Pernyataan Yaqut Cholil Qoumas soal pos Menteri Agama (Menag) adalah hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU) memantik kritik dan diskursus hangat. Terlebih lagi, sebelumnya juga ada asumsi Menag idealnya diberikan untuk mereka yang terafiliasi dengan NU. Apakah pos Menag begitu penting bagi NU?
“Politics is not a game, but a serious business.” – Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya
Cukup mengejutkan, untuk pertama kalinya setelah Reformasi, purnawirawan TNI kembali ditunjuk sebagai Menteri Agama (Menag). Siapa lagi kalau bukan Fachrul Razi. Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantiknya, diskursus tidak hanya berputar soal latar belakangnya dari militer, melainkan mengapa pos ini tidak diberikan ke Nahdlatul Ulama (NU)?
Pada 23 Oktober 2019, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Robikin Emhas juga menyampaikan protes banyak kiai di daerah karena kecewa dengan keputusan Presiden Jokowi menunjuk Fachrul.
Menariknya, tidak hanya dari pihak luar, Fachrul Razi sendiri juga mempertanyakan mengapa dirinya ditunjuk sebagai Menag. “Kalau saya menebak-nebak Pak Jokowi, mungkin karena saya suka ibadah dan suka ceramah, temanya Islam damai dan toleransi serta persatuan kesatuan,” ungkapnya pada 23 Oktober 2019.
“Kan banyak Islam radikal itu, saya kira karena menafsirkan agamanya itu salah. Nah, mungkin Pak Jokowi melihat saya bisa membantu menciptakan suasana damai dan membangun persatuan,” lanjut Fachrul.
Baca Juga: Larang Cadar, Menag Fachrul Hobbesian?
Sejak Reformasi, posisi Menag memang terlihat lekat dengan NU. Dari sembilan Menag, hanya tiga yang tidak terafiliasi NU, yakni Abdul Malik Fadjar (1998-1999) dari Muhammadiyah, Agung Laksono (Mei-Juni 2014) dari Partai Golkar, dan tentunya Fachrul Razi (2019-2020). Saat ini, pos tersebut kembali di tangan NU dengan terpilihnya Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor 2015-2020, menggantikan Fachrul pada Desember tahun lalu.
Meskipun sudah kembali ke NU, akhir-akhir ini posisi Menag kembali menjadi diskursus hangat karena pernyataan Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut. Ya, apalagi kalau bukan klaim Menag adalah hadiah negara untuk NU.
Kendatipun telah meluruskan bahwa pernyataan tersebut disampaikan di forum internal dan bertujuan untuk memberi semangat kepada santri dan pondok pesantren, berbagai kalangan, termasuk dari NU sendiri tetap melayangkan kritik.
Dengan adanya asumsi Menag idealnya diisi NU dan pernyataan kontroversial Gus Yaqut, ini kembali mengangkat pertanyaan, mengapa posisi Menag begitu lekat dengan NU? Apakah pos ini begitu signifikan?
Gerbang Penjaga Toleransi
Terlepas dari penegasan Gus Yaqut bahwa Menag untuk semua agama dan ormas keagamaan, telah menjadi diskursus umum bahwa posisi ini memang cocok diberikan untuk NU. Ini terkait dengan penyematan NU sebagai gerbang penjaga toleransi, di mana NU dinilai memiliki paradigma yang lebih inklusif dari ormas keagamaan lainnya. Konteks inklusivitas ini juga terlihat pada tebakan Fachrul terkait mengapa dirinya ditunjuk sebagai Menag.
Di awal pembentukan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, narasi kabinet anti-radikalisme juga menjadi diskursus umum. Tidak hanya soal penunjukan Fachrul sebagai Menag, melainkan juga ditariknya Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Namun sayang, penunjukan Fachrul tampaknya menjadi backlash. Berbagai pernyataan kontroversialnya, seperti wacana melarang cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), memantik kritik keras dan mengentalkan polarisasi. Ini mungkin menjadi pertimbangan utama mengapa reshuffle Desember 2020 menyasar Menag dan memberikannya kepada NU.
Slamet dalam tulisannya Nahdlatul Ulama dan Pluralisme: Studi Pada Strategi Dakwah Pluralisme NU di Era Reformasi, dengan jelas menyebut NU sebagai organisasi Islam yang mengusung dan menjaga pluralisme di Indonesia.
Baca Juga: Bom Waktu Kabinet Anti-Radikalisme Jokowi?
Dalam tulisannya, Slamet menyebutkan tiga tokoh yang memberikan warna bagi pemikiran pluralisme NU, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Ahmad Hasyim Muzadi, dan Kiai Said. Mendirikan Wahid Institute pada 7 September 2004, Gus Dur dikenal menggunakan pendekatan normatif dalam menyikapi pluralisme.
Kiai Hasyim yang mendirikan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 24 Februari 2004 lebih memahami pluralisme sebagai sebuah realitas sosial atau dari pendekatan sosiologis. Sementara Kiai Said melihat pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan sejarah, atau lebih kepada pendekatan historis melalui pemikirannya, interfaith dialogue.
Terkait kesimpulan NU sebagai gerbang penjaga toleransi karena mengusung pluralisme bukannya tanpa kritik. Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi dalam tulisan mereka The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia, misalnya, menyebut NU terjebak dalam mitos toleransi karena kader NU di akar rumput justru menunjukkan sikap-sikap intoleran.
Kritik Mietzner dan Muhtadi mungkin tepat, tapi dalam hemat penulis, penekanannya bukan pada poin tersebut jika membahas Menag. Pasalnya, ini bukan soal NU bersama kader-kadernya yang mengurus Kementerian Agama (Kemenag) dan menjaga toleransi, melainkan pentingnya posisi Menag diisi oleh mereka yang mengusung nilai pluralisme. Di titik ini, tokoh NU seperti Gus Yaqut dapat dikatakan cocok.
Ada Persoalan Lain?
Namun, apabila merujuk pada filsuf Prancis Jacques Derrida, ada pre-teks di balik teks, sekiranya tidak berlebihan jika terdapat dugaan, perjuangan nilai toleransi dan pluralisme bukanlah satu-satunya alasan Menag terlihat lekat dengan NU.
Apalagi, mengutip pernyataan mantan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill di awal tulisan, politik adalah “bisnis” yang serius, Menag sekiranya memiliki signifikansi lain bagi NU. Sebagaimana diketahui, Kemenag membawahi sekolah-sekolah agama dan pondok pesantren yang disebut-sebut menjadi fokus NU.
Wasisto Raharjo Jati dalam tulisannya Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, menyebut NU dapat dikatakan sebagai praktik berjejaring para ulama dan pesantren dalam praktik keagamaan yang mengedepankan tradisi maupun kebebasan dalam berpikir keagamaan yang tidak sepenuhnya mengedepankan konservatisme.
NU menggunakan politik komunalisme yang dilakukan oleh santri dan kalangan nahdliyin. Dikarenakan bertumpu pada komodifikasi kultur tradisi patronase ulama dan santri, NU sendiri dapat dikatakan sebagai “pesantren besar” dan pesantren adalah “NU kecil”. Oleh karenanya, menurut Wasisto, merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan pondok pesantren merupakan representasi kultural NU.
Baca Juga: RUU Pesantren, Rivalitas NU-Muhammadiyah?
Singkatnya, dapat dikatakan NU memiliki ikatan sejarah dan emosi yang dalam dengan pesantren. Mengutip Grace Fleming dalam tulisannya The Importance of Historic Context in Analysis and Interpretation, konteks hubungan historis merupakan faktor utama yang membuat kenangan, cerita, dan karakter menjadi bermakna. NU adalah organisasi pesantren. Ia lahir dari rahim pesantren dan masyarakat pedesaan.
Perhatian besar terhadap pesantren misalnya terlihat dari kritik Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Abdul Ghofar Rozin pada 10 Juni 2020. Menurutnya, wacana bantuan pemerintah sebesar Rp2,36 triliun kepada 21 ribu pondok pesantren untuk menunjang penerapan new normal jauh dari bayangan karena terlalu kecil.
Well, sebagai penutup, kita mungkin dapat menyimpulkan dua hal mengapa posisi Menteri Agama penting bagi Nahdlatul Ulama. Pertama, ini sejalan dengan nilai mereka dalam menjaga toleransi dan pluralisme. Kedua, ini terkait posisi Kementerian Agama yang menaungi pondok pesantren. (R53)