Secara mengejutkan, Menko Polhukam Mahfud MD justru menjadi salah satu sosok pembela penyelenggaraan diskusi pemecatan presiden di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu yang lalu. Lantas, mungkinkah Mahfud telah menunjukkan konsep solidaritas seperti yang dikemukakan oleh filsuf neo-pragmatisme Richard Rorty?
PinterPolitik.com
“Solidarity is not discovered by reflection, but created. It is created by increasing our sensitivity to the particular details of the pain and humiliation of other” – Richard Rorty, filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat
Belakangan ini, nama Ruslan Buton hangat diperbincangkan publik. Ini terkait dengan videonya yang membacakan surat terbuka agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundurkan diri dari jabatannya viral di sosial media. Sepekan setelah videonya viral, mantan prajurit TNI tersebut kemudian dijemput oleh tim gabungan TNI-Polri, dan sekarang tengah mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Seolah menjadi pemantik, aksi Ruslan Buton kemudian membuat isu pemecatan presiden bergulir hingga pada adanya rencana penyelenggaraan diskusi oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Seperti yang diketahui, diskusi tersebut kemudian dibatalkan karena berbagai tekanan yang ada. Tidak hanya itu, sang pembicara yang merupakan guru besar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ni’matul Huda bahkan disebut mendapatkan sejumlah teror.
Cukup dipahami memang, topik diskusi tersebut memang banyak memancing tafsiran bahwa usaha makar, atau setidaknya adanya agenda untuk membangun narasi pemecatan presiden telah ingin dibangun oleh pihak tertentu.
Di tengah situasi panas tersebut, menariknya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang kerap kali memberikan pernyataan tidak tepat seperti menyamakan virus Corona (Covid-19) dengan istri, tanpa disangka-sangka justru memberikan pembelaan.
Ibarat pemeran utama dalam film action yang kerap datang di akhir dan menjadi pembeda pertarungan, Mahfud kemudian mendinginkan suasana dengan menyebutkan diskusi tersebut tidak bertujuan untuk melakukan makar.
Setelah ramai gara-gara bercanda, kini Pak @mohmahfudmd dipuji soal diskusi yang di UGM. #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/GoLMoxDh2c pic.twitter.com/izRRUcSO3c
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 3, 2020
Menurutnya, teror sepertinya terjadi karena pihak tertentu tidak membaca TOR diskusi yang sebenarnya bertujuan memberikan pembelaan kepada presiden bahwa pemecatan tidak dapat dilakukan hanya karena kebijakan terkait Covid-19.
Tidak hanya itu, Mahfud pun mendorong agar diskusi tersebut seharusnya tidak dilarang dan meminta pihak berwenang untuk menangkap pelaku teror.
Membandingkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial Mahfud sebelumnya, tentu berbagai pihak merasakan adanya perbedaan yang besar. Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang dikenal garang mengkritik pemerintah bahkan sampai melontarkan pujian kepada Mahfud yang disebutnya sudah lama tidak menyampaikan hal yang benar.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah, gerangan apa yang membuat Mahfud tiba-tiba memberikan pembelaan seperti itu? Dan apa yang dapat dimaknai dari hal tersebut?
Manusia Ironis dan Solidaritas
Dalam konteks ini, mungkin mudah memahami bahwa Mahfud telah mengimplementasikan politik demokrasi, yang mana kebebasan berpendapat tengah dibela. Sebagaimana diketahui, dalam politik demokrasi, etos-etos liberal terkait kebebasan berpendapat memang harus dijamin dan dijaga oleh negara dan berbagai pihak.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa etos semacam itu tidak terlihat dalam pernyataan Mahfud ketika menyinggung perihal kasus HAM ataupun Papua? Seperti yang kita ingat, Mahfud pernah berujar bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM pasca reformasi ataupun di kerusuhan Papua tahun lalu. Pun begitu ketika menggunakan diksi “sampah” ketika membahas surat Veronica Koman pada Februari lalu.
Untuk menjawab tanda tanya tersebut secara mendalam, kita dapat menggunakan konsep liberal ironis (liberal irony) dan solidaritas (solidarity) dari filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat (AS) Richard Rorty.
Ribut- ribu soal pemakzulan presiden akhirnya berbuntut panjang. Duh. #infografis #adearmando #politik #indonesia https://t.co/AHqoduWimi pic.twitter.com/KMJJvc1cbM
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 3, 2020
Menurut Rorty, anggota masyarakat liberal adalah seseorang yang benar-benar sadar atas segala kemungkinan bahasa, kesadaran, moralitas, dan harapan. Secara luas, Rorty menekankan terhadap suatu komitmen terhadap orde politik yang menjunjung tinggi kreativitas manusia dan menjauh dari kekerasan serta kekejaman.
Berbeda dengan pandangan liberal klasik yang menyebut otonomi individu bertumpu pada asumsi manusia adalah makhluk rasional sehingga kosakata final atau suatu kebenaran universal dapat diraih. Gagasan liberal ironis Rorty justru menekankan bahwa pencarian kebenaran universal semacam itu adalah suatu kesia-siaan.
Penekanan akan kesadaran manusia bahwa bahasa, nilai, atau kebenaran yang dipahami hanya merupakan suatu hal yang temporal, adalah apa yang disebut Rorty sebagai sesuatu yang ironis.
Tentu pertanyaannya, jika kebenaran universal semacam itu tidak dapat diraih, lantas bagaimana kesepakatan akan kebenaran dapat dicapai? Di sini Rorty memberi jawaban dengan menjelaskan konsep mengenai solidaritas (solidarity).
Menurut Rorty, kendati masyarakat liberal harus menyadari bahwa kebenaran atau nilai yang diyakininya bukanlah suatu hal yang final atau temporal, suatu kesepakatan antar masyarakat atau komunitas dapat terjadi dalam payung yang disebut dengan solidaritas.
Solidaritas atau kesepahaman sosial tersebut dapat terjadi apabila individu melakukan rekonstruksi pada komunitas historisnya melalui partisipasi, khususnya pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung. Atas refleksi historis tersebut, seorang liberal ironis, atau yang disebut pula sebagai manusia ironis akan menyadari bahwa kosakata, nilai atau kebenaran yang dipahaminya tidaklah final, sehingga ia akan bersikap terbuka dan bersolidaritas dengan orang lain.
Membaca Pembelaan Mahfud Melalui Rorty
Sejak lama, Mahfud telah memperlihatkan diri sebagai seorang liberal yang menolak kekerasaan ataupun pemaksaan terhadap pihak tertentu. Hal tersebut misalnya terlihat jelas dari sikap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut yang kontra dengan aksi-aksi teror pada perayaan Natal ataupun sweeping oleh kalangan tertentu.
Namun, menimbang pada pernyataannya terkait pelanggaran HAM atau surat Veronica, di sana terlihat Mahfud masih tergolong ke dalam kategori liberal klasik yang masih memahami kebenaran tunggal atau universal karena seolah menolak kemungkinan kebenaran lain dengan menegasi adanya pelanggaran HAM dan bukti dari surat Veronica.
Dari #BlackLivesMatter sudah saatnya Indonesia juga belajar soal kasus Papua. #politik #pinterpolitik #infografis #papua https://t.co/Ewc1ZE4m3p pic.twitter.com/2JVIZ6vkll
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 2, 2020
Akan tetapi, seperti yang jelaskan oleh Rorty, akan ada waktunya, di mana seorang liberal akan meragukan kosakata, nilai, atau kebenaran yang tengah digenggamnya, dan itulah awal seorang liberal akan menjadi seorang ironis – liberal ironis.
Melihat latar belakang Mahfud, kita tentu mengetahui bahwa sosok yang sederhana tersebut mencurahkan sebagian besar aktivitas intelektualnya di Yogyakarta. Gelar profesor hukum tata negara, bahkan diraihnya di salah satu perguruan tinggi di Kota Gudeg, yakni Universitas Islam Indonesia (UII).
Tidak hanya itu, Mahfud juga memiliki ikatan historis dan emosional dengan narasumber diskusi, yakni Ni’matul Huda karena menjadi promotornya ketika mengambil gelar doktor. Setelah itu, Ni’matul bahkan sempat menjadi asisten sang Menko Polhukam.
Mengacu pada Rorty, konteks historis dan kedekatan emosional tersebut boleh jadi yang memicu refleksi Mahfud atas dirinya sebagai akademisi yang membela kebebasan berpendapat. Dengan demikian, refleksi historis tersebut telah membuat Mahfud bersikap terbuka dan menyadari kemungkinan kosakata, nilai, dan kebenaran yang mungkin akan terlahir dari diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM tersebut.
Singkat kata, Mahfud tengah bersolidaritas dengan rekan-rekan akademisinya di Yogyakarta, khususnya dengan Ni’matul yang pernah menjadi asistennya. Teror yang dialami Ni’matul, boleh jadi telah meningkatkan solidaritas tersebut. Seperti kata Rorty di awal tulisan, solidaritas diciptakan oleh sensitivitas atas rasa sakit ataupun penghinaan yang dirasakan oleh orang lain.
Terlepas dari benar tidaknya Mahfud telah menjadi liberal ironis ataupun telah membuka tabir solidaritas seperti yang disebutkan oleh Rorty, tentunya tidak diketahui pasti karena hal tersebut hanya diketahui oleh Mahfud sendiri. Walaupun demikian, tentu kita sepakat, bagi mereka yang sadar akan pentingnya ruang-ruang berekspresi di ranah publik, pembelaan Mahfud terhadap diskusi tersebut merupakan angin segar dalam politik demokrasi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.