Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan tak gusar setelah Tesla dikabarkan membuka kantor dan showroom di Malaysia. Namun, mengapa Luhut dan Indonesia seolah “tertinggal” menggaet Tesla dari Malaysia?
Di tengah pesatnya ekspansi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) belakangan ini, Malaysia seakan “menikung” Tesla dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Kabar itu sendiri datang dari Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia Tengku Zafrul Aziz yang mengumumkan Tesla akan mendirikan kantor, dealer, dan jaringan stasiun pengisian kendaraan listrik resmi di Malaysia. Fasilitas itu sendiri akan dinamakan Tesla Experience & Service Center.
Meski CEO Tesla Elon Musk belum mengonfirmasi kabar itu, sejak akhir tahun 2022 Malaysia memang santer disebut cukup potensial menjadi hub atau poros EV di Asia Tenggara.
Tengku Zafrul menambahkan, masuknya Tesla difasilitasi oleh program kementeriannya melalui inisiatif Battery Electric Vehicles (BEV) Global Leaders.
Wacana itu sontak menimbulkan respons dari negeri +62. Itu dikarenakan, selama ini Indonesia melalui Menko Luhut begitu aktif berupaya menggaet Tesla untuk berinvestasi.
Tercatat, setelah pertemuan Menko Luhut dengan Elon Musk di kawasan Giga Factory, Texas pada 24 April 2022 lalu, optimisme investasi Tesla di tanah air cukup tinggi.
Saat dikonfirmasi mengenai kabar tersebut, Menko Luhut tak gusar dengan mengatakan rencana Tesla di Indonesia jauh lebih dari sekadar yang akan dibangun di Malaysia.
Luhut mengatakan respons lebih lanjut mengenai Tesla dan investasi kendaraan listrik secara umum baru akan diumumkan pasca insentif serta instrumen pendukung EV di Indonesia resmi diberlakukan.
Dengan kabar dari Malaysia tersebut, plus kesan antiklimaks-nya agresivitas Luhut mendekati Tesla selama ini, mengapa Indonesia seakan tertinggal untuk dipilih Elon Musk sebagai simbol ekspansi mereka di Asia Tenggara?
Indonesia Kalah “Perang”?
Selain menjadi kerancuan mengingat manuver aktif Luhut mendekati Elon Musk beberapa waktu lalu, ketertinggalan Indonesia dari Malaysia agaknya juga mengindikasikan satu hal krusial.
Spesifik dalam konteks kendaraan roda empat, Indonesia, Malaysia, dan Thailand selalu terlibat dalam persaingan car wars yang sengit. Terutama untuk menjadi poros atau hub di Asia Tenggara.
Hal itu selaras dengan apa yang dianalisis James Guild dalam publikasinya yang berjudul Who Is Winning Southeast Asia’s Car Wars?.
Analisis Guild juga mengingatkan soal kompetisi memperebutkan predikat sebagai ikon, plus penarik investasi, mobil listrik regional. Apalagi, Tesla seolah menjadi simbol utama geliat lahirnya mobil listrik global.
Gelombang pertama industri otomotif terjadi sedekade lalu. Thailand kala itu menasbihkan diri sebagai raja pusat manufaktur mobil konvensional (nonlistrik).
Setelahnya, Indonesia dan Malaysia bersaing ketat merebut tahta itu dari Negeri Gajah Putih, utamanya dengan gelombang baru investasi mobil listrik atau EV yang menggiurkan.
Guild mengatakan produksi massal mobil sendiri telah menjadi tujuan utama bagi pasar negara berkembang di Asia Tenggara selama beberapa tahun sebelum gelombang pertama yang dimenangkan Thailand.
Kemenangan itu, sekaligus membuat Thailand memberikan impresi apik sebagai negara yang memenuhi logika investor manufaktur mobil, sebagaimana dijelaskan Ganeshan Wignaraja dalam Competitiveness Strategy in Developing Countries.
Setidaknya, Wignaraja menyebutkan sejumlah prasyarat yang menjadi indikator sebuah negara sukses menjadi hub bagi investasi suatu bidang tertentu.
Mulai dari regulasi, pertimbangan stabilitas politik, kesiapan industri dan ketenagakerjaan, competitiveness, serta berbagai isu kontemporer negara tujuan investor.
Aktivitas manufaktur mobil pun demikian. Dalam praktiknya, terdapat pelibatan rantai pasokan yang kompleks dan terintegrasi.
Konsekuensinya, ratusan ribu lapangan pekerjaan, menarik miliaran dolar investasi, dan transfer teknologi yang berkontribusi pada pertumbuhan jangka panjang disediakan oleh negara yang berhasil memenangkan “car wars”.
Nyatanya, Thailand terlebih dahulu memenangkan persaingan awal mobil listrik. Belum lama ini, Elon Musk mendirikan Tesla Thailand (untuk distribusi) sebagai bagian dari ekspansi di Asia Tenggara dengan stasiun supercharger pertama yang diluncurkan pada 1 Maret lalu.
Thailand telah memulai program subsidi mobil listrik sejak akhir tahun lalu, yang digabungkan dengan insentif pajak, termasuk cukai dan impor.
Kendati demikian, keunggulan Malaysia untuk menarik investasi Tesla kiranya harus diakui. Yamin Shong dalam A second shot for Malaysia as an Asean automotive hub menyebutkan sejumlah alasan di balik begitu potensialnya investasi mobil listrik di negeri Jiran.
Pertama, Malaysia disebut memiliki sumber daya dengan keahlian di bidang semikonduktor dan perangkat lunak yang mumpuni. Kedua, industri mobil Malaysia (Proton dan Perodua) merupakan pionir di kawasan, bahkan menjadi yang terdepan saat ini.
Ketiga, Malaysia memiliki rantai pasokan electrical and electronics (E&E) kuat. Tiga faktor itu yang dinilai menjadikan Malaysia lebih strategis untuk jadi hub Tesla di Asia Tenggara.
Dengan kata lain, Indonesia sementara ini agaknya masih tertinggal dari Malaysia dan Thailand dalam prasyarat masuknya investasi mobil listrik yang menjanjikan. Ihwal yang juga dilihat Shong saat tak menyebutkan Indonesia sebagai ancaman bagi Malaysia, dibandingkan Thailand.
Lalu, apa makna dan dampaknya bagi pengembangan industri dan pasar mobil listrik di Indonesia?
Luhut Mampu Rebut Kembali?
Meski tampak tertinggal dari Thailand dan Malaysia, pernyataan Luhut mengenai rencana kerja sama dengan Tesla yang lebih besar dari sekadar “showroom” kiranya memiliki justifikasi tertentu.
Berbeda dengan Shong, analis dari Malaysian Industrial Development Finance Berhad (MIDF) Hafriz Hezry menyebut Indonesia tetap menjadi kompetitor utama dalam car wars “versi elektrik”.
MIDF Research analyst Hafriz Hezry sebut Indonesia tetap jadi kompetitor utama dengan keunggulan yang tak dimiliki, baik oleh Malaysia maupun Thailand.
Seperti yang selama ini digaungkan pemerintah, termasuk Luhut, Indonesia punya cadangan nikel – bahan baku baterai EV – yang sangat besar.
Selain itu, satu kunci bagi prospek kerja sama lebih dari Tesla juga kiranya terkait dengan tawarkan konsesi nikel yang menggiurkan.
Itu belum termasuk insentif pajak dan subsidi pembelian kendaraan listrik yang tampaknya sebentar lagi terealisasi.
Sayangnya, Indonesia sejauh ini masih sebatas “agresif” dan belum memiliki basis penopang industri EV sekuat Malaysia dan Thailand saat ini seperti yang disebutkan sebelumnya.
Di titik inilah, akan menjadi sebuah legacy dan prestasi monumental jika dalam beberapa waktu ke depan Luhut bisa “merebut” Tesla dari Malaysia dan Thailand.
Secara idealis, sebagaimana analisis Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam tulisan Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates, alasan politisi memiliki minat yang kuat untuk membangun legacy adalah karena ingatan masyarakat tentang legacy tersebut memengaruhi perdebatan kebijakan di masa depan.
Sementara secara praktis dan kemungkinan di balik layar, motivasi Luhut merebut Tesla kiranya juga dapat bangkit dari konsep rent seeking, yakni demi merengkuh keuntungan tertentu.
Sebagaimana diketahui, Luhut sebelumnya dikabarkan memiliki 99,9 persen saham di PT Toba Bara Sejahtra Energi Utama Tbk yang bergerak di bisnis batu bara. Kemudian, Luhut membantah kepemilikan besar itu dan menyebut sejak tahun 2017 dirinya hanya memiliki kurang dari 10 persen saham.
Dalam catatan Our World in Data, 86,95 persen dari total produksi listrik Indonesia tahun 2020 berasal dari bahan bakar fosil. Di saat yang sama, pembangkit listrik berbasis batu bara masih menjadi yang terbesar, yakni mencapai 66,81 persen.
Sederet hal dan korelasi itu boleh jadi akan menjadi pelecut Luhut untuk merebut Tesla.
Kendati demikian, motivasi utama demi kemaslahatan industri dan kontribusi positif bagi Indonesia secara umum kiranya akan menjadi pertimbangan utama Luhut.
Diharapkan, langkah pemerintah ke depan dapat menarik Tesla serta perusahaan-perusahaan lain untuk berinvestasi dan memantik produksi EV domestik yang berkualitas. (J61)