Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkuham) dengan kewenangannya memberikan ketentuan bebas bersyarat bagi sejumlah narapidana korupsi kelas kakap. Lantas, mengapa para koruptor itu seolah begitu mudah bebas?
Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak bagi narapidana. Pemberian remisi atau pembebasan bersyarat sendiri merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas).
Pada 6 September 2022 lalu, Ditjen Pas Kemenkuham memberikan hak bebas bersyarat dan remisi itu kepada narapidana korupsi dengan kasus- kasus korupsi besar yang merugikan negara.
Para narapidana korupsi tersebut antara lain, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Remisi tersebut merupakan pengurangan masa hukuman yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Serta, pembebasan bersyarat yang juga merupakan bebasnya napidana setelah menjalani masa pidana paling singkat satu per dua dari masa pidananya.
Pemberian pembebasan bersyarat kepada para narapidana tersebut merupakan hak bersyarat bagi narapidana yang diberikan kepada seluruh narapidana tanpa terkecuali dan non diskriminasi terhadap narapidana yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Permasyarakatan, dijelaskan tentang persyaratan tersebut meliputi berkelakuan baik, aktif dalam mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat resiko.
Menurut Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti, para narapidana koruptor kelas kakap yang bebas tersebut telah memenuhi persyaratan baik secara administratif dan substantif.
Akan tetapi, publik menilai kebijakan pemerintah dengan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi ini tidak adil.
Pemerintah dinilai tidak tegas memberikan sanksi hukuman kepada para koruptor yang telah merugikan negara dan tentunya rakyat yang juga merasakan kerugian. Lantas, mengapa narapidana korupsi tersebut tampak bisa dengan mudah bebas?
Adanya Kepentingan Politik?
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya telah mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 atau PP Pengetatan Remisi Koruptor. Dalam PP tersebut, KPK memiliki peran untuk memberikan rekomendasi sebelum bebas bersyarat diputuskan Kemenkumham.
Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022 oleh Kemenkumham kewenangan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tersebut kini diatur langsung oleh Kementerian Ditjen Pas. Permenkumham tersebut kemudian menggantikan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau PP Pengetatan Remisi Koruptor.
Dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi agar dapat bebas bersyarat harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satu persyaratan bagi napi koruptor tersebut adalah dengan sudah membayar denda dan uang pengganti dari sanksi hukuman yang telah diputuskan oleh pengadilan.
Pernyataan terkait aturan remisi koruptor tesebut termuat dalam pasal 10 Permenhkumham No. 7 Tahun 2022 :
“Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.”
Hal tesebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti. Beliau mengatakan bahwa para narapidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas).
Dengan adanya aturan remisi itu, maka tampaknya dapat dikatakan bahwa penegakan hukum boleh jadi menjadi semacam senjata politik (rule of law as a political weapon). Mungkin saja, remisi dan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada para koruptor kelas kakap tersebut ada memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Hal itu agaknya berkelidan dengan yang dikatakan Samuel Huntington dalam teorinya grease the wheels atau oli pembangunan. Dalam teori grease the wheels, Huntington menilai korupsi dapat “melumasi roda perekonomian” yang membuat berjalannya pembangunan.
Di beberapa negara berkembang, korupsi justru kerap disebut sebagai “oli pembangunan”.
Lantas, jika mengacu pada teori tersebut, apabila diminta untuk memilih suatu kondisi terkait korupsi sebagai oli pelumas pembangunan apakah tidak ada korupsi berarti, tidak ada pembangunan?
Korupsi Dianggap Ordinary Crime?
Adanya aturan remisi korupsi tersebut seolah mempermudah narapidana koruptor serta pelaku kejahatan luar biasa lainnya untuk mendapatkan remisi (pemotongan masa hukuman) dan pembebasan bersyarat.
Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan acapkali dijadikan alasan bagi pihak terkait dan termasuk para koruptor tersebut untuk mendapatkan remisi karena dinilai telah memenuhi persyaratan, baik administratif maupun substantif.
Semula, korupsi dinilai sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Namun, saat ini dengan mudahnya bagi para koruptor untuk mendapatkan remisi serta pembebasan bersyarat. Maka, tidak berlebihan kiranya untuk mempertanyakan, apakah korupsi saat ini telah bergeser menjadi ordinary crime (kejahatan biasa)?
Hal tersebut turut menyita perhatian ICW (Indonesia Corruption Watch). ICW menilai pemberian remisi bagi koruptor semakin menunjukan kejahatan korupsi merupakan kejahatan biasa.
Salah satunya eks jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara dan kini mendapatkan remisi untuk bebas bersyarat. Padahal, kasus korupsi yang melibatkannya tergolong besar, yakni dalam pusara kasus korupsi Cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra.
Begitu pula dengan sederatan para koruptor kelas atas lainnya yang diberikan remisi dan pembebasan bersyarat seperti Ratu Atut, Suryadharma Ali, Patrialis Akbar, Zumi Zola, mantan Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk Desi Arryani, hingga perantara suap mantan Anggota DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra, Mirawati Basri.
Apabila kebijakan remisi dan pembebasan bersyarat yang begitu mudah didapatkan tersebut dianggap sebagai upaya dari normalisasi kasus korupsi. Maka, pemerintah dinilai tidak punya legitimasi hukum yang tegas dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi.
Di titik ini, kebijakan remisi dan pembebasan bersyarat yang begitu mudah didapatkan para narapidana korupsi itu agaknya membuka interpretasi bahwa kasus korupsi menjadi bukan kejahatan yang serius.
Oleh karena itu, penafsiran lanjutan kemudian memunculkan pertanyaan, apakah pemerintah masih memiliki legitimasi hukum yang tegas dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi?
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat bersikap tegas dalam mengatasi kasus korupsi dengan mempertimbangkan social justice atau keadilan sosial yang mengacu pada keadilan ditingkat masyarakat.
Selain itu, social justice juga harus diimplentasikan beriringan dengan legal justice atau keadilan hukum yang mana keadilannya berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku demi mencerminkan keadilan hukum yang baik semestinya.
Dengan mengindahkan keadilan hukum dalam mengatasi kasus korupsi yang marak terjadi, kekhawatiran dan sentiment minor masyarakat kiranya perlahan dapat diperbaiki.
Selain itu, rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai aparat penegak hukum yang baik diharapkan menjadi hasil akhir yang diinginkan. (S82)