KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu harus mengedepankan independensi sebagai upaya menjamin demokrasi berjalan dengan baik. Namun, sampai saat ini, independensi dan kredibilitas KPU justru mendapat banyak keraguan? Mengapa ini terjadi?
Jelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak tahun 2024 yang telah ditetapkan pada 14 Februari. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta KPU mempersiapkan secara matang penyelenggaraan pemilu nanti.
Dalam acara peluncuran Hari Pemungutan Suara yang diadakan oleh KPU di kantor pusatnya, Jokowi mempertegas agar persoalan teknis pemilu dipersiapkan dengan baik karena punya dampak politik terhadap penyelenggaraan pemilu.
Jokowi menyebutkan aspek teknis yang harus diperhatikan, seperti perbaikan kualitas data Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian manajemen kerja KPU Daerah dan KPPS, sampai dengan teknis rekapitulasi surat suara.
Senada dengan pernyataan Presiden yang disinggung di atas. Ilham Saputra, Ketua KPU, mengharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemilu, agar tercipta pemimpin yang berkualitas dari sistem demokrasi yang berjalan. Sistem demokrasi yang ideal, yaitu yang punya penyelenggara pemilu yang independen.
Karena seringkali kerja-kerja KPU ditafsirkan oleh berbagai pihak terkesan bahwa KPU diarahkan atau dipolitisasi. Seolah-olah KPU mempunyai skenario kepentingan pada salah satu kelompok tertentu dalam penyelenggaraan pemilu.
Oleh karena itu, penting sekiranya KPU memiliki semacam tantangan untuk membangun narasi atas dirinya sendiri sebagai penyelenggara pemilu yang netral, independen, dan mandiri. Tentunya, tantangan itu untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Namun kepercayaan tersebut bisa dibangun jika KPU bersikap transparan, terbuka, dan akuntabel dalam mengelola tahapan proses pemilu. Lantas, mengapa KPU mendapat berbagai keraguan?
Baca juga: Ini Solusi Atasi Kecurangan Pemilu?
Meraba Independensi KPU
Pentingnya sikap independen dalam tubuh KPU dapat kita lihat dalam landasan undang-undang tentang KPU, yaitu dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara umum, UU ini mengatur hal-hal tentang penyelenggara pemilu yang dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Tafsiran sifat nasional berarti bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara pemilu mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum bebas dari pengaruh pihak manapun.
Nah, sikap terakhir, yaitu mandiri menuntut KPU agar dapat bersikap independen. Secara praktis, KPU harus bisa meminimalkan politisasi parpol dalam proses penyelenggaraan pemilu, sehingga lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karena itu, para komisioner, yaitu tujuh anggota KPU baru masa jabatan 2022-2027 yang ditetapkan oleh Komisi II DPR pada Kamis 17 Februari 2022, haruslah menjaga ruh dan nafas independensi yang berada pada KPU itu sendiri.
Menarik disimak, meskipun menjaga independensi KPU, ada semacam anomali jika kita lihat latar belakang para komisioner KPU yang mempunyai kedekatan dengan organisasi-organisasi yang punya afiliasi politik.
Dari latar belakang organisasi, sebanyak tiga anggota KPU yang pernah terlibat di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yakni Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, dan Parsadaan Harahap. Kemudian, terdapat komisioner yang pernah terlibat di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yaitu Mochammad Afifuddin.
Satu lagi komisioner pernah terlibat di organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yakni Yulianto Sudrajat. Sementara Hasyim Asy’ari pernah terlibat di GP Ansor Jawa Tengah. Dan Anggota KPU yang terpilih berasal dari LSM yang fokus pada masalah pemilu, yaitu August Mellaz selaku Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi.
Meski penilaian umum mengatakan bahwa sah saja para komisioner KPU berasal dari organisasi manapun, selama tidak melanggar independensi, tapi, tradisi pemilihan para komisioner yang berasal dari organisasi tertentu akan punya kesan yang sensitif dan bernada negatif.
Manik Sukoco dalam tulisannya Menjaga Independensi KPU, mengatakan bahwa anggota KPU yang tidak berasal dari partai politik mempertegas bahwa syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik.
Selanjutnya, ketentuan syarat KPU nonpartisan mengalami perkembangan. Pasal 11 huruf i UU No. 22 Tahun 2007 tentang Pemilu lebih rinci mengatur jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik. Hal ini yang menegaskan bahwa aturan tidak mempertimbangkan pengalaman organisasi komisioner KPU, yang terpenting dan dipertegas bahwa komisioner tidak terlibat partai politik.
Penyempurnaan aturan tersebut merupakan kebutuhan untuk tetap menjaga imparsialitas anggota KPU. Pemisahan yang tegas antara kontestan, penyelenggara, dan pengawas bertujuan untuk menghindari conflict of interest.
Sebagai lembaga yang menjadi wasit dari pesta demokrasi, idealnya KPU harus independen, transparan, dan punya kemampuan memberikan informasi yang akurat. Tapi idealisme semacam itu selalu terkendala oleh kepentingan politik elite dan partai, seolah independensi dibajak oleh demokrasi yang transaksional.
Well, seperti apa upaya KPU menjaga independensi di tengah demokrasi transaksional?
Baca juga: Ada Apa di KPU?
KPU Butuh Power
KPU harusnya bisa menghindari permasalahan laten, yaitu politik transaksional yang memunculkan kesepakatan-kesepakatan dan kompromi dengan pihak tertentu. Jika dilihat secara seksama, kejahatan pemilu tidak hanya terjadi pada saat pemilihan, tetapi juga berpotensi di tiga babak, seperti persiapan, saat, dan pasca pemilu.
Viola Indora dalam tulisannya Pengaruh Politik Transaksional Terhadap Perilaku Pemilih, mengatakan politik transaksional atau sering disebut dengan istilah money politic merupakan suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi. Dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan, serta tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).
Dari fenomena inilah, KPU diuji independensinya dalam konteks tidak berpihak, jika melihat terjadi semacam politik transaksional yang mencederai sistem demokrasi di Indonesia. Tidak berpihak, mengandung makna pemberian perlakuan yang sama, tidak memihak, dan adil, sehingga tidak memberikan keuntungan pihak lain.
Untuk menangani fenomena tersebut, perlu ada aturan hukum sebagai rekaya sosial dari penyelenggaran pemilu yang lebih tegas. Tentunya, aturan ataupun hukum ini menjadi pencegah agar terhindarnya politik transaksional lebih dini.
Roscoe Pound memperkenalkan konsep ini dengan istilah sosiological jurisprudence, di mana ini menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum yang berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial.
Yang menjadi masalah kunci adalah, bukan pada independensinya, melainkan power untuk memproses pelanggaran. Dr Wim Tangkilisan dalam disertasinya Jaminan Kepastian Hukum Atas Keamanan Penyimpanan Data KTP Elektronik pada Cloud Storage dan Ancaman Penyalahgunaannya dalam Konstelasi Pemilu di Indonesia, berulang kali menjelaskan bahwa proses penyelidikan dan penindakan pelanggaran pemilu sering kali berjalan di tempat.
Merujuk pada Peraturan Bawaslu No. 13/2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu, Sentra Gakkumdu merupakan pusat dari kegiatan penegakan hukum terkait tindak pidana pemilu yang terdiri dari unsur Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan Agung. Menurut Wim, dalam pelaksanaannya, perkara pemilu justru kerap terhenti di Sentra Gakkumdu itu sendiri.
Selain itu, menurut Wim, ini juga berakar pada budaya hukum di Indonesia. Karena lumrahnya praktik kecurangan, masyarakat serta pihak-pihak yang berwajib seolah menjadi lumrah terhadapnya.
Dengan demikian, mengutip temuan Wim, sebesar apa pun usaha dalam menjaga independensi KPU, itu akan menjadi kesia-siaan jika penyelenggara pemilu, khususnya yang berwenang dalam menindak pelanggaran seperti Bawaslu, melalui Sentra Gakkumdu, tidak memiliki power untuk memproses dan menindak pelanggaran. (I76)
Baca juga: KPU Juga Manusia