HomeNalar PolitikMengapa Kelakuan Oknum Bule Seenaknya?

Mengapa Kelakuan Oknum Bule Seenaknya?

Ketidakpatuhan hukum sejumlah oknum bule atau turis asing di Bali yang diikuti respons pemerintah dan pihak terkait setelahnya berdampak luas. Bahkan, hingga memantik respons minor duta besar salah satu negara. Namun, mengapa fenomena oknum bule tak taat hukum itu bisa terjadi? Mungkinkah itu menjadi cerminan penegakan hukum secara umum di Indonesia? 


PinterPolitik.com 

Sejumlah oknum bule atau turis asing yang melakukan hal nyeleneh hingga pelanggaran hukum di Bali ramai dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir. Menariknya, respons pemerintah dan pihak berwenang terkait berbuntut panjang. 

Mulanya, kelakuan oknum bule itu tertangkap kamera warganet dan viral di media sosial. Mulai dari pelanggaran lalu lintas hingga memakai plat nomor tak sesuai aturan. 

Salah satunya adalah Lamborghini Aventador yang diduga milik Warga Negara Asing (WNA) asal Rusia menggunakan pelat “Domogatsky”. Kasus ini sendiri berbuntut panjang karena setelah diselidiki, mobil mewah asal Italia tersebut menunggak pajak. 

Setelah kelakuan oknum bule itu viral, Polda Bali kemudian menggelar razia massal. Dalam dua hari di akhir pekan pertama Maret lalu, 147 turis asing terjaring pelanggaran lalu lintas. 

Kembali, terdapat tangkapan layar warganet yang menampilkan seorang oknum bule yang marah ketika ditindak aparat. 

Satu yang juga viral adalah saat terdapat oknum bule asal Amerika Serikat (AS) marah dan menyebut polisi hanya butuh uang di balik penindakan tilangnya. 

infografis bule bule bali berulah

Selain pelanggaran lalu lintas, kabar terbaru menyebut Dinas Pariwisata Provinsi Bali akan menelusuri keberadaan wisatawan asing yang bekerja atau memiliki tempat usaha ilegal di Bali. 

Ironisnya, pelanggaran hingga perilaku minor itu tak sedikit terjadi. Akibatnya, memori kolektif masa lalu terkait perilaku oknum bule lain yang sempat mengabaikan norma budaya lokal turut mengemuka. 

Selain itu, satu yang menarik, respons Gubernur Bali I Wayan Koster atas fenomena massal pelanggaran hukum oknum bule itu memantik perdebatan panas. 

Selain menggaungkan penegakan hukum yang lebih tegas, Koster berencana mencabut Visa on Arrival (VOA) terhadap warga negara Rusia dan Ukraina yang ingin ke Bali. 

Nihilnya penjelasan spesifik terkait target negara yang disasar membuat rencana Koster tampaknya membuat Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin tersinggung. 

Diskursus mengenai reaksi pemerintah terhadap pelanggaran turis asing dianggap menggeneralisir atau menyudutkan pihak tertentu. 

Polemik tersebut juga membuat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno angkat bicara. Menurutnya, Indonesia tidak akan ragu mendeportasi WNA yang melanggar hukum berulang kali. 

Di atas semua perdebatan yang kini muncul, satu pertanyaan menarik kiranya patut dianalisis, yakni mengapa fenomena “massal” pelanggaran oknum bule itu bisa terjadi? Apakah hal itu sesungguhnya menyiratkan karakteristik penegakan hukum di Indonesia? 

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Persoalan Kompleks? 

seandainya majapahit masih berdiri 2

Perilaku sejumlah turis asing asal negara tertentu yang melanggar hukum di tanah air seolah mengingatkan kembali akan publikasi Edward Said yang berjudul Orientalism. Terutama terkait konteks Barat dan Timur. 

Said dalam teorinya tentang orientalisme, berupaya untuk mengungkap pola dominasi dari konsep oposisi biner (Barat-Timur, beradab-biadab, bermoral-amoral, dan lain-lain) yang dibawa oleh bangsa Barat. 

Konsep oposisi biner ini digunakan di era kolonialisme sebagai sarana untuk menanamkan sebuah kesadaran bahwa bangsa Barat jauh lebih dominan dan superior dibanding bangsa Timur. 

Sebagaimana yang menjadi diskursus selama ini, dalam masa penjajahan, masyarakat asli sebagian besar wilayah yang setelah merdeka bernama Indonesia diposisikan sebagai masyarakat yang tidak beradab dan tak berpengetahuan. 

Menurut Said, para penjajah telah menyuntikkan kesadaran palsu dengan memaksakan doktrin orientalisme kepada kaum terjajah. Hegemoni wacana orientalisme ini lantas menyebabkan kaum terjajah memperoleh kesadaran palsu tentang dirinya (dan juga Barat) dan dunianya (terhadap dunia Barat). 

Melalui penguasaan wacana itu, intervensi dan pengaruh Barat kepada negara-negara dunia ketiga – termasuk Indonesia – di berbagai sektor seperti politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya “menancap” cukup dalam. 

Jika ditarik ke ranah psikologis dan sosial kemasyarakatan secara kolektif, misalnya, penguasaan wacana dan kesadaran yang mewariskan sikap inferiority complex juga dianggap masih berlangsung hingga saat ini. Termasuk yang kemungkinan terjadi sebelum para oknum bule viral di Bali. 

Inferiority complex sendiri merupakan kondisi psikis saat seseorang atau entitas masyarakat tertentu merasa rendah diri dibandingkan entitas lainnya. Tentu dalam hal ini probabilitas masyarakat Indonesia yang masih silau terhadap WNA “Barat”. 

Di sisi lain, oknum WNA “Barat” pun kemungkinan mengalami hal serupa saat ini, kebalikan inferiority complex, yakni superiority complex

Akibatnya, apa yang terjadi dari polemik oknum bule di Bali belakangan ini bukan tidak mungkin menggambarkan sikap warga lokal dan penegak hukum Indonesia yang inferior dan cenderung permisif terhadap mereka. 

Sementara itu, di samping kemungkinan ketidaktahuan atas aturan di Indonesia, para oknum bule mungkin saja merasa bisa melakukan pelanggaran tertentu karena merasa lebih “superior”. 

Penegakan hukum lebih tegas dan respons pemerintah daerah terhadap para oknum bule itu pun kiranya tak mampu mematahkan interpretasi konteks inferior dan superior itu di waktu-waktu sebelumnya. 

Dalam ranah yang lebih bergeser sedikit, respons tersebut justru kembali memunculkan keputusan pemerintah dan penegakan hukum yang cenderung “berbasis viral” atau viral based policy

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Di titik ini, analisis dari konteks kepatuhan hukum kiranya cukup menarik untuk didalami karena bisa saja menyiratkan makna tertentu dari kondisi saat ini di negara +62. Mengapa demikian? 

image 2

Kepatuhan Hukum Terbalik? 

Fenomena dan polemik pelanggaran hukum dari oknum bule di Bali seolah mengingatkan kembali atas satu postulat menarik, yakni turis Indonesia akan lebih patuh terhadap hukum di negara lain dibanding di negaranya sendiri, sementara beberapa turis asing justru kerap leluasa melanggar hukum di Indonesia. 

Fithriatus Shalihah dalam buku berjudul Sosiologi Hukum menyiratkan pisau analisis untuk memahami fenomena tersebut. Ihwal yang tampaknya juga menjadi benang merah atas konteks inferioritas dan superioritas seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya. 

Dalam “lapisan” sosial dan hukum, Fithriatus menjelaskan semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratafikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Begitu pun sebaliknya. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya. 

Sementara itu, Shubhangi Roy dalam Theory of Social Proof and Legal Compliance: A Socio-Cognitive Explanation for Regulatory (Non) Compliance menjelaskan konseptualisasi pengaruh sosial lebih dari sekadar kepatuhan, plus memengaruhi “kepatuhan” tersebut. 

Informasi, kondisi psikologis, serta aspek sosial kemasyarakatan yang komprehensif menjelaskan kepatuhan hukum sekaligus menggambarkan fungsi ekspresif hukum di sebuah lingkungan. 

Dengan kata lain, kepatuhan hukum dalam konteks “oknum bule” kiranya menyiratkan bagaimana informasi, hingga respons dan ekspektasi sosio-psikologis mereka terhadap penegakan hukum di Indonesia 

Profesor hukum asal AS Lawrence M. Friedman menyebut hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 

Substansi hukum bermakna peraturan yang tertulis, struktur hukum adalah aparat dan institusi penegak hukum. Sementara budaya hukum, adalah respons atau kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu hukum. 

Dalam teorinya, Friedman melihat hukum sebagai suatu sistem. Artinya, penegakan hukum akan sulit terjadi apabila ketiga komponen tersebut tidak saling menunjang. 

Di titik ini, momentum mengemukanya oknum bule yang melakukan pelanggaran di Indonesia kiranya dapat dijadikan titik balik dalam penegakan hukum, baik dari perspektif domestik maupun impresi internasional. 

Dalam hal ini, pemerintah dan aparat penegak hukum terkait bisa “memperbarui” sikap untuk menerapkan dan tegaskan penegakan hukum bagi WNA, tanpa terkecuali, yang abai terhadap aturan. 

Misalnya, bukan dengan mengeluarkan anjuran tak memviralkan pelanggaran hukum demi menjaga citra semu belaka.

Tak lain, itu semua demi kondusivitas dan integritas hukum Indonesia di mata dunia. Dan secara khusus, bagi kenyamanan pariwisata dan para pelaku di dalamnya. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?