Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?
Megawati Soekarnoputri tengah menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena dinamika yang terjadi di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) partai yang sejak berdiri telah dipimpinnya, melainkan lebih kepada pernyataan yang disampaikan saat Presiden ke-5 RI tersebut meresmikan patung Ir. Soekarno di Lampung.
Dalam momen tersebut, Megawati secara terbuka menginginkan patung sosok yang akrab disebut Bung Karno itu untuk dibangun di seluruh daerah guna mengingat jasanya sebagai tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia. Menurut Megawati, suka tidak suka, mau tidak mau, sosok Soekarno merupakan proklamator Indonesia.
Oleh karena itu, Presiden ke-5 RI tersebut berdalih pembuatan patung ini juga menjadi sarana bagi generasi muda untuk mengingat sejarah para pahlawan bangsa khususnya sang proklamator tersebut. Sontak, hal ini pun menimbulkan berbagai tanggapan dan reaksi bernada pro-kontra di masyarakat.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Fadli Zon menilai bahwa pembangunan patung Soekarno di setiap daerah tidak diperlukan. Anggota Komisi I DPR RI tersebut menambahkan perjuangan kemerdekaan bukan milik Soekarno seorang – meningat masih banyak pejuang lain seperti pahlawan di daerah yang belum dikenal.
Terkait hal ini, data menarik datang dari lembaga The Soekarno Center yang mencatat dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan pembuatan patung Soekarno sebanyak 120%. Tren pembuatan patung Bung Karno memang tercatat terus meningkat – khususnya ketika upaya “de-Soekarno-isasi” yang melarang pembuatan hal-hal simbolik yang berkaitan dengan Presiden Soekarno telah dihapus pasca-Reformasi.
Baca Juga: Ketika I.J. Kasimo “Tertawakan” Nasakom Soekarno
Hal ini tentu menarik untuk dianalisis. Mengapa saat ini penting bagi Megawati untuk menginisiasi pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah? Lalu, kepentingan politik apa yang ingin diperoleh Megawati dari pembangunan patung ini?
Pengkultusan Sosok Soekarno
Mendengar nama Soekarno, akan langsung membuat kita ingat pada sosok seorang pemimpin yang sangat kharismatik. Suka atau tidak, nama Soekarno entah bagaimana telah menjadi jargon politik yang begitu mumpuni.
Para penerus trah Soekarno – seperti Megawati Soekarnoputri – telah merasakan bagaimana membawa nama Soekarno di belakang nama mereka dapat menjadi magnet politik tersendiri. Mega yang bahkan telah begitu dominan bersama PDIP nyatanya masih kerap menggunakan nama Soekarno sebagai dalih putusan politik – misalnya saja pada alasan perpindahan ibu kota ke Kalimantan yang disebut sebagai pesan Soekarno.
Hal yang sama juga ia lakukan saat menginisiasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Megawati berdalih ingin melanjutkan cita-cita Bung Karno di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Terbaru, dalam kasus ini, seperti yang diketahui dengan dalih agar generasi muda tidak mudah melupakan sejarah dan para sosok pahlawan, Megawati mewacanakan akan membangun patung Bung Karno di tiap daerah.
Terkait hal ini, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Budiawan, memaparkan bahwa pada dasarnya memang sebuah patung dibuat untuk mengingatkan orang akan heroisme seorang tokoh sejarah. Namun, makna yang direpresentasikan sebuah patung bergantung pada pembentukan wacana dominan seputar patung tersebut.
Keberadaan patung sendiri hanya berfungsi sebagai simbol pengingat, narasi yang dibangunlah yang kemudian menjadi ingatan bersama masyarakat. Berdasarkan analisis tersebut, dalam kasus ini maka sah-sah saja jika kita menginterpretasikan wacana pembuatan patung Soekarno di tiap daerah ini sebagai salah satu indikasi atau gejala pengkultusan Soekarno yang sedang dilakukan oleh Megawati.
Xavier Marquez dalam A Model of Cults of Personality menyebut pengkultusan sosok ini sebagai flattery inflation atau inflasi pujian. Istilah tersebut memang terbilang tepat. Pasalnya, ketika suatu sosok telah dikultuskan, terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan pujian atau sanjungan – baik yang dilakukan secara sewajarnya maupun yang sering kali juga dilakukan secara berlebihan.
Pengkultusan sosok ini kerap kali terjadi pada pemimpin-pemimpin bertangan besi atau otoriter yang, jika merujuk pada istilah sosiolog terkemuka Jerman bernama Max Weber, disebut sebagai charismatic leader atau pemimpin karismatik. Beberapa di antaranya ialah Fidel Castro yang begitu dikultuskan oleh masyarakat Kuba dan dikenang sebagai nama jalan, monumen, hingga patung.
Baca Juga: Permesta: Saat Amerika Serikat Perang Lawan Soekarno?
Contoh lainnya adalah pemerintah Tiongkok yang memasukkan propaganda pemimpin karismatik mereka, Xi Jinping, melalui aplikasi buku digital yang dikenal sebagai buku merah “Xi Thought” ke dalam kurikulum wajib bagi seluruh pelajar sekolah hingga universitas. Buku tersebut sendiri secara umum membahas tentang karakteristik kepemimpinan dan kebijakan sosialisme yang dirancang oleh Xi Jinping yang wajib untuk dipelajari semua pelajar.
Dari dalam negeri, pengkultusan seperti ini juga lazim terjadi di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru, pengkultusan terhadap sosok yang dijuluki “The Smilling General” itu terjadi melalui berbagai karya seni, seperti film dan musik.
Beberapa di antaranya adalah film Janur Kuning (1979) yang menggambarkan heroisme Soeharto sebagai sosok kunci di balik Serangan Umum 1 Maret 1949. Tentu saja, ada juga film legendaris G30SPKI yang menggambarkan peran vital Soeharto dalam mengatasi PKI.
Namun, konteks pengkultusan semacam ini memang bisa berdampak negatif, katakanlah misalnya yang terjadi pada Presiden Soeharto. Pengkultusan Soeharto adalah salah satu caranya untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Castro pun menyadari efek negatif dari pengkultusan ini. Bahkan, sebelum wafat, pemimpin Kuba itu sendiri menyampaikan permintaan khusus kepada masyarakat dan pemerintah agar tak lagi mengkultuskan dirinya. Lantas, apakah politik kultus ini masih relevan untuk digunakan saat ini?
Masih Relevan?
Menariknya, dalam kasus ini pengkultusan terhadap sosok Soekarno tidak hanya dilakukan oleh trahnya sendiri seperti yang dilakukan oleh Megawati, Sukmawati, dan anak-anak Soekarno lain. Sampai saat ini, berbagai pihak nyatanya masih mengagungkan nama salah satu orator terhebat Indonesia tersebut.
Terbaru ini, misalnya, terlihat dari berbagai kunjungan ke makam Soekarno yang kerap dipertontonkan oleh berbagai politisi seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini (Risma) yang seolah menjadi semacam ritual sebelum berlaga di kontestasi elektoral.
Sebelum itu, pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu, Prabowo Subianto yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan trah Soekarno juga tak absen untuk menyempatkan diri berziarah ke makam Soekarno di Blitar, Jawa Timur.
Baca Juga: Buya Hamka: Tak Dendam Meski Dipenjara Soekarno
Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya memaparkan hal-hal tersebut membuat demokrasi Indonesia masih terjebak dalam demokrasi kultus karena terpusat pada penghormatan secara berlebihan kepada orang dan paham tertentu. Fenomena politik kultus ini semestinya sudah tak lagi digunakan jika kita mengacu pada semangat demokratisasi dan reformasi yang telah dicapai Indonesia.
Demokrasi kultus ini membuat kita terjebak pada pembicaraan mengenai tokoh dan bukan gagasan besar demokrasi Sementara, semangat reformasi tak lagi membicarakan mendukung siapa atau melawan siapa, melainkan membawa nilai-nilai yang dibawa dalam agenda Reformasi.
Kembali ke pertanyaan awal, lalu, mengapa para politisi masih beramai-ramai melakukan praktik politik kultus ini khususnya kepada sosok Soekarno? Apakah hal ini masih relevan?
Terkait hal ini, budayawan Hilman Farid mengungkapkan satu hal yang membuat sosok Soekarno masih menarik sehingga banyak pihak berlomba mengkultuskannya adalah karena konsep, gagasan dan pemikirannya dianggap masih relevan hingga saat ini.
Salah satu contohnya adalah konsep Trisakti, yang saat ini dipakai Presiden Jokowi sebagai prinsip dasar program pembangunan Indonesia. Selain itu meski belakangan juga terdapat narasi serupa terhadap sosok lain seperti Hatta dan Natsir, namun sosok Soekarno dianggap masih belum tergantikan.
Sosok Soekarno juga dinilai masih belum tergantikan sebagai sosok yang memiliki aura nasionalisme yang kuat, dalam kontestasi elektoral hal ini menjadi magnet utama bagi pemilih dari kalangan nasionalis yang sangat diperebutkan.
Hal inilah yang membuat pengkultusan terhadap sosok Soekarno sejauh ini dianggap masih relevan, apalagi bagi Megawati sendiri yang mempunyai hubungan langsung dengan sosok tersebut.
Well, terlepas dari semua pro-kontra ini, idealnya untuk saat ini memang kita tidak bisa terus menerus terjebak dalam demokrasi kultus terhadap satu tokoh. Karena, demokrasi yang berkualitas sejatinya harus berani keluar dari pengkultusan individu dan bergerak ke demokrasi yang lebih bernilai. (A72)
Baca Juga: Saat Soekarno Bertemu Atatürk