), polymath asal Skotlandia
Drama menuju Pilpres 2024 sepertinya belum akan berakhir antara keluarga Presiden Jokowi dengan PDIP. Terbaru, sikap Wali Kota Medan Bobby Nasution yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berbuntut panjang. PDIP sebagai partai pengusung utama yang mendudukkan Bobby di kursi Wali Kota Medan mengultimatum menantu Presiden Jokowi tersebut untuk memilih: PDIP atau sang ipar.
Ini setidaknya disampaikan oleh Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun yang mengaku telah menerima penjelasan dari Bobby yang menyatakan ingin mendukung Prabowo-Gibran, tetapi tetap ingin menjadi bagian dari PDIP. Partai banteng disebut menolak permintaan tersebut.
Kader PDIP disebut tak bisa “dua kaki” untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Jika ingin mendukung Prabowo-Gibran, Bobby diminta untuk menyerahkan kartu tanda anggota (KTA) dan mengundurkan diri secara resmi. Beberapa sumber bahkan menyebut Bobby diberi waktu 3 hari untuk serahkan KTA PDIP.
Nah, menariknya alasan Bobby memilih untuk mendukung Prabowo-Gibran adalah karena masalah kekerabatan. Namun, PDIP menyebut dukungan Bobby pada Pilpres 2024 tersebut bukan merupakan arahan dari Jokowi. Adanya nama Jokowi di sini tentu saja penting.
Pasalnya, meski Jokowi adalah kader PDIP dan diusung PDIP sejak wali kota, gubernur, hingga kemudian presiden, besar kemungkinan keberpihakan Jokowi akan cenderung ke sang anak, Gibran Rakabuming Raka. Ayah mana yang tak mendukung anaknya untuk meraih kursi kedua tertinggi di republik ini, kan?
Nah, hubungan tidak hangat antara keluarga Jokowi dan PDIP beberapa waktu terakhir ini membuat parpol lain mulai “menggoda”. Beberapa waktu lalu, Golkar membuka pintu untuk Gibran jika ingin bergabung. Gerindra bahkan lebih ekstrem lagi dengan cara membuka pintu untuk seluruh keluarga Jokowi.
Adapun sebelumnya, keanggotaan Gibran Rakabuming Raka di PDIP seusai menerima pinangan dari Prabowo Subianto sebagai bakal cawapres, juga dipastikan telah berakhir. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahkan mengatakan, putra sulung Presiden Jokowi tersebut telah menjadi bagian dari keluarga besar Partai Golkar.
Hasto menyebut Gibran telah mengembalikan KTA PDIP dan telah pamit ke partai merah itu. Gibran juga sudah mengirimkan surat pengunduran diri sehingga secara etika politik terpenuhi.
Tentu pertanyaannya adalah akankah sikap keras PDIP ini juga mulai ditujukan pada Presiden Jokowi juga? Apalagi dengan kompleksitas isu Gibran ini besar kemungkinan PDIP bisa saja dirugikan secara politik dalam pemenangan Pilpres 2024.
Memutus Keterikatan Politik Jokowi-PDIP
Bisa dibilang hubungan Jokowi dan PDIP telah tumbuh dalam sebuah keterikatan politik. Meski ada ups and downs panas-dingin dalam hubungan ini, keterikatan politik itu masih penting. Bagi Jokowi, dukungan politik PDIP di pemerintahan masih menjadi hal yang diperlukan. Sementara bagi PDIP, berada di pemerintahan Jokowi tentu masih menjadi hal yang utama. Itu sebabnya PDIP telah mengeluarkan pernyataan tak akan keluar dari kabinet Jokowi.
Nah, secara teoritis, konsep ikatan politik atau political attachment mengacu pada koneksi emosional atau hubungan pribadi yang dimiliki individu terhadap aspek-aspek politik. Ini mencakup identifikasi individu dengan partai politik, ideologi tertentu, atau figur politik.
Beberapa ilmuwan yang berbicara soal ini antara lain Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis yang hidup pada abad ke-19, dan menyumbang pemikiran tentang bagaimana faktor-faktor sosial yang dapat memengaruhi ikatan individu terhadap masyarakat dan institusi-institusinya.
Lalu ada David Easton, seorang ilmuwan politik Amerika, yang menyumbangkan konsep sistem politik dan pengaruhnya terhadap perilaku politik individu. Dia membicarakan bagaimana individu terhubung dengan sistem politik melalui proses seperti sosialisasi politik dan partisipasi politik.
Ahli lain yang berbicara soal ini adalah Maurice Duverger, Anthony Downs, John Aldrich, hingga Sidney Verba dan Norman Nie.
Setidaknya ada beberapa elemen kunci dalam ikatan politik, misalnya persoalan identifikasi partai atau ideologi. Dalam konteks ini, individu dapat memiliki ikatan politik dengan suatu partai politik atau ideologi tertentu. Identifikasi ini dapat berkembang melalui pemahaman dan pemikiran mendalam terhadap nilai, pandangan, dan tujuan yang dipegang oleh partai atau ideologi tersebut.
Pengalaman pribadi juga dapat memainkan peran penting dalam membentuk ikatan politik seseorang. Misalnya, pengalaman hidup, pendidikan, atau pekerjaan dapat memengaruhi pandangan politik seseorang dan mengarah pada pembentukan ikatan politik.
Ikatan politik juga bisa lagir akibat pandangan atau interaksi dengan figur politik tertentu. Mereka mungkin merasa terhubung secara emosional atau ideologis dengan pemimpin politik yang mewakili nilai-nilai atau tujuan yang dianggap penting.
Kemudian ada faktor konteks sosial dan budaya, pendidikan politik, hingga media dan komunikasi. Memang para ahli umumnya menekankan bahwa ikatan politik bersifat pribadi dan dapat berubah seiring waktu. Faktor-faktor seperti perubahan nilai-nilai pribadi, peristiwa politik, atau perubahan sosial dapat memengaruhi ikatan politik seseorang.
Dalam konteks relasi Jokowi dan PDIP, hal ini juga bisa saja berubah atau berdinamika. Jokowi memang digosipkan “kurang suka” ketika dalam banyak kesempatan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kerap mendelegitimasi posisi sang presiden dengan menyebutnya “petugas partai”, atau “Pak Jokowi itu kasihan tanpa PDIP”. Hal-hal inilah yang bisa saja memutus perlahan ikatan politik Jokowi dengan PDIP.
Beranikah PDIP?
Dalam konteks memutus ikatan politik, tentu saja PDIP tak akan berani dan terbuka mengultimatum Jokowi seperti Bobby Nasution. Secara kekuasaan, Jokowi jauh lebih powerful, memegang kendali utama atas republik, dan bisa bertindak secara independent dengan menggunakan semua variabel kekuasaan yang dimiliki.
Namun, secara teoritis, political attachment antara Jokowi dan PDIP bisa mengalami perubahan atau bahkan pemutusan. Pasalnya hubungan politik ini sangat dipengaruhi oleh dinamika politik aktual, kebijakan partai, peristiwa politik, dan banyak faktor lainnya.
Jika ada pergeseran dalam kebijakan atau program PDIP yang tidak sejalan dengan pandangan atau kebijakan Jokowi misalnya, hal ini bisa memicu perubahan dalam hubungan politik keduanya.
Persoalan lain adalah masalah kepemimpinan partai, isu-isu kontroversial, pertimbangan elektoral – misalnya dalam kasus pencalonan Gibran – dukungan dan respons publik, hingga faktor-faktor pribadi. Saat ini, Jokowi cenderung menjaga status quo dalam konteks hubungannya dengan PDIP. Harapannya tidak ada guncangan politik berlebih yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi nasional.
Namun, tak ada jaminan situasinya akan tetap sama hingga 2024 nanti. Bagaimanapun juga, kini tokoh-tokoh PDIP juga menduduki posisi sentral di kekuasaan – hal yang bisa ikut menentukan pemenangan Gibran. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)