Pemerintah akan melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 34 ribu hektar di sepanjang tahun 2021. Hal ini tidak lepas dari 80 persen lahan hutan mangrove yang mengalami kerusakan. Apakah keputusan tersebut berorientasi untuk kepentingan rakyat atau hanya pada bisnis semata?
Hutan mangrove memiliki banyak manfaat mulai dari memperbaiki ekosistem di pesisir pantai, mengurangi abrasi air laut hingga mengurangi emisi karbon. Maka, tidak heran apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya hutan mangrove sehingga harus dipelihara dan dirawat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan merehabilitasi hutan mangrove yang ada di Tanah Air. Rencana untuk melakukan rehabilitasi terhadap hutan mangrove dikemukakan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Kota Batam, khususnya di Bengkalis pada 28 September 2021 lalu.
Pada momentum tersebut, Presiden menegaskan akan melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 34 ribu hektar pada sepanjang tahun 2021. Tidak hanya mengusulkan untuk melakukan rehabilitasi, namun eksistensi hutan mangrove diharapkan bisa berkontribusi dalam penyerapan emisi karbon. Sebenarnya, tidak hanya hutan mangrove yang memiliki cadangan atau nilai simpan karbon.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritimian dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan bahwa lahan gambut dan hutan hujan tropis juga memiliki nilai simpan karbon yang cukup tinggi. Adapun persentasenya untuk hutan mangrove, yaitu mempunyai nilai simpan karbon setara dengan 33 giga ton atau 20 persen cadangan dunia. Lahan gambut mengandung nilai simpan karbon sekitar 55 giga ton atau 37 persen dari cadangan dunia. Kemudian, hutan hujan tropis memiliki nilai simpan sebesar 25,18 giga ton.
Meski hutan mangrove memiliki persentase lahan yang cukup tinggi, namun ketersediaan lahannya hingga saat ini cukup kritis. Menurut data dari Mangrove Restoration Alliance atau Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (MERA), tercatat 80 persen hutan mangrove di Pulau Jawa yang sudah rusak. Kondisi tersebut bisa dilihat di Jakarta dengan adanya sisa lahan mangrove sekitar 300 hektar, tepatnya di kawasan Angke Kapuk, Jakarta Utara.
Padahal menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019, tercatat Indonesia memiliki luas hutan mangrove seluas 3,556 juta hektar, namun saat ini hanya menyisakan 1,193 juta hektar. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menilai bahwa penyusutan luas lahan disebabkan berbagai faktor mulai dari pembangunan proyek properti, reklamasi, pertambangan hingga pembangunan resort.
Baca Juga: Jokowi, Ironi Cantik Kelapa Sawit
Tidak hanya mangrove, kerusakan yang cukup signifikan juga terjadi pada hutan tropis di Indonesia. World Resources Institute (WRI) mencatat pada tahun 2018, Indonesia masuk dalam 10 negara yang mengalami penyusutan yang cukup tinggi khususnya di sektor hutan tropis. Kehilangan lahan seluas 339.888 hektar menempatkan Indonesia pada urutan ketiga di bawah Brazil dan Kongo, sebagai negara dengan angka penyusutan yang cukup tinggi.
Kondisi ini juga dipengaruhi dengan adanya alih fungsi lahan yang didominasi oleh ekspansi kebun sawit. Kondisi ini memperlihatkan sektor lahan hutan selain mangrove juga sudah sepatutnya mendapat perhatian karena memiliki nilai manfaat yang sama, yaitu bisa untuk menyerap emisi karbon.
Lantas, mengapa Presiden Jokowi hanya menyinggung mangrove?
Mengapa Hanya Mangrove?
Anggota DPR dari Komisi IV, Riezky Aprilia sempat mempertanyakan tingginya anggaran Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang akan dipergunakan oleh KLHK dan KKP untuk merestorasi mangrove. Anggaran hampir Rp 1,5 triliun dinilai terlalu besar mengingat negara masih berjibaku melawan pandemi Covid-19. Sebelumnya, saat masih bernama Badan Restorasi Gambut (BRG), anggaran untuk melakukan restorasi hanya senilai Rp 300 miliar. Ketika sudah berubah menjadi BRGM, anggarannya meningkat tajam.
Meski demikian, rehabilitasi hutan mangrove tetap berjalan karena KLHK dan BRGM sudah memproyeksikan akan merehabilitasi hutan mangrove yang ada di sembilan provinsi, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Bangka Belitung, Kepulauan Riau (Kepri), Riau, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Utara (Kalut), Papua dan Papua Barat. Total luas lahan mangrove yang akan menjalani rehabilitasi pada tahun 2021 seluas 83 ribu hektar dan dilakukan secara bertahap.
Selain itu, wujud keseriusan untuk memperhatikan ekosistem tersebut juga terlihat dari upaya KLHK untuk menanam 600 ribu hektar mangrove. Rencana ini bertujuan untuk memulihkan lingkungan dan perekonomian warga di seluruh penjuru Indonesia. Namun upaya ini mendapat kritikan dari Manajer Kampanye Keadilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yuyun Harmono karena dianggap hanya untuk mencari pendanaan dari perdagangan karbon.
Dalam tulisan Ivan R. Sales yang berjudul Green Capitalism, dijelaskan bahwa upaya dalam memprioritaskan nilai ekonomis terhadap sebuah ekosistem dan keanekaragaman sumber daya alam, bertujuan untuk mengurangi dampak negatif bagi kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada manfaat ekosistem tersebut yang mampu memberikan dampak signifikan di berbagai sektor seperti air, makanan, dan energi.
Baca Juga: Dimensi Kekuasaan Ketiga Ciptaker: Perempuan dan Sawit
Manfaat lain yang tidak kalah penting adalah mampu menyerap emisi karbon. Hal inilah yang tergambar pada ekosistem mangrove karena bisa memberikan nilai manfaat baik dari sisi lingkungan maupun ekonomis. Maka tidak heran apabila pemerintah menyoroti eksistensi hutan mangrove di Tanah Air. Terlepas dari nilai manfaatnya dalam hal ekonomis dan lingkungan, sebenarnya tidak hanya ekosistem mangrove yang patut menjadi perhatian pemerintah.
Kerusakan ekosistem juga melanda hutan tropis yang mayoritas berada di daratan, sehingga Indonesia sempat menjadi negara dengan tingkat penyusutan lahan hutan tropis yang cukup tinggi. Melihat kondisi ini, apakah sudah ada keberimbangan perhatian antara hutan mangrove dengan hutan tropis? Apakah pemerintah saat ini hanya fokus untuk merehabilitasi hutan mangrove saja?
Kepentingan Bisnis Semata?
Kerusakan yang melanda hutan tropis di Indonesia ternyata tidak meluas atau bertambah parah. Hal ini mengacu pada data dari World Resource Institute (WRI) yang menunjukkan pada tahun 2020 laju kehilangan hutan primer Indonesia menurun selama empat tahun berturut-turut. Hal ini juga dipengaruhi oleh upaya pemerintah yang berinisiatif untuk melakukan moratorium terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit di hutan primer dan lahan gambut. Hal tersebut diatur dalam aturan moratorium Inpres Nomor 8 Tahun 2018 yang diteken oleh Presiden Jokowi pada 19 September 2018.
Dalam Inpres tersebut, khususnya pada poin ke-11, secara garis besar menegaskan pelaksanaan penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit yang diterbitkan dilakukan paling lama 3 tahun sejak Inpres dikeluarkan. Maka, otomatis pada tahun 2021, masa berlaku Inpres tersebut berakhir pada 19 September lalu.
Hingga saat ini, tarik ulur terkait perpanjangan moratorium masih terjadi, namun beberapa pihak sudah mengutarakan keinginannya agar kebijakan tersebut diperpanjang. Mereka adalah Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hada dan Bupati Sorong, Papua Barat, Johny Kamuru. Intinya, mereka mendukung perpanjangan moratorium supaya bisa melakukan evaluasi terhadap beberapa perusahaan sawit.
Hal ini penting, mengingat produksi perkebunan sawit perkebunan rakyat masih rendah dan selalu berada di bawah produktivitas sawit nasional. Berdasarkan data Statistik Kelapa Sawit dari Kementerian Pertanian dari tahun 2018, produktivitas perkebunan rakyat hanya mencapai 3.065,95 kg/ha/tahun. Jumlah ini turun 3,12 persen dibandingkan tahun sebelumnya, bahkan lebih rendah dari produktivitas nasional sebesar 3.517,33 kg/ha/tahun. Kondisi ini memperlihatkan pendampingan pemerintah terhadap perkebunan sawit rakyat masih belum optimal karena masih kalah dibandingkan perusahaan swasta atau perusahaan besar negara.
Baca Juga: Korindo dan Ironi Hutan Papua
Apabila pemerintah serius ingin memperbaiki lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sudah sepatutnya juga berkomitmen untuk memperhatikan kondisi hutan tropis agar tidak menguntungkan salah satu pihak saja. Dalam tulisan berjudul Murdoch International: The Murdoch International: The ‘Murdoch School’ in International Relations karya Dr. Shahar Hameiri, ditegaskan pendekatan Murdoch memandang sebuah konflik sosial terjadi karena adanya tarik ulur kepentingan antar kelompok atau golongan atas sumber daya dalam suatu negara.
Fenomena ini umumnya terjadi karena situasi perekonomian yang cenderung kapitalis sehingga bisa memicu timbulnya persaingan antar kelas. Maka, di sinilah seharusnya negara berperan sebagai penengah supaya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tidak semakin tajam terutama dalam merealisasikan ekonomi hijau. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.