HomeNalar PolitikMengapa Jokowi-Anies Dibenturkan?

Mengapa Jokowi-Anies Dibenturkan?

Kebijakan pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang disambut minor oleh sejumlah pihak, seolah menciptakan narasi hubungan konfliktual antara Anies dan pemerintah pusat, termasuk dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa hal ini bisa terjadi? Adakah pihak yang diuntungkan dari terciptanya narasi tersebut?


PinterPolitik.com

Sebagian kalangan publik di tanah air mungkin tidak habis pikir. Di tengah kegentingan peningkatan jumlah kasus Covid-19, tingkat kematian, dan menipisnya kapasitas dan kemampuan fasilitas kesehatan serta tenaga medis, masih terdapat narasi-narasi politis kental yang dikedepankan segelintir elite.

Satu yang masih hangat ialah terkait dengan penarikan rem darurat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan yang rasionalisasinya dinilai cukup tepat mengingat berbagai fakta kasus dan penanganan Covid-19 di lapangan.

Akan tetapi, keteguhan pilihan DKI 1 justru disambut dengan reaksi kurang positif dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah menteri di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Para pengampu aspek ekonomi seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang, hingga Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto kompak melayangkan reaksi sinis atas pengereman Anies.

Sementara petinggi PDIP, Hasto Kristiyanto secara tidak langsung menyindir Anies dengan mengimbau kepala daerah kader partainya agar tidak grasa grusu dalam mengambil kebijakan tanpa pertimbangan matang.

Dari sudut lain, Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan juga menilai bahwa kebijakan Anies tersebut adalah bukti kegagalan eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam menangani Covid-19 di wilayahnya.

Tigor bahkan kemudian melontarkan saran yang seirama dengan politisi Partai Gerindra, Arief Puyuono bahwa kinerja Anies harus dievaluasi oleh pemerintah pusat. Nama terakhir bahkan cenderung ekstrem dengan meminta Presiden Jokowi untuk menonaktifkan Anies akibat dianggap melangkahi kewenangan kepala negara.

Oleh karena itu, cukup sulit dipungkiri ketika rangkaian kritik tajam pada Anies tersebut lagi-lagi memberikan impresi kuat pada publik atas eksistensi atmosfer konfliktual, utamanya antara Balai Kota dan Istana Negara.

Untungnya, masih terdapat upaya untuk meredam impresi destruktif tersebut seperti yang disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah dan politisi PKS Tifatul Sembiring. Keduanya senada meminta agar semua pihak tidak membenturkan Anies dan Jokowi.

Lantas pertanyaannya, mengapa terdapat semacam kecenderungan konstruksi narasi konfliktual antara Anies Baswedan dan Presiden Jokowi? Adakah pihak yang diuntungkan atas narasi tersebut?

Sabotase Politik Terhadap Anies?

Realitanya, bukan hanya kali ini Anies dan Presiden Jokowi terkesan “dibenturkan”, paling tidak sejak eks Rektor Universitas Paramadina itu berkantor di Balai Kota.

Isu normalisasi dan naturalisasi plus isu banjir, revitalisasi kawasan Monas, hingga seputar kemacetan akut jalanan ibu kota sempat dibalut dengan kontradiksi hubungan antara Anies dan Presiden Jokowi.

Dengan berbagai pola kecenderungan konstruksi pembenturan antara dua pemimpin yang ada, paling tidak terdapat dua hal yang dinilai mendasarinya. Pertama, terkait dengan ekspos media, dan yang kedua ialah terkait dengan berbagai tendensi konkret bersifat yang politis.

Baca juga :  Jokowi's Secret Painting?

Scott London dalam How the Media Frames Political Issues menyebut bahwa framing effect dari media berperan besar dalam terbentuknya berbagai bentuk interpretasi dan agenda politik yang terjadi. Media juga dikatakan mendorong reasoning atau penalaran atas berbagai kepingan berita yang ada, baik berdampak positif maupun negatif terhadap persepsi publik.

Mengacu pada intisari tulisan Scott tersebut, dalam menjalankan tugas alamiahnya, media juga acapkali secara tidak langsung berperan dalam konstruksi narasi tertentu atas dinamika politik yang sedang mengemuka.

Karakteristik penghimpunan fakta lapangan berupa respon ataupun komentar dari dua pihak atau lebih, juga jamak bermuara pada framing effect konstruksi atmosfer politik yang tercipta di antara para pihak tersebut. Termasuk dalam berbagai pemberitaan terkait kebijakan Anies di DKI Jakarta dan pemerintah pusat yang acapkali memiliki korelasi.

Belum lagi ditambah tren pemberitaan kekinian dengan penggunaan judul-judul menarik. Artinya, media dinilai turut berperan penting dalam narasi soliditas ataupun konfliktual dalam berbagai dinamika politik, termasuk hubungan Anies-Jokowi.

Meski tidak terkait dengan narasi hubungan Anies-Jokowi, klarifikasi salah satu media yang alpa dalam mengimbuhkan “total” dalam kebijakan PSBB DKI Jakarta menjadi pengejawantahan bahwa framing effect media begitu vital dalam mendefinisikan interpretasi serta agenda politik yang ada.

Kendati demikian, peran media dalam pembentukan narasi politik hanyalah faktor eksternal. Konteks yang substansial agaknya tetap berada pada kecenderungan perilaku para aktor politik itu sendiri.

Pada konteks hubungan Anies dan Presiden Jokowi, jika diamati dengan saksama, narasi konfliktual yang tercipta mungkin saja memiliki tujuan tertentu. Pada isu kebijakan pengetatan PSBB DKI Jakarta sendiri, berbagai kritik yang ada seolah mencerminkan upaya untuk mendiskreditkan kebijakan dan kapabilitas Anies, yang tak jarang dikonfrontasi dengan ketidakselarasan atau melangkahi presiden.

Alexander Hirsch dan Jonathan Kastellec dalam publikasinya yang berjudul A Theory of Policy Sabotage mengatakan bahwa upaya pihak-pihak berseberangan dalam “mengganggu” implementasi sebuah kebijakan dapat menjadi strategi politik yang efektif, khususnya pada konteks elektoral.

Berangkat dari simpulan Hirsch dan Kastellec tersebut, “gangguan” terhadap kebijakan pengetatan PSBB Anies barangkali merupakan salah satu strategi politik dari para pihak yang melihat bahwa progresivitas Anies merupakan ancaman elektoral tersendiri.

Elektabilitas Anies yang cukup diperhitungkan, baik pada Pilkada DKI Jakarta berikutnya maupun Pilpres 2024 dinilai menjadikan eks Mendikbud yang tak terafiliasi partai politik (parpol) menjadi sasaran empuk pihak-pihak yang mungkin tak menyukainya secara politik.

Pada titik ini, publik tentu dapat dengan objektif menilai pihak mana dan kecenderungan apa saat kritik-kritik tendensius eksis menyertai langkah Anies di Jakarta, termasuk yang turut membuat konstruksi narasi hubungan konfliktual antara Anies dan Presiden Jokowi.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Namun sayangnya, kemudaratan adalah konsekuensi alamiah yang harus ditanggung banyak pihak, termasuk masyarakat luas jika hal tersebut benar-benar terjadi.

Apalagi, narasi atmosfer hubungan yang terjadi antara dua pemimpin dinilai berpengaruh besar secara langsung dalam keselarasan visi dan kebijakan vital penanganan pandemi Covid-19 yang kian mengkhawatirkan saat ini.

Lalu, benarkah hubungan antara Anies Baswedan dan Presiden Jokowi benar-benar tak harmonis? Bagaimana semestinya interaksi kedua belah pihak dalam meredam atmosfer konfliktual yang ada demi signifikansi tujuan bersama saat ini?

Saatnya Ciptakan Solidaritas

Jika menengok dari sudut yang berbeda, relasi antara Anies dan Jokowi sesungguhnya dapat dikatakan baik-baik saja. Jamak pada beberapa kesempatan, kedua tokoh justru menunjukkan bahwa narasi minor yang dijelaskan sebelumnya keliru.

Anies yang memberikan ucapan selamat saat presiden berulang tahun, gestur ajakan kepada publik agar memberikan dukungan pada kepala negara pada Juni lalu, hingga momen spesifik di masa lalu saat Presiden Jokowi yang bercengkrama akrab dengan Anies saat perhelatan final Piala Presiden 2018.

Momen-momen itulah yang sesungguhnya dapat menjadi fundamental bagi solidaritas keduanya, terutama di tengah tantangan dampak multi-dimensi pandemi Covid-19.

Misung Jang dalam Aristotle’s Political Friendship (politike philia) as Solidarity menyadur konsep political friendship Aristoteles sebagai sumber daya yang sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama suatu bangsa.

Inti dari political friendship sendiri adalah homonoia, yakni rekonsiliasi berbagai faksi yang ada untuk dapat saling meredam kepentingan dan hidup berdampingan, baik berdasarkan basis legal maupun moral.

Selain momen personal yang terjalin cukup baik antara Anies dan Presiden Jokowi, relasi profesional keduanya juga pada kenyataanya tidak dapat dikatakan dinaungi atmosfer konfliktual dan justru menunjukkan tendensi political friendship yang Jang sebutkan di atas, termasuk pada kebijakan pengetatan PSBB teranyar.

Hal tersebut dikuak oleh Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada awal pekan ini saat membantah adanya polemik antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat dalam kebijakan PSBB.

Mantan Danjen Kopassus itu menyebutkan bahwa Anies juga selalu melakukan koordinasi secara integral yang baik dengan Satgas, BNPB, hingga pemerintah pusat sebelum menetapkan berbagai langkah dalam penanganan Covid-19.

Terlebih lagi, kebijakan Anies untuk meniadakan isolasi mandiri juga didukung secara langsung oleh Presiden Jokowi dengan menyediakan belasan hotel untuk dijadikan tempat karantina.

Oleh karenanya, fokus saat ini semestinya diarahkan pada variabel-variabel yang konstruktif dan substansial, bukan pada penciptaan dan pelestarian narasi-narasi konfliktual yang memperkeruh situasi.

Tentu tendensi political friendship secara personal antara Anies dan Presiden Jokowi sangat baik dalam sinergitas keselarasan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan harus terus ditunjukkan di depan publik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?