Perjalanan satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua menuai banyak kritik. Sebagian besar menilai Jokowi kini tak lagi memperhitungkan pendapat publik dalam mengambil kebijakan, membuat presiden semakin dipersepsikan sebagai pemimpin yang anti populis. Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Hari peringatan atau anniversary adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia. Anniversary merupakan hari untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa berarti, mulai dari pernikahan, kematian, hingga momen-momen berharga lain yang mungkin saja mengubah hidup kita.
Sama halnya dengan pernikahan, ulang tahun, atau hari jadi sebuah organisasi, peringatan satu tahun jabatan politik, apalagi posisi elektoral tertinggi di negeri ini, yakni Presiden dan Wakil Presiden juga merupakan momen yang layak untuk dirayakan.
Meski tak memiliki pengakuan resmi layaknya hari-hari bersejarah lainnya, namun merefleksikan kembali bagaimana sebuah kepemimpinan menjalankan roda pemerintahan selalu mendapatkan signifikansinya di momen-monen setahun sekali ini. Tak terkecuali peringatan satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang baru saja dirayakan pada 20 Oktober lalu.
Namun tak seperti anniversary yang biasanya dirayakan dengan sukacita, peringatan satu tahun pertama periode kedua kepemimpinan Jokowi justru ramai oleh kritik dan suara-suara sumbang bernada sinis. Bahkan, momen itu malah dimanfaatkan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan aksi protes terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Kendati begitu, kemunculan sentimen-sentimen minor terhadap pemerintah bukanlah tanpa sebab. Selama setahun terakhir, nyatanya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memang lebih banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang menuai kritik tajam, mulai dari revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), carut marutnya penanganan pandemi Covid-19, hingga yang paling teranyar, apalagi kalau bukan UU Ciptaker.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kepemimpinan Jokowi di periode kedua sangat berbeda dengan periode pertama sebagai presiden. Ia menyebut di periode ini Presiden Jokowi cenderung mengambil kebijakan-kebijakan non-populis.
Nyatanya kritikan itu diafirmasi sendiri oleh Istana. Kepala Staf Kepresiden Moeldoko mengakui kalau Presiden Jokowi memang berani mengambil kebijakan yang non-populis. Akan tetapi Ia berdalih langkah ini diambil demi kepentingan masyarakat sendiri.
Konteks ini semakin menarik untuk dibahas jika kita mengingat kembali pernyataan Presiden Jokowi satu tahun lalu saat terpilih kembali sebagai Presiden di periode kedua. Saat itu Ia sempat menegaskan bahwa dirinya akan mengambil kebijakan apapun demi kepentigan rakyat lantaran sudah tak lagi memiliki beban.
Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan Presiden Jokowi kini justru menjadi pemimpin yang semakin anti populis?
Terancam Kutukan Periode Kedua?
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai dengan banyaknya kritik-kritik terhadap Presiden Jokowi telah membuat kepemimpinannya di periode kedua ini terancam terjebak dalam kutukan periode kedua, atau second term curse.
Hal ini terlihat dari munculnya akumulasi penghakiman publik terhadap Presiden. Gelombang penolakan demi penolakan terhadap berbagai UU kontroversial kemudian menjadi puncak kekecewaan publik terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Fenomena second term curse sebenarnya sudah lama dikenal di dunia politik Amerika Serikat (AS). Berdasarkan penelitian Alfred Zacher dalam bukunya yang berjudul Presidential Power in Troubled Second Terms, disebutkan hanya sekitar sepertiga presiden-presiden AS yang memenangkan pemilihan ulang, sukses menorehkan kepemimpinan di periode kedua.
Meski jamak terjadi, namun Zacher menyebut tak ada faktor pasti yang melatarbelakangi fenomena ini. Penyebab seorang presiden mengalami gejala kutukan periode kedua sangat beragam dan melibatkan banyak faktor.
Ari Saphiro – mengutip pernyataan Donna Hoffman dari University of Northern Iowa – dalam tulisannya yang berjudul Is There Really a Second-Term Curse? mengatakan salah satu penyebab terjadinya kutukan periode kedua adalah karena lunturnya pengaruh presiden terhadap parlemen. Memudarnya pengaruh presiden tersebut bahkan terjadi di dalam partai pendukung pemerintah sendiri.
Presiden yang mulai kehilangan pengaruhnya itu lantas dijuluki sebagai the lame duck atau bebek lumpuh.
Istilah lame duck awalnya mengacu pada pengusaha yang tengah menuju kebangkrutan. A Dictionary of Phrase and Fable karya Ebenezer Cobham Brewer mendeskripsikan lame duck sebagai pekerja saham atau dealer yang tidak akan, atau tidak bisa membayar kerugiannya dan harus ‘berjalan keluar dari gang seperti bebek yang lumpuh.’ Pada tahun 1800-an, frasa tersebut dikonotasikan secara politik untuk menggambarkan politisi yang mulai kehilangan pengaruh politiknya.
Tak ada periode pasti kapan seorang presiden mulai menjadi politikus lame-duck. David A. Graham dalam tulisannya di The Atlantic mengatakan biasanya seorang presiden mengalami gejala lame duck satu bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Akan tetapi, dia melihat saat ini mulai banyak presiden yang mengalami gejala serupa jauh sebelum masa jabatannya berakhir. Selain itu, fenomena tersebut kini tak hanya menimpa presiden yang menjabat di periode kedua. Pemimpin yang baru menjabat satu periode juga bisa terserang gejala lame duck.
Graham mencontohkan salah satu politikus yang menderita gejala lame duck terlalu dini adalah Presiden AS Donald Trump. Gejala tersebut, menurutnya, sudah terjadi bahkan sejak tujuh bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Sejumlah alasan yang membuat Graham menilai Trump telah menjadi politikus lame duck adalah karena banyaknya agenda legislasi Presiden yang mandek di parlemen, relasi dengan para pemimpin dunia yang dinilai berantakan, hingga tingkat kepuasan publik (approval rating) yang tak terlalu tinggi.
Meski demikian, dalam konteks Indonesia, Presiden Jokowi agaknya belum bisa dikatakan terjangkit gejala lame duck. Mulusnya pengesahan RUU Ciptaker kiranya dapat dijadikan pembenaran bahwa pengaruh Presiden di parlemen memang sangat kuat.
Bahkan saking kuatnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) sampai menyebut Presiden Jokowi telah menjadikan DPR seperti macan ompong.
Lalu, jika bukan karena gejala lame duck, apa kira-kira yang bisa menyebabkan Presiden Jokowi terancam terjebak dalam kutukan periode kedua?
Zainal melihat terdapat disorientasi kebijakan sebagai salah satu penyebab kepemimpinan Jokowi menuai banyak sentimen minor belakagan ini. Menurutnya, pergeseran tersebut membuat kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi kini cenderung hanya mengutamakan kepentingan politik dan mengabaikan kepentingan publik.
Ia mengatakan kepemimpinan Jokowi bisa benar-benar mengalami kutukan di periode kedua jika disorientasi ini terseret lebih jauh lagi pada fragmentasi perebutan kekuasaan menuju Pilpres 2024. Ia mengingatkan jika tren ini terus dibiarkan, pergeseran orientasi ini berpotensi menjadi senjata pamungkas bagi pihak lain yang berambisi meraih kekuasaan di Pilpres 2024.
Zainal menilai siapapun yang akan berkontestasi di Pemilu mendatang, baik yang saat ini tengah bermesraan dengan Presiden maupun para oposan, kelak akan menjadikan periode kedua Presiden Jokowi sebagai objek penghakiman. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kepemimpinan Jokowi akan selalu diingat sebagai sebuah kegagalan oleh publik.
Jika benar demikian, apa sekiranya yang menyebabkan pemerintahan Jokowi mengalami disorientasi kebijakan?
Ekses Koalisi Gemuk?
Sedari awal terpilih kembali untuk periode kedua, sejumlah pengamat sudah menyatakan kegundahannya bahwa pemerintahan Jokowi nantinya akan terlalu banyak berkutat pada kepentingan sektoral. Hal ini dilandasi dari gemuknya koalisi-koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 lalu.
Belum lagi bergabungnya Partai Gerindra ke dalam gerbong pemerintahan, sudah barang tentu akan membuat pemerintahan Jokowi semakin dibayangi oligarki.
Peneliti politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan gemuknya koalisi Jokowi akan membuat negara berpotensi dikuasai para elite semata. Padahal, idealnya pemerintahan dalam sistem presidensial seharusnya mengedepankan asas pengawasan dan keseimbangan atau checks and balances.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarifhidayatullah, Adi Prayitno juga melihat adanya implikasi antara struktur koalisi dan arah kebijakan. Selain berpotensi menganggu sistem checks and balances, menurutnya, terbentuknya koalisi gemuk di pemerintahan juga berpotensi melahirkan banyak kompromi-kompromi politik dalam menentukan kebijakan ke depan.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu berorientasi pada kepentingan politik semata bisa saja disebabkan karena banyaknya hajat yang harus diakomodir oleh Presiden sebagai konsekuensi dari terbentuknya koalisi gemuk pendukung pemerintah. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Presiden kini tak lagi terlalu memerhatikan kepentingan publik sehingga membuatnya semakin dipersepsikan sebagai pemimpin yang anti populis.
Pada akhirnya, asumsi-asumsi yang mengatakan Presiden Jokowi menjadi pemimpin yang semakin anti populis sebagai konsekuensi dari lahirnya koalisi gemuk pendukung pemerintah belum tentu benar adanya.
Namun yang jelas, jika benar telah terjadi disorientasi kebijakan, ini dapat menjadi presedenbagi publik untuk nantinya mengingat sosok Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang gagal memperjuangkan kepentingan rakyat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.