Dalam survei terbaru, Menhan Prabowo Subianto dinobatkan sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan di mata publik. Namun, mungkinkah hasil survei tersebut lebih dipengaruhi karena tenarnya sang menteri, alih-alih karena kinerjanya? Apalagi, Ketum Partai Gerindra ini merupakan calon presiden di dua gelaran Pilpres terakhir.
Dalam survei terbaru yang dikeluarkan oleh Indo Barometer mengenai “Kinerja 1 Tahun Jokowi-Maruf Amin dan Covid-19 di Indonesia”, dengan mendapatkan respons kepuasan sebesar 29,3 persen, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ditempatkan sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan.
Menariknya, tidak kali ini saja Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra tersebut dinobatkan sebagai menteri terbaik. Pada 23 Oktober lalu, dalam survei Indonesia Political Review (IPR), Prabowo juga menempati urutan pertama sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan dengan respons kepuasan sebesar 45,2 persen.
Lalu, pada survei Arus Survei Indonesia (ASI) pada 19 Juni lalu, Prabowo lagi-lagi dinobatkan sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan dengan respons kepuasan sebesar 43,7 persen.
Mengacu pada berbagai hasil survei yang ada, sekiranya kita dapat menyimpulkan bahwa keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunjuk Prabowo sebagai menteri adalah keputusan yang tepat. Akan tetapi, komentar berbeda justru disampaikan oleh Direktur Eksekutif ASI, Ali Rif’an dalam menanggapi survei terbaru terkait keberhasilan Prabowo kembali menjadi menteri paling memuaskan.
Menurutnya, tidak ada yang mengejutkan dari hasil survei tersebut. Lanjutnya, popularitas Prabowo yang tinggi dan pemberitaan yang cenderung positif terhadapnya sangat memengaruhi persepsi publik dalam memberi penilaian.
Mengacu pada Ali Rif’an, apakah tingginya kepuasan terhadap kinerja Prabowo semata-mata disebabkan oleh popularitas dan baiknya pemberitaan terhadap sang Menhan?
Ilusi Kehendak Bebas
Dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018), Yuval Noah Harari memberi pertanyaan menarik, yakni pernahkah kita bertanya dari mana keinginan ataupun penilaian kita berasal? Di sini, Harari hendak menyimpulkan bahwa free will atau kehendak bebas yang selama ini diyakini umat manusia adalah ilusi semata – atau tepatnya merupakan fantasi. Tegasnya, bagaimana mungkin manusia disebut bebas apabila asal-usul dari keinginannya sendiri tidak diketahui?
Salah satu filsuf epistemologi terbesar dalam sejarah, David Hume dalam bukunnya A Treatise of Human Nature yang ditulis pada tahun 1739 memberi penjelasan atas pertanyaan Harari tersebut. Menurut Hume, segala bentuk penangkapan kita terhadap realitas – yang disebut dengan persepsi – terdiri dari dua macam, yakni impresi dan ide. Persepsi yang lebih kuat, yang terdiri dari sensasi, gairah dan emosi disebut dengan impresi. Sedangkan persepsi yang lebih lemah, yakni pemikiran dan penalaran kita disebut dengan ide.
Menurut Hume, gabungan antara keduanya lah yang menentukan bagaimana persepsi kita atas realitas. Pandangan kita tentang objek X, ditentukan oleh impresi, seperti sentuhan, dan ide, yakni cara kita memaknai sentuhan tersebut.
Sedikit tidaknya, posisi Hume senada dengan Harari, yakni kita sebenarnya tidak pernah memiliki kehendak bebas atas apa yang kita pikirkan atau inginkan, karena segala persepsi yang ada, sangat ditentukan oleh impresi dan ide yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Ketika impresi kita menemukan benda yang kasar, dan ide kita memikirkan bahwa benda itu memang kasar, kita tidak mungkin mengatakan bahwa benda tersebut halus.
Artinya, kontras dengan asumsi para penganut positivisme, yakni individu dapat melakukan penilaian objektif (bebas nilai) terhadap objek observasinya, Harari hendak menegaskan bahwa asumsi tersebut benar-benar tidak mungkin. Seperti dalam tulisan Hume, manusia tidak pernah memikirkan hal yang baru, karena penilainnya selalu merujuk dan dicocokkan dengan memori yang telah dimiliki sebelumnya.
Raymond M Bergner dalam tulisannya The Case Against the Case Against Free Will (2018) juga memberi bantahan yang keras atas asumsi kehendak bebas dalam kognisi manusia. Dalam kesimpulannya, Bergner menyebutkan bahwa secara psikologi dan sosial, habituasi individu ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, sehingga tidak memungkinkan adanya kehendak bebas. Dengan demikian, individu pada dasarnya tidak memiliki kontrol yang cukup atas bagaimana dirinya memahami dan memaknai realitas.
Media dan Kinerja Prabowo
Jika manusia benar-benar tidak memiliki kehendak bebas atas pikirannya, maka dapat dipastikan segala bentuk penilaiannya adalah buah dari olahan berbagai informasi eksternal. Artinya, ini mengafirmasi pernyataan Ali Rif’an bahwa baiknya persepsi publik terhadap kinerja Prabowo dikarenakan atas popularitas dan pemberitaan positif terhadapnya.
Melihat pemberitaan-pemberitaan yang ada, memang harus diakui Prabowo seolah ditampilkan sebagai menteri gemilang yang begitu heroik. Ini misalnya terlihat dari berita kunjungan sang Menhan ke berbagai negara yang mudah dimaknai publik sebagai perwujudan dari kualitas dan kemampuannya dalam melakukan diplomasi pertahanan.
Apalagi, Presiden Jokowi juga seolah sedang meng-endorse Ketum Partai Gerindra tersebut. Pada Januari lalu, misalnya, ketika Prabowo dihujani kritik oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena kerap melakukan perjalanan ke luar negeri, mantan Wali Kota Solo tersebut langsung turun gunung dan tampil sebagai sosok pembela dengan menyebut perjalanan tersebut sebagai diplomasi pertahanan.
Saat ini, mantan Danjen Kopassus tersebut juga dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk memimpin proyek food estate atau lumbung pangan untuk menjaga kebutuhan pangan Indonesia di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dengan vitalnya kebutuhan pangan, mudah untuk menyimpulkan bahwa Prabowo akan mendapatkan apresiasi meriah dari publik jika nantinya proyek tersebut berjalan dengan sukses.
Lalu, di tengah situasi panas Laut China Selatan (LCS) akibat intervensi Tiongkok, Prabowo terlihat melakukan manuver cantik dengan mendekati Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) sekaligus. Terbaru, Prabowo bahkan diundang langsung oleh Menhan AS ke Pentagon, yang sekaligus menandai libur panjang kunjungannya ke negeri Paman Sam.
Jelas saja, pemberitaan tentang manuver cantik tersebut mendapatkan atensi positif publik dengan memuji strategi Prabowo. Masifnya diplomasi yang diperlihatkan juga seolah ingin menunjukkan ke hadapan publik bahwa Prabowo memiliki koneksi yang luas dan kecerdasan yang mumpuni.
Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa modal politik merupakan salah satu elemen yang memengaruhi karier politik seseorang. Salah satu jenis modal yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik adalah modal sosial. Salah satu cara untuk mengukur modal jenis ini adalah dengan melihat seberapa jauh politikus tersebut dikenal (name recognition).
Mengacu pada Casey, selain karena Prabowo yang memang telah terkenal sebelumnya, pemberitan masif terkait diplomasi pertahanan yang dilakukan akan membuat pengakuan publik terhadap Ketum Partai Gerindra tersebut akan jauh lebih besar dari sebelumnya.
Pada kesimpulannya, kita dapat mengatakan bahwa selalu tingginya respons kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo dipengaruhi oleh popularitas dan pemberitaan positif terhadapnya. Lagipula, tidak semua pihak memiliki kecakapan dalam menilai baik buruknya kinerja suatu menteri. Untuk menilai Prabowo, misalnya, publik perlu memiliki pengetahuan tentang militer dan hubungan internasional.
Alhasil, apa yang bisa diandalkan oleh publik adalah berbagai pemberitaan yang ada terkait sepak terjang mantan Pangkostrad tersebut. Akan tetapi, kendati ada aspek eksternal yang memengaruhi persepsi publik atas kinerja Prabwo, itu tentunya bukanlah faktor satu-satunya, melainkan sebagai faktor penguat. Lagipula, tidak mungkin ada pemberitaan positif apabila Prabowo tidak melakukan kinerja yang baik. (R53)