Site icon PinterPolitik.com

Mengapa “Komplotan” Sambo Bisa Kuat?

Sambo Bongkar Permainan Para Bintang?

Ferdy Sambo. (Foto: viva.co.id)

Tersangka Ferdy Sambo merekayasa kasus pembunuhan Brigadir J sedemikian rupa dengan memanfaatkan “komplotannya” untuk membantu melancarkan skenario rancangannya. Bagaimana bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Tidak hanya itu, Ferdy Sambo juga belakangan diketahui berperan sebagai dalang pembuatan berbagai skenario-skenario kematian Brigadir J yang dimaksudkan untuk mengaburkan tindakan kejahatannya.

Dengan berbagai macam skenario untuk menutupi kasus tersebut, Ferdy Sambo tidak bekerja sendirian. Untuk memuluskan aksinya, dia bersama sejumlah oknum anggota Polri lain sedemikian rupa menghalangi jalannya penanganan proses hukum (obstruction of justice).

Sejauh ini, Polri telah menetapkan enam tersangka, plus Ferdy Sambo, sebagai penghalang proses hukum (obstruction of justice) dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Dalam perkara tesebut, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) atas 6 tersangka obstruction of justice atau pelanggaran pidana menghalang-halangi proses hukum terkait kasus pembunuhan Brigadir J.

Menariknya, keenam tersangka tersebut adalah perwira yang dinilai merupakan orang kepercayaan Ferdy Sambo. Mereka antara lain, AKBP Arif Rahman Arifin selaku Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri, Kompol Chuk Putranto selaku PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Baiquni Wibowo selaku PS Kasubbagriksa Baggketika Rowabprof Divisi Propram Polri, Brigjen Hendra Kurniawan selaku Karopaminal Divisi Propam Polri, Kombes Agus Nurpatria selaku Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri, serta AKP Irfan Widyanto selaku mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri.

Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen, Asep Edi Suheri, mengatakan telah menyita sejumlah barang bukti terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan enam polisi tersebut.

Berdasarkan peraturan, keenam tersangka tersebut dikatakan saling terkait dalam dugaan tindak pidana melakukan penghalang-halangan pengungkapan kasus, khususnya dalam menghilangkan bukti berupa dokumen elektronik.

Para tersangka dijerat dengan pasal 49 jo. Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP jo. Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP.

Tindakan yang dilakukan Ferdy Sambo dan “komplotannya” sendiri disebut memengaruhi dan menghalangi jalannya proses hukum dengan merusak barang bukti pembunuhan pada 8 Juli 2022.

Barang bukti berupa rekaman CCTV rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga dan di sekitar TKP dilakukan oleh para tersangka atas perintah Ferdy Sambo.

Lantas, muncul satu pertanyaan menarik, yakni mengapa para perwira polisi itu mau melakukan perintah Ferdy Sambo?

Memahami Obstruction of Justice

Menurut, Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court menjelaskan bahwa obstruction of justice merupakan tindakan yang ditujukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya terjadi dalam suatu proses peradilan.

Sementara itu, sebuah publikasi di laman Cornell Law School menjelaskan obstruction of justice dapat berupa tindakan memberikan ancaman atau kekerasan, termasuk lewat surat dan melalui saluran komunikasi, untuk menghalang-halangi proses hukum.

Ancaman itu bisa ditujukan pada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat) maupun para saksi, tersangka, dan terdakwa.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan arti obstruction of justice, yakni suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi suatu proses hukum.

Diduga kuat Ferdy Sambo benar-benar merencanakan penghalang-halangan proses hukum untuk menutupi kejahatannya dan segala kebenaran yang terjadi atas pembunuhan Brigadir J.

Ferdy Sambo, dengan kekuatannya, dikatakan memerintahkan penyidik untuk mengikuti skenario tembak-menembak serta skenario pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo.

Tidak hanya itu, Ferdy Sambo memerintahkan anak buahnya untuk merusak dan menghilangkan rekaman CCTV serta memerintahkan personal Biro Pengaman Internal Divisi Propam memeriksa saksi penembakan Brigadir J.

Lalu, apa yang menyebabkan para perwira tersangka obstruction of justice itu mematuhi perintah Ferdy Sambo?

Adanya Relasi Kuasa?

Mengutip karya Niccolò Machiavelli yang berjudul Il Principe, dijelaskan bahwa akan lebih mudah bagi pemimpin berkuasa jika memiliki orang kepercayaan di lingkaran kekuasannya.

Saat ini, demi tetap mempertahankan kekuasaan meskipun sudah tidak lagi bercokol di kursi kekuasaan, penguasa sebelumnya kerap menempatkan orang-orang kepercayaannya agar masih dapat melakukan kontrol ataupun mengintervensi kebijakan.

Dengan lumrahnya praktik ini, tidak heran kemudian, strategi “bersih-bersih kursi”, alias mengganti orang-orang penguasa lama kerap dilakukan oleh penguasa baru.

Meskipun terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik ini nyatanya memang mesti dilakukan agar penguasa baru tidak terjebak atau mendapatkan intervensi berlebih dari penguasa sebelumnya.

Hal tersebut tampaknya serupa dengan Ferdy Sambo yang berdiri atas kekuasaanya dan dikelilingi orang-orang kepercayaannya.

Dengan kekuasaan yang ia miliki, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) itu bertindak mengatasnamakan posisi dan jabatannya. Itu dilakukan dengan memanfaatkan orang-orang disekelilingnya untuk membantu menutupi pembunuhan Brigadir J

Ferdy Sambo kemudian mendalangi semua skenario-skenario pembunuhan Brigadir J serta adanya obstruction of justice yang dibantu oleh keenam tersangka tersebut.

Tidak hanya itu, keenam polisi yang menjadi tersangka obstruction of justice dalam perannya juga memiliki kekuatan masing-masing.

Kuatnya “komplotan” Ferdy Sambo kiranya terjadi akibat karena adanya hierarki dan kewenangan Polri.

Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri, ditengarai memiliki kewenangan yang cukup besar dan bertindak atas kepentingan diri sendiri untuk menutupi kasus pembunuhan.

Diketahui, selain menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo juga merupakan Kepala Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang ia pimpin sejak 2020 silam.

Satgas tersebut berisikan lebih dari 400 polisi terpilih yang memiliki kekuasaan saling terkait dalam penanganan beragam kasus prominen.

Hal tersebut agaknya turut menjelaskan bahwa terdapat relasi kuasa di antara Ferdy Sambo dan para perwira tersebut yang membuat mereka pada akhirnya harus patuh.

Relasi kuasa sendiri merupakan hubungan yang terbentuk antar aktor-aktor tertentu yang memiliki suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan yang berbeda.

Di dalam relasi kuasa, terdapat unsur kekuatan hubungan sosial, yakni seorang aktor memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku aktor yang lainnya.

Dengan kata lain, unsur kekuasaan memiliki pengaruh dalam membentuk sebuah program atau kegiatan sesuai dengan kepentingan seseorang, bahkan terhadap perlawanan aktor-aktor lain.

Hubungan kekuasaan, kemudian menimbulkan saling ketergantungan antara berbagai pihak. Mulai dari pihak yang memegang kekuasaan dengan pihak yang menjadi obyek kekuasaan.

Seperti yang kita ketahui, hierarki di kepolisian, anggota dengan pangkat yang lebih rendah harus tunduk kepada sosok dengan pangkat yang lebih tinggi tanpa kecuali. Terlebih, jika mereka pernah berada dalam satu relasi profesional, seperti misalnya bertugas di wilayah yang sama atau satuan tugas yang sama.

Hal tersebut kiranya terjadi dalam Kasus Ferdy Sambo.

Adanya relasi kuasa dan riwayat hubungan profesional tersebut memungkinan eksistensi jaringan rekayasa kasus Ferdy Sambo.

Obstruction of justice dalam kasus Ferdy Sambo juga seolah menguak kuatnya potensi penyalahgunaan kekuasan dan wewenang dalam institusi seperti Polri.

Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang (abuse of power) dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Hal tersebut tentunya tidak bisa terus dibiarkan dan harus ada aturan hukum yang lebih ketat untuk mencegah adanya kesewenangan dalam kekuasaan.

Diharapkan, Polri dapat mengontrol relasi kuasa yang terjadi di dalam institusinya sendiri agar tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan yang mengatasnamakan sebuah kepentingan untuk melindungi diri sendiri dari sebuah jeratan hukum. (S82)

Exit mobile version