Meski tekanan asing terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 2022 terus mencuat, Indonesia tetap mengirimkan undangan sesuai prosedur seperti biasa. Bagaimana sebenarnya strategi yang diambil Jokowi dalam menangani polemik kehadiran Putin?
Konflik merupakan hal yang biasa terjadi dalam suatu kelompok. Mungkin, bisa dibilang konflik adalah bagian yang integral ada dalam kehidupan setiap individu – entah itu konflik dengan diri sendiri atau konflik dengan orang lain.
Saat dulu masih duduk di bangku sekolah, misalnya, tidak jarang pertengkaran terjadi dalam sebuah hubungan perkawanan. Biasanya, penyebabnya adalah hal-hal yang sebenarnya sederhana – seperti perebutan hati atau hanya permusuhan yang didasarkan pada identitas kelompok.
Di masa sekarang, konflik juga biasa terjadi dalam grup-grup di sejumlah aplikasi percakapan seperti WhatsApp. Terkadang, perbedaan mencolok memunculkan insiden-insiden pengusiran sejumlah anggota grup – atau bahkan membuat grup baru yang berbeda tanpa satu anggota tersebut.
Tanpa disadari, konflik-konflik yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari juga eksis di antara entitas-entitas yang lebih besar. Negara, misalnya, menjadi entitas yang sering kali bermusuhan satu sama lain.
Contoh nyata yang bisa diamati adalah konflik bersenjata yang kini meletus antara Ukraina dan Rusia. Konflik yang disebut bermula dari invasi Rusia pada 24 Februari 2022 tersebut kini meluas kepada pertengkaran di antara negara-negara lain di luar kawasan Eropa Timur.
Indonesia, misalnya, kini harus menghadapi dilema terkait polemik kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 2022 yang akan dilaksanakan di Bali nanti. Sebagai negara tuan rumah, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan tekanan dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya untuk tidak melibatkan Rusia dalam pertemuan internasional tersebut.
Sementara, sejumlah negara seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memberi saran kepada pemerintahan Jokowi untuk tidak menggubris pemerintah AS. Alasannya cukup sederhana, yakni karena G20 merupakan forum kerja sama yang didasarkan pada topik-topik ekonomi global – bukan topik-topik geopolitik yang lebih berfokus pada keamanan.
Indonesia sendiri hingga kini tidak memberikan sikap jelas terkait permintaan AS dan negara-negara Eropa. Hingga kini, pemerintahan Jokowi menyatakan bahwa Indonesia tetap mengundang semua negara anggota sesuai prosedur yang ada.
Padahal, pemerintahan Jokowi sendiri sebenarnya sudah menyatakan secara diplomatis bahwa Indonesia menolak aksi dan invasi sepihak apapun – meskipun tidak secara langsung menyebutkan negara yang dimaksud. Di sisi lain, invasi Rusia ke Ukraina juga menciptakan ketidakstabilan ekonomi global – hal yang kerap menjadi fokus Presiden Jokowi dalam berbagai pertemuan multilateral.
Bila memang konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini mengancam sejumlah kepentingan Indonesia, lantas, mengapa pemerintah lebih memilih diam dan tidak bersikap aktif dalam menanggapi konflik tersebut? Strategi dan kebijakan luar negeri seperti apa yang sebenarnya diambil oleh pemerintahan Jokowi dalam menanggapi isu Ukraina-Rusia ini?
Putin Adalah Kunci?
Keengganan pemerintahan Jokowi untuk bersikap tegas terhadap Rusia menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan umum dan pakar hubungan internasional. Pasalnya, Indonesia disebut memiliki kepentingan tertentu di balik pasifnya pemerintahan Jokowi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, misalnya, menduga bahwa pemerintah memiliki kepentingan perdagangan dengan Rusia – meski nilai perdagangan dan investasi Rusia di Indonesia dinilai kecil. Kepentingan ini terletak pada fakta bahwa Rusia merupakan produsen minyak dan gas mentah dengan harga terjangkau – di tengah ancaman inflasi global dan kenaikan harga pangan-energi dunia.
Di sisi lain, Indonesia dinilai juga memiliki kepentingan strategis – di luar kepentingan ekonomi. Ketertarikan Indonesia untuk membeli senjata dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) produksi Rusia, misalnya, telah mencuat sejak bertahun-tahun lalu – meski akhirnya rencana tersebut batal akibat tekanan dan ancaman sanksi dari AS.
Namun, di luar kepentingan-kepentingan itu, Indonesia sebenarnya membutuhkan Rusia dalam konteks persaingan geopolitik. Dengan besarnya pengaruh AS dan Tiongkok terhadap situasi politik kawasan Indo-Pasifik, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi memperlukan kehadiran Rusia.
Dalam sebuah wawancara, profesor politik dari University of Chicago, John J. Mearsheimer menjelaskan sejumlah skenario terkait posisi Rusia dalam panggung politik internasional yang didominasi oleh AS dan Tiongkok. Rusia dinilai memiliki posisi penting sebagai negara besar (great power) ketiga yang menentukan keseimbangan kekuatan (balance of power) antara dua negara adidaya tersebut.
Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi melihat hal yang sama. Ini bisa jadi upaya Indonesia untuk menyeimbangkan (balancing) kekuatan-kekuatan yang ada di Asia Tenggara.
Pasalnya, Tiongkok dinilai memiliki pengaruh cukup besar terhadap Indonesia dalam bidang ekonomi – seperti perdagangan dan investasi. Sementara, AS hingga kini masih menjadi mitra strategis bagi Indonesia dalam bidang pertahanan.
Kehadiran Rusia sebagai negara yang bisa menyediakan dua sisi kepentingan ini bukan tidak mungkin membuat pemerintahan Jokowi bisa keluar dari jebakan-jebakan pengaruh dari AS dan Tiongkok. Dengan begitu, Indonesia tetap mendapatkan otonomi strategis (strategic autonomy) pada tingkat tertentu dalam mengarungi kontestasi geopolitik – baik di kawasan maupun di tingkat internasional.
Namun, mungkinkah ini satu-satunya alasan strategis di balik sikap pasif Indonesia dalam menanggapi isu konflik Rusia-Ukraina? Mungkinkah cara memerintah Jokowi turut mempengaruhi jalannya politik luar negeri Indonesia?
“Raja” Jokowi Siap Tangani Putin?
Bukan tidak mungkin, kepentingan geopolitik bukanlah satu-satunya alasan di balik sikap Jokowi terhadap isu Rusia-Ukraina. Ini bisa dilihat dari cara yang diambil Jokowi sebagai individu dalam mengarungi dimensi politik internasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Jokowi kerap disebut menjalankan politik bak raja Jawa dalam politik domestik. Namun, bukan tidak mungkin, cara yang sama diterapkan dalam politik internasional.
Dalam pola politik Jawa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power, untuk mewujudkan harmoni dan ketenteraman merupakan tujuan utama. Oleh sebab itu, kehadiran raja (God-king) sebagai pusat kekuatan dianggap penting untuk menciptakan harmoni tersebut.
Dalam konteks politik Jawa di era kerajaan-kerajaan dahulu, pusat kekuatan terletak di ibu kota – di mana sang raja memimpin. Entitas-entitas kekuatan lain yang ada di luar ibu kota memainkan peran sebagai mancanegara yang membayar tribut kepada ibu kota – dengan jaminan perlindungan dan keamanan.
Pola kekuatan yang terpusat pada God-king ini juga berlaku dalam politik kawasan. Sistem ini disebut sebagai sistem mandala.
Tentu, untuk mewujudkan ini, sang raja perlu melakukan sejumlah upaya pemusatan kekuatan. Anderson menyebut hal ini sebagai upaya untuk mengumpulkan “pusaka-pusaka” di istana agar bisa memperkuat sang raja.
Bukan tidak mungkin, kepentingan-kepentingan Indonesia – seperti perdagangan, investasi dan alutsista – yang didapatkan dari AS, Tiongkok, dan Rusia merupakan bagian dari pengumpulan “pusaka”. Dengan begitu, Indonesia bisa berperan sebagai pusat kekuatan dalam mandala-nya di kawasan Indo-Pasifik.
Ini terlihat dari bagaimana pemerintahan Jokowi menempatkan Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai pusat multilateral bagi kawasan Indo-Pasifik dengan mengajukan sejumlah gagasan seperti ASEAN Centrality dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang menempatkan kawasn ini sebagai kawasan yang saling terhubung (inter-connected).
Meski begitu, bukan tidak mungkin, sistem mandala yang telah dibangun ini memiliki sejumlah tantangan dan hambatan. Perbedaan kepentingan yang ada di antara negara-negara ini bisa saja membuat pusat kekuatan memiliki kontrol yang lemah.
Sikap diam pemerintahan Jokowi terhadap kehadiran Rusia di KTT G20 2022 di Bali pada November mendatang merupakan cara Indonesia dalam menjaga harmoni yang ada. Dengan begitu, Jokowi pun bisa mengatur otonomi strategis Indonesia.
Lagipula, untuk menjaga kesaktian “pusaka-pusaka” ini, perlu juga untuk merawatnya. Bila tidak terawat dengan baik, bukan tidak mungkin kesaktian “pusaka-pusaka” tersebut malah memudar seiring berjalannya waktu. (A43)