Dalam suasana peringatan HUT Kemerdekaan ke-77 RI, tampaknya masih banyak hal yang bisa dibilang masih belum merasakan apa yang dinamakan “merdeka”. Paspor Indonesia, misalnya, menjadi salah satu identitas bagi para warga negeri ini yang masih dibayangi oleh berbagai hambatan.
“You got exactly what you asked for. Running out of pages in your passport” – Drake, “Hotline Bling” (2015)
“Merdeka!” begitulah bunyi pekikan yang kerap terdengar kala bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya setiap tahunnya pada 17 Agustus – entah itu Lyodra atau siapapun yang memiliki semangat membara untuk merayakan rasa kecintaan mereka pada negara ini.
Namun, meski negara ini telah mencapai pintu gerbang kemerdekaan setelah diantarkan oleh para pendiri bangsa, banyak orang tampaknya belum benar-benar memasuki pintu gerbang tersebut.
Bagaimana tidak? Tidak sedikit dari masyarakat masih belum bisa merasakan apa yang disebut sebagai kemerdekaan – mulai dari kemerdekaan berpikir hingga kemerdekaan finansial.
Kelompok muda Indonesia, misalnya, kini harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kemerdekaan finansial. Mungkin, banyak dari kita juga mengenal apa yang disebut sebagai generasi roti lapis (sandwich generation) – sebuah istilah untuk menggambarkan mereka yang harus memikirkan orang tua sekaligus anak-anak mereka.
Ya, itu hanyalah salah satu dari contoh kondisi yang mana kemerdekaan sepenuhnya belum terasa. Namun, ada satu contoh lain yang baru-baru ini juga menjadi perhatian publik dan media, yakni kemerdekaan bagi orang-orang Indonesia untuk benar-benar bisa menjadi bagian dari masyarakat dunia secara sepenuhnya.
Beberapa waktu lalu, media sosial (medsos) sempat digemparkan dengan kabar bahwa Kedutaan Besar (Kedubes) Jerman untuk RI menolak paspor-paspor Indonesia yang tidak memiliki kolom tanda tangan pengesahan (endorsement). Tentu, ini bisa saja berdampak pada mereka yang perlu berangkat ke Jerman – entah itu untuk keperluan berlibur, bekerja, hingga belajar.
Kabarnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bersama Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI akhirnya sudah berkoordinasi untuk menyediakan solusi bagi para warga negara Indonesia (WNI) yang paspornya tertolak oleh Jerman.
Namun, terlepas dari persoalan administrasi dan birokrasi yang ada di balik kelumit ini, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa paspor kita adalah paspor yang tidak terlalu kuat bila digunakan di luar negeri. Mudahnya, paspor Indonesia tidaklah terlalu “dipersilakan” masuk secara terbuka ke banyak negara.
Semakin banyak negara lain yang mempermudah pengurusan visa bagi paspor kita, semakin dianggap kuat juga paspor tersebut. Pun sebaliknya, semakin sulit paspor kita memperoleh visa dari banyak negara, semakin dianggap lemah paspor tersebut.
Dalam peringkat kekuatan paspor global (Global Passport Power Index) 2022 yang dikeluarkan oleh Passport Index, paspor Indonesia masih berada di peringkat 56 dengan skor 83. Apakah angka ini masuk akal bagi negara terbesar di Asia Tenggara?
Mungkin, guna memahami konteks bagaimana lemahnya paspor Indonesia, kita membutuhkan peringkat paspor negara lain sebagai perbandingan. Timor-Leste, misalnya, merupakan negara dengan kondisi ekonomi dan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia.
Namun, negara yang dulu pernah dianeksasi oleh negara kita tersebut justru memperoleh peringkat yang lebih baik, yakni peringkat 45 dengan skor 100. Fakta ini setidaknya bisa menimbulkan sejumlah pertanyaan.
Mengapa paspor Indonesia ternyata begitu lemah dibandingkan negara-negara lain – bahkan dari negara-negara yang lebih kecil? Apa yang membuat paspor kita belum bisa benar-benar “merdeka” untuk menjadi bagian dari mobilitas besar dunia?
Orang Indonesia Jarang Keluar Negeri?
Sebenarnya, ada banyak faktor yang menentukan kuat atau tidaknya paspor dari sebuah negara. Hal yang paling umum digunakan untuk mengukur hal tersebut adalah mobilitas warga negaranya di lalu lintas perpindahan manusia secara global.
Sebenarnya, sistem visa dan paspor antar-negara ini baru diterapkan semenjak negara-bangsa (nation-states) merajalela dengan adanya Perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Negara akhirnya bisa menerapkan kedaulatan penuh atas batas-batas teritorialnya.
Namun, dengan kedaulatan yang negara miliki, mengapa negara akhirnya membolehkan warga-warga negeri lain bisa memiliki mobilitas di dalam wilayahnya? Jawaban paling mudah yang terpikirkan adalah ekonomi.
Mengacu pada tulisan Eric Neumayer yang berjudul Unequal Access to Foreign Spaces: How States Use Visa Restrictions to Regulate Mobility in a Globalized World, negara akan melakukan trade-off atas kedaulatannya terhadap kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi.
Secara sederhana, semakin baik kondisi ekonomi masyarakat di suatu negara, semakin besar juga kesempatan pariwisata yang bisa diakses oleh masyarakat tersebut. Potensi jumlah wisatawan yang besar tentu juga membuat negara-negara lain ingin untuk membuka batas negara mereka kepada wisatawan-wisatawan tersebut.
Bagaimana tidak? Banyaknya wisatawan yang datang bisa dimaknai sebagai lebih banyak uang yang masuk ke negara mereka. Ini bisa berdampak positif bagi negara tersebut.
Selain kondisi ekonomi domestik, hubungan ekonomi antar-negara juga mempengaruhi – dalam hal ini adalah perdagangan. Negara yang dianggap penting dalam perdagangan biasanya akan mendapatkan fasilitasi visa yang dipermudah.
Negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), misalnya, menerapkan kebijakan bebas visa terhadap satu sama lain demi kepentingan kawasan bersama. Sebagai sebuah organisasi kawasan dengan potensi ekonomi dan perdagangan yang besar, negara-negara Asia Tenggara merasa perlu untuk mengintegrasikan ekonomi mereka – dan ini termasuk kemudahan mobilitas di antara warga-warga negara mereka.
Namun, pertanyaan lanjutan kemudian muncul. Dengan nilai perdagangan yang terus bertumbuh dengan negara-negara lain – seperti Uni Eropa, mengapa paspor Indonesia tetap lemah? Apakah ada faktor lain yang menentukan kuat atau tidaknya paspor dari sebuah negara?
Orang Indonesia Dikucilkan?
Faktor ekonomi tentu bukanlah satu-satunya alasan bagi sebuah negara untuk membuat kebijakan visa yang lebih mudah terhadap negara lain. Seperti yang diungkapkan oleh Neumayer, faktor politik juga menentukan.
Kita bisa mengambil Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai contohnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tiongkok merupakan salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Namun, besarnya potensi ekonomi negara ini tidak begitu saja membuat paspor negara tersebut kuat. Mengacu pada peringkat kekuatan paspor global 2022 dari Passport Index, Tiongkok justru menempati peringkat yang sama dengan Indonesia, yakni peringkat 56.
Menariknya lagi, jumlah negara yang memberikan kebijakan bebas visa kepada Indonesia justru lebih banyak ketimbang kepada Tiongkok. Paspor Indonesia mendapatkan kebijakan bebas visa dari 40 negara. Sementara, Tiongkok hanya mendapatkan bebas visa dari 31 negara.
Mengapa demikian? Di sinilah penjelasan Neumayer dalam tulisannya tadi bisa menjelaskan anomali ini. Setidaknya, dalam mobilitas penduduk antar-negara, selain kondisi ekonomi, kondisi dan situasi politik dalam negeri juga mempengaruhi.
Tiongkok, misalnya, dinilai masih memiliki kekuatan paspor yang lemah karena memiliki sistem politik yang otoriter. Terdapat semacam pembelahan di antara negara-negara yang menjunjung demokrasi dengan negara-negara yang menerapkan sistem yang otoriter – termasuk sejarah konflik politik yang terjadi di dalam negara tersebut.
Bukan tidak mungkin, inilah yang menyebabkan paspor Indonesia dinilai lemah. Seperti yang diketahui, indeks demokrasi Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy dengan skor 6,71 pada tahun 2021.
Selain itu, pembelahan ini juga terjadi di antara negara-negara maju serta negara-negara berkembang dan miskin. Semakin miskin negara tersebut, semakin terkucilkan dari rezim mobilitas dunia.
Neumayer pun menganggap bahwa ada semacam pembelahan yang disengaja oleh negara-negara maju dan demokratis terhadap negara-negara miskin dan otoriter. Alhasil, kesenjangan kekuatan paspor ini semakin tajam terjadi di antara dua kelompok negara-negara ini.
Pada akhirnya, dengan sistem paspor dan visa yang tercipta hierarkis, paspor Indonesia tetap bakal menjadi paspor yang lemah. Mungkin, inilah yang membuat orang-orang Indonesia menjadi tidak bisa relate dengan lirik lagu Drake di awal tulisan – yakni tidak bisa mendapatkan “kemerdekaan” dalam menghabiskan halaman yang ada di paspor kita. (A43)