Pertanyaan “kandidat yang satu itu keturunan Tionghoa, bukan?” kerap dibunyikan dalam hampir setiap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Mengapa rasa takut akan etnis Tionghoa bisa begitu mewabah di Indonesia?
Ketika Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diterpa isu rasisme, ia dirumorkan memiliki kedua orang tua keturunan Tionghoa, dan mewakili kepentingan Tiongkok di Indonesia. Mantan Walikota Solo itu pun sempat disebut tersandera oleh para pebisnis Tionghoa dan secara ideologis mendukung gerakan komunisme ala Tiongkok.
Ya, fake news yang sempat menyerang Jokowi hanyalah salah satu contoh saja dari maraknya sentimen anti-Tionghoa atau sinofobia yang kerap terjadi di Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan BBC World Service pada tahun 2017 menemukan bahwa pandangan positif masyarakat Indonesia pada Tiongkok hanya 28 persen, sementara 50 persen memiliki pandangan negatif.
Jangan jauh-jauh, di lingkungan keseharian saja, entah itu di tempat kerja, bermain, atau keluarga sekalipun, terkadang obrolan yang menganggap Tiongkok dan etnis Tionghoa sebagai sesuatu yang perlu dicurigai masih terjadi di mana-mana.
Dan lebih mirisnya, kalau melihat catatan sejarah, Indonesia juga memiliki sejumlah catatan kelam terkait kekerasan pada etnis Tionghoa, seperti Peristiwa Mangkuk Merah 1967 dan Kerusuhan Mei 1998, yang telah menelan ribuan korban jiwa orang Tionghoa.
Menariknya, bias negatif pada etnis Tionghoa di Indonesia tampak tidak adil bila mengingat sejarah bahwa Indonesia pada masa lalu justru dijajah oleh Belanda dan Jepang, bukan Tiongkok. Tapi, masyarakat kita jarang atau bahkan mungkin tidak pernah bertanya tentang peranakan seorang calon pemimpin apabila ia adalah keturunan Jepang atau Belanda.
Lantas, mengapa masyarakat Indonesia bisa begitu takut dan tidak percaya pada etnis Tionghoa?
Akar Sinofobia Indonesia
Persoalan rasisme telah menjadi permasalahan yang selalu ada dalam hampir setiap negara di dunia, tidak hanya Indonesia. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, rasisme yang begitu parah tidak hanya terjadi pada etnis kulit hitam di sana, tetapi juga orang-orang peranakan pribumi Amerika, yang umumnya dijuluki “Indian”.
Benjamin P. Bowser dalam tulisan Racism: Origin and Theory, menjelaskan bahwa persoalan rasisme muncul dalam tiga tingkat, yakni tingkat kultural, institusional, dan individual. Dalam tingkat kultural, rasisme bisa begitu menjamur dalam masyarakat karena adanya suatu konstruk sosial yang mampu membentuk kepribadian seseorang untuk membenci etnis tertentu.
Terkait sinofobia di Indonesia, konstruk sosial yang membuat orang begitu membenci etnis Tionghoa besar dugaannya bermula dari era kolonial Belanda. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, sejak Belanda masuk ke Indonesia pada abad ke-16, Belanda membutuhkan bantuan dalam membangun kota-kota yang dikuasainya di Indonesia, namun Belanda tidak ingin memberikan kepercayaan pada orang pribumi.
Oleh karena itu, Belanda memilih etnis Tionghoa yang sudah ada di Indonesia sejak era Kerajaan Majapahit sebagai kelas sosial yang lebih percaya dibanding pribumi. Banyak etnis Tionghoa yang kemudian jadi mitra dagang, sekaligus pemungut pajak.
Etnis Tionghoa pun diberi eksklusivitas oleh Belanda, dengan memisahkan tempat tinggal mereka dari pribumi, seperti dengan penetapan Wijkenstelsel, yakni aturan untuk menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di beberapa kota besar Hindia Belanda.
Setelah Belanda sudah tidak menjajah Indonesia, kecemburuan terhadap eksklusivitas ini masih membekas di masyarakat Indonesia, karena menjadi cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Kecemburuan ini kemudian membawa kita ke tingkat rasisme kedua dari Bowser, yakni tingkat institusional. Menurut Bowser, rasisme yang terjadi di sebuah negara juga bisa muncul karena ditunjang beberapa aturan yang diterbitkan institusi negara, yang membuat hanya beberapa etnis saja yang mendapatkan privilese, sementara etnis tertentu semakin terlihat didiskriminasi.
Di Indonesia, kembali melihat sejarah, kepemimpinan Presiden pertama, Sukarno, dan Presiden Suharto, memang bersinggungan keras dengan maraknya sentimen anti-Tionghoa. Sukarno pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1959, yang isinya adalah larangan bagi pengusaha asing untuk membuka usaha di beberapa daerah di Indonesia.
Meski aturan itu ditujukan untuk Warga Negara Asing (WNA), tapi PP itu juga berimbas pada etnis Tionghoa yang memang tinggal di Indonesia.
Di era Suharto sinofobia justru semakin menguat. Meski sang Smiling General memiliki hubungan dekat dengan para pebisnis Tionghoa, kehidupan etnis Tionghoa pada saat itu mendapatkan diskriminasi besar akibat diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang mengatur tetang tata agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa.
Di aturan tersebut, kebudayaan Tionghoa bahkan dianggap dapat mempengaruhi psikologi, mental, dan moral yang tidak wajar di Indonesia. Karena itu, pembedaan antara “pribumi” dan “keturunan Tionghoa” semakin menjadi-jadi.
Kemudian, tingkat rasisme yang ketiga dari Bowser adalah tingkat individual. Menurut Bowser, rasisme dapat terjadi karena sifat prasangka selalu ada dalam setiap individual.
Pendapat ini didukung oleh studi yang dilakukan Nathalia Gjersoe dalam tulisannya How Young Children Can Develop Racial Biases – And What That Means, yang menemukan bahwa pada usia tiga bulan, seorang bayi manusia cenderung lebih suka melihat gambar wajah dari ras mereka sendiri. Lalu, ketika berusia sembilan bulan, bayi akan merasa lebih familiar dengan wajah dari ras yang sama.
Hal ini kemudian berkembang menjadi insting yang dapat mengenali apakah kelompok tertentu memang bagian dari seseorang. Dan sebenarnya, hal ini pun menjadi sifat dasar makhluk hidup lainnya, di mana seekor induk burung elang akan mengetahui bila ada anak burung jenis lain yang terperangkap di tengah-tengah kumpulan anak elang.
Bowser menegaskan, ketiga tingkatan rasisme ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan bersamaan. Dalam artian, suatu aturan yang ditetapkan institusi, juga muncul akibat keadaan konstruk sosial yang memang terjadi di masyarakat.
Well, itulah akar-akar sinofobia Indonesia. Namun, masih ada satu hal menarik yang juga perlu dibahas, yakni kenyataan bahwa sinofobia akut juga terjadi di negara-negara tetangga Indonesia, seperti di Filipina dan Malaysia.
Oleh karena itu, mungkinkah sentimen anti-Tionghoa juga merupakan sebuah agenda internasional?
Sebuah Gerakan Internasional?
Kecurigaan tentang sinofobia sebagai suatu gerakan internasional bisa kita lacak kembali ke era Suharto. Randy Mulyanto dalam artikelnya Why Fears of Communism, anti-China sentiment are a Potent Mix in Indonesia, menjelaskan bahwa salah satu faktor kuat kenapa sentimen anti-Tionghoa bisa begitu mewabah di Asia Tenggara adalah karena Perang Dingin.
Seperti yang diketahui, Perang Dingin adalah pertempuran antara kelompok kapitalisme dan komunisme. Karena pada saat itu AS khawatir efek domino dapat terjadi dengan adanya penyebaran komunisme di Asia, maka narasi perlawanan komunisme menjadi komoditas politik yang begitu kuat dan efektif.
Suharto sebagai presiden yang memiliki komitmen memberantas komunis, sebagai dampaknya, mengaitkan etnis Tionghoa dengan komunisme itu sendiri, utamanya, karena memang Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat memiliki relasi yang kuat dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Namun, agenda anti-Tionghoa internasional tidak berhenti dengan berakhirnya Perang Dingin. Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok (CICIR), dalam sebuah laporan di Reuters, melaporkan bahwa sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, sentimen anti-Tionghoa global telah meningkat tajam, bahkan menjadi yang tertinggi semenjak Kerusuhan Tiananmen 1989.
Cheng Li, dalam tulisannya How Washington’s Hawkish China Policy Alienates Young Chinese di laman Brookings, menilai bahwa hingga sekarang kebencian dunia pada Tiongkok dan Tionghoa terjadi akibat kebijakan luar negeri AS yang tampak sangat agresif pada Tiongkok.
Dalam beberapa pemberitaan, para pejabat AS mampu menggerakkan media internasional agar Tiongkok dilihat sebagai antagonis dalam beberapa isu. Taruhlah seperti isu Covid-19, yang mantan Presiden AS Donald Trump sendiri pernah mengatakan bahwa itu adalah “virus Tiongkok”.
Cheng Li pun menilai, narasi anti-Tionghoa global ini sesungguhnya murni terjadi karena AS melihat Tiongkok sebagai negara yang kenaikan kekuatannya perlu diredam.
Dengan menggerakkan media untuk dapat menciptakan rasa takut akan Tiongkok dan etnis Tionghoa, banyak negara di dunia yang akhirnya perlu berpikir berkali-kali dalam menaruh kepercayaannya pada Tiongkok. Di tataran masyarakat, sebagai dampaknya, ini juga membuat banyak orang ikut merasa tidak percaya pada etnis Tionghoa yang ada di sekitarnya.
Karena itu, sinofobia yang terjadi di Indonesia, dan banyak negara di dunia, sejatinya bukanlah hanya persoalan rasisme dan sosial saja, tetapi juga merupakan anakan masalah dari agenda politik para negara besar.
Well, bagaimanapun juga, rasisme adalah sesuatu yang perlu terus kita lawan setiap hari. Praktiknya hanya akan membuat pembelahan sosial di masyarakat semakin melebar. Semoga saja, isu sinofobia tidak lagi dimainkan dalam Pemilu 2024 nanti. (D74)