HomeNalar PolitikMengapa Pandemi Tak Mampu Bendung Demonstrasi?

Mengapa Pandemi Tak Mampu Bendung Demonstrasi?

Pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) memantik gelombang protes dari masyarakat. Di sejumlah daerah, masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya meski dibayang-bayangi ancaman penularan Covid-19. Apa sebenarnya yang memicu masyarakat nekat mengambil resiko tersebut?


PinterPolitik.com

“Overcoming the primal urge to socialize means going against millennia of evolutionary programming”- Rebecca Renner

Beberapa waktu lalu, publik baru saja bernostalgia mengenang gerakan #ReformasiDikorupsi, sebuah gelombang aksi mahasiswa besar-besaran dalam menolak pengesahan revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi pada akhir September 2019 silam.

Sebelum disahkan, beleid itu memang sudah menimbulkan kontroversi. Publik menilai UU tersebut merupakan cara culas penguasa untuk membuat ‘pincang’ Komisi Antirasuah.

Selain substansi, aspek formalitas pengesahan UU tersebut juga dipersoalkan. Masyarakat semakin curiga lantaran pembahasan dan pengesahannya dilakukan dengan sangat cepat, tak seperti DPR yang biasanya lamban dalam menghasilkan produk legislasi.

Akumulasi sentimen publik tersebut akhirnya tumpah ruah ke jalan. Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia digempur oleh gerakan aksi mahasiswa. Saking besarnya, sebagian bahkan membanding-bandingkan pergerakan mahasiswa saat itu dengan demonstrasi pelengseran Soeharto di medio 1998 silam.

Baru saja genap satu tahun, masyarakat sepertinya kembali merasakan deja vu. Pengesahan RUU Ciptaker oleh legislator beberapa waktu lalu memiliki jalan cerita yang hampir identik dengan revisi UU KPK.

Dimulai dari surplus sentimen publik, pengesahan kilat, hingga menimbulkan aksi-aksi jalanan, semua berjalan persis seperti yang terjadi pada September tahun lalu. Bedanya, saat ini aksi-aksi tersebut terjadi di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda membaik.

Kerumunan massa yang terjadi di berbagai daerah membuat gusar sejumlah ahli kesehatan. Mereka khawatir, gelombang aksi tersebut akan memperparah penyebaran Covid-19.

Kendati aparat keamanan menegaskan tak akan mengeluarkan izin dengan dalih pandemi, namun hal itu tetap tak mampu membendung tekad masyarakat untuk turun ke jalan. 

Lantas mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah masyarakat sudah tak lagi menghiraukan ancaman pandemi?

Manusia Makhluk Sosial

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita mungkin sudah diajarkan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Hal ini berarti manusia akan selalu membutuhkan manusia lain dalam hidupnya.

Namun pernahkah kita bertanya mengapa manusia tumbuh menjadi makhluk sosial. Dengan segala kecerdasan yang dimiliki, bukankah seharusnya manusia mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri?

Rebecca Renner dalam tulisannya yang berjudul Why Some People Can’t Resist Crowds Despite The Pandemic menuturkan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial menjadi salah satu penyebab mengapa banyak masyarakat yang tetap mengambil risiko tertular Covid-19 demi dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Hasrat sosial tersebut, menurutnya telah terbentuk sepanjang evolusi dan melekat dalam genetika manusia.

Ia mengatakan 52 juta tahun silam, primata yang kelak menjadi nenek moyang manusia awalnya hidup secara individual. Namun karena adanya ancaman hewan buas dan predator, mereka akhirnya mulai hidup dalam kelompok-kelompok kecil.

Baca juga :  Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Seiring berjalannya waktu, primata-primata ini akhirnya tumbuh menjadi mahluk yang semakin sosial.  Tidak hanya dalam konteks mencari makan atau berburu bersama, tetapi juga saling merawat dan terkadang secara komunal membesarkan keturunan-keturunannya.

Ia menilai ketika suatu perilaku meningkatkan peluang suatu makhluk untuk bertahan hidup, perilaku tersebut dapat menjadi sifat yang diwariskan, dan setelah beberapa generasi, keturunannya akan mempraktikkan perilaku tersebut secara naluriah.

Namun untuk dapat mengafirmasi pemikiran Rebecca dengan kondisi saat ini, diperlukan teori yang lebih dekat ke periode hidup manusia modern. Pemikiran Yuval Noah Harari soal riwayat hidup manusia agaknya memenuhi kriteria tersebut.

Dalam bukunya Homo Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, Ia mengatakan bahwa manusia saat ini yang dikenal dengan spesies Homo Sapiens mengembangkan kemampuan sosial yang sampai saat ini dianggap sebagai ciri khas dan keunggulannya dari organisme lainnya.

Tak seperti kuda ataupun rusa yang dapat langsung berdiri tidak lama setelah dilahirkan, anak Homo Sapiens sangatlah lemah. Ini membuat Homo Sapiens harus membangun kemampuan sosial, seperti kerja sama keluarga yang bahkan melibatkan satu suku untuk membesarkan anak-anak mereka.

Kemampuan sosial tersebut kemudian memunculkan persoalan-persoalan baru kala Homo Sapiens mengubah pola hidupnya dari berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) ke pola bercocok tanam (agriculture) pada 10-12 ribu tahun yang lalu. Harari mengatakan transisi itu membuat manusia mulai mengenal, dan bahkan terperangkap dalam kemewahan.

Hidup dengan kemewahan ini kemudian membuat manusia menerima dengan wajar masalah-masalah baru, seperti konflik sosial yang diakibatkan oleh peradaban bercocok tanam.

Dengan memahami bagaimana manusia berkembang dari yang awalnya hidup secara individual hingga menjadi makhluk sosial yang terperangkap dalam kemewahan akan membantu kita memahami mengapa masyarakat tetap nekat mengambil risiko tertular Covid-19 untuk melakukan aksi memprotes RUU Ciptaker. Setidaknya ada dua alasan mengapa hal tersebut tetap dilakukan.

Pertama, UU Ciptaker merupakan beleid yang sangat berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Ini berarti aturan ini berkaitan langsung dengan kegiatan manusia dalam mengakumulasi kekayaan atau kemewahan. Manusia, yang oleh Harari disebut telah terperangkap dalam kemewahan rasionalnya akan melakukan perlawanan jika kegiatan-kegiatan tersebut terusik. 

Kedua, perilaku sosial membuat komunitas primata, termasuk manusia, menjadi lebih kuat dan menawarkan perlindungan kepada individu anggota kelompok. Hasrat ini kemudian mendorong masyarakat untuk lebih mengutamakan tindakan secara kolektif saat melakukan perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap menjadi ancaman bagi komunitasnya.

Lantas, jika aksi-aksi massa adalah sesuatu yang sulit dibendung, lalu kira-kira apa dampaknya bagi penanganan pandemi?

Bias Kognitif Pengaruhi Psikologi Massa?

Sekalipun diimbau ribuan kali untuk mematuhi protokol kesehatan, sifat manusia yang cenderung tak terkendali kala berada di tengah kerumunan membuat kegiatan demonstrasi memang sangat berisiko menjadi ladang penyebaran virus yang efektif.

Gustave Le Bon dalam bukunya yang berjudul The Crowd: A Study of the Popular Mind mengatakan massa dapat bertindak secara primitif dan tidak rasional. Hal ini disebabkan karena sikap setiap individu yang menjadi bagian dari massa dipengaruhi oleh sikap dan tindakan massa yang hadir.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?

Kembali pada pemikiran Harari mengenai manusia, Ia mengatakan bahwa ada tiga revolusi penting yang membentuk jalannya sejarah; yakni Revolusi Kognitif yang terjadi sekitar 70 ribu tahun lalu, Revolusi Agrikultur seperti yang sudah diulas sebelumnya, dan Revolusi Saintifik.

Revolusi Kognitif sendiri mengacu pada perkembangan otak Homo Sapiens yang memungkinkannya melakukan pencapaian yang belum pernah dilakukan organisme lain sebelumnya, seperti kemampuan berpikir dan berkomunikasi.

Namun, di sisi lain sejak munculnya Revolusi Kognitif, Harari menyebut manusia hidup dalam dua realitas. Yakni realitas objektif seperti sungai, pohon, dan singa, serta realitas yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri seperti negara dan korporasi.

Dualisme realitas dalam hidup manusia ini kemudian memunculkan fenomena yang disebut dengan bias kognitif. Salah satu bias kognitif yang kerap menimbulkan persoalan sosial adalah bias in-group dan out-group.

Seorang psikolog Polandia Henri Tajfel menyebut bias in-group dan out-group muncul karena manusia seringkali membutuhkan identitas sosial untuk menjelaskan posisinya terhadap orang lain. Hal ini kemudian menyebabkan mereka seringkali memandang kelompok lain tidak sebaik kelompoknya sendiri. Padahal keberadaan kelompok itu sendiri tak lebih dari imajinasi yang diciptakannya sendiri.

Berangkat dari sini, maka kecenderungan manusia untuk bertindak secara primitif dan tidak rasional ketika berada dalam suatu kerumunan terjadi karena imajinasinya menuntun mereka untuk berpikir bahwa Ia adalah bagian dari suatu kelompok, yang berbeda dan lebih baik dari kelompok lainnya.

Dalam konteks UU Ciptaker, disparitas identitas yang terbentuk adalah antara rakyat dan penguasa. Rakyat yang merasa haknya telah diusik oleh penguasa memandang mereka sebagai kelompok luar yang tidak lebih baik dari kelompoknya.

Bias in-group dan out-group ini kemudian mendorong tiap-tiap anggota kelompok yang berseteru untuk membela kelompoknya dengan segala cara dan berusaha mengalahkan kelompok lawan. Hal ini kemudian memicu mereka untuk cenderung bertindak tidak rasional.

Hal ini kemudian membuat kekhawatiran para ahli kesehatan akan munculnya klaster-klaster Covid-19 dari aksi-aksi demonstrasi menjadi sangat beralasan.

Pada akhirnya, meskipun berpotensi memperburuk penyebaran Covid-19, namun  aksi-aksi massa sebagai respons atas UU Ciptaker memang tak bisa dihindari. Hal ini karena naluri manusia untuk bersosialisasi membuat mereka akan lebih mengutamakan upaya kolektif dalam mengambil tindakan.

Akan tetapi, sekelumit penjelasan tersebut tentunya hanyalah interpretasi semata. Mari tetap berharap aksi-aksi massa yang terjadi merespons pengesahan RUU Ciptaker tak akan berlarut-larut terlalu lama sehingga menjadi hal yang kontraproduktif terhadap penanganan pandemi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...