Kasus perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya mungkin bukanlah persoalan kesalahan investasi semata. Baru-baru ini, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab turut mengomentari kasus yang nilai kerugiannya hampir dua kali lipat dari kasus Bank Century tersebut. Konteks tanggapan Habib Rizieq ini menjadi sangat menarik, menimbang dirinya kerap memberikan komentar terhadap kasus yang memiliki tendensi politis.
PinterPolitik.com
Jiwasraya telah lama menempatkan kakinya sebagai perusahaan asuransi di Indonesia. Dahulunya, perusahaan tersebut bernama NILLMIJ atau Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859 yang didirikan pada 31 Desember 1859 oleh Belanda yang menjajah Indonesia kala itu.
Pada 17 Desember 1960 barulah perusahaan tersebut dinasionalisasi atau menyandang status sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan berubah nama menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera, sebelum kemudian berubah nama menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 14 Juli 2003.
Kini, nama perusahaan tersebut benar-benar tengah hilir mudik di berbagai pemberitaan media massa. Bagaimana tidak, atas kegagalannya membayar polis nasabah, perusahaan asuransi pelat merah tersebut diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar Rp 13,7 triliun. Jumlah itu bahkan hampir dua kali lipat dari kerugian dalam kasus Bank Century yang mencapai Rp 7,4 triliun.
Melihat pada jumlah kerugiannya, berbagai pihak memberikan nada pesimis terkait kasus Jiwasyara dapat diusut dengan tuntas. Beralasan memang, membandingkan dengan kasus besar lainnya seperti Bank Century yang tidak selesai dengan tuntas, menjadi masuk akal jika menganggap kasus Jiwasraya yang kerugiannya lebih besar akan berakhir sama.
Benih penyakit Jiwasraya, seperti pernyataan Presiden Jokowi, sebenarnya telah lama terjadi. Namun, tidak seperti pernyataannya yang menyebutkan masalah ini sejak 10 tahun lalu, nyatanya persoalan Jiwasraya adalah imbas dari krisis moneter pada tahun 1998.
Namun, menurut penuturan Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu, Jiwasraya sebenarnya sudah sehat sejak 2009. Bahkan pada 2016 disebut mencatatkan keuntungan sampai triliunan rupiah. Keuntungan itu adalah buah dari produk JS Saving Plan yang berhasil menarik 17 ribu nasabah, termasuk 474 nasabah asing dari Korea Selatan.
Anehnya, pada 2018, perusahaan asuransi pelat merah tersebut menyatakan tidak dapat membayar polis nasabah, sekaligus membuat nasib belasan ribu nasabahnya terkatung-katung tanpa kepastian hingga saat ini.
Berbagai pihak lantas menggunakan istilah “raib” atau “menguap” begitu saja terkait triliunan dana Jiwasraya yang tiba-tiba tidak diketahui entah kemana. Secara gamblang, Said Didu bahkan menyebutkan dalam salah satu analisisnya bahwa terdapat kemungkinan terjadinya penggelapan dana yang disebutnya dengan istilah “perampokan”.
Alasan Said Didu cukup sederhana. Menurutnya aneh perusahaan yang sehat sejak 2016 tiba-tiba mengalami defisit, apalagi pada 2018 tidak terjadi krisis moneter seperti tahun 1998.
Dalam berbagai pemberitaan di media massa, disebutkan kasus ini terjadi karena perusahaan pelat merah tersebut berinvestasi di saham berisiko. Alhasil, karena saham yang diinvestasikan justru terjun bebas, menguaplah dana yang telah diinvestasikan.
Kontras dengan pernyataan Said Didu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru menyatakan bahwa sejak 2006 Jiwasraya telah merekayasa laporan keuangan (window dressing). BPK juga turut menegaskan bahwa menguapkan dana Jiwasraya terjadi karena 95 persen investasi dilakukan di saham-saham buruk (sampah).
Selain adanya analisis ekonomi terhadap kasus tersebut, terdapat pula pihak yang membedah persoalan ini dengan analisis politik, menimbang pada kasus Jiwasraya terjadi berdekatan dengan masa Pilpres 2019.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono misalnya, mengaitkan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Harry Prasetyo yang pernah menjadi tenaga ahli keuangan di Kantor Staf Kepresidenan. Menurut Arief, hal tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa raibnya dana Jiwasraya jangan-jangan untuk biaya kampanye pada Pilpres 2019.
Walau tudingan Arief Poyuono telah dibantah oleh berbagai pihak, bau-bau politik yang menyelimuti kasus Jiwasraya kembali diungkapkan oleh Rizieq Shibab yang turut berkomentar atas kasus tersebut.
Komentar itu ditulis oleh politikus Gerindra, Andre Rosiade di akun Twitter pribadinya selepas mengunjungi Habib Rizieq di Mekkah pada 5 Januari 2019 lalu. Di sana Andre menulis pesan Habib Rizieq agar kasus Jiwasraya senantiasa terus dikawal.
Konteks komentar Habib Rizieq ini terbilang sangat menarik. Pasalnya, ia selalu memberikan komentar pada kasus-kasus yang bernuansa politis. Sebagai pembanding, pada kasus First Travel yang heboh beberapa waktu yang lalu karena uang nasabah justru disita oleh negara, Habib Rizieq nampak tidak memberikan komentar serupa.
Lalu, benarkah terdapat pertautan politik di dalam kasus Jiwasraya?
BUMN untuk Kepentingan Politik
Simpulan yang menyebutkan kasus Jiwasraya memiliki hubungan dengan Pilpres 2019 masihlah belum jelas atau semacam hipotesis-hipotesis yang lumrah terjadi di tengah diskursus politik publik. Investigasi atas kasus ini sendiri masih bergulir dan tersangka belum ditetapkan oleh Kejaksaan Agung.
Di luar persoalan benar tidaknya hipotesis tersebut, adanya pertautan BUMN dengan aktivitas politik nasional sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum di berbagai negara.
Qingyuan Li, Chen Lin, dan Li Xu dalam Political Investment Cycles of State-owned Enterprises, yang menganalisis panel data 140.000 BUMN di 52 negara di Eropa dari tahun 2001 sampai 2015 memperlihatkan adanya pemanfaatan BUMN dalam kepentingan 82 pemilu oleh politisi incumbent (petahana).
Menurut mereka, Pemilu memberikan pengaturan yang menarik untuk mengeksplorasi bagaimana politisi petahana yang bertarung dalam Pemilu untuk periode berikutnya, menggunakan BUMN untuk mendapatkan dukungan politik dan mencapai tujuan politiknya.
Kemampuan politisi petahana untuk menggunakan BUMN untuk memenuhi tujuan politik memiliki perbedaan di berbagai negara, mengingat ini sangat bergantung pada kualitas kelembagaan negara terkait.
Perbedaan ini bergantung besar pada persoalan tingkat wewenang diskresi – kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi – yang dimiliki oleh politisi petahana. Dalam temuannya, mereka menyebutkan bahwa dalam pemerintah yang memiliki sistem check and balances yang lemah, investasi BUMN sangat diatur dan bersifat politis.
Akan tetapi, kendati BUMN memiliki kapabilitas untuk membantu politisi petahana dalam Pemilu, BUMN memiliki batasan dalam hal menggelontorkan dana. Atas persoalan ini, disebutkan bahwa terdapat praktik di mana politisi petahana membuat kebijakan agar bank wajib memberikan pinjaman kepada BUMN.
Bukti atas hal ini ditemukan ketika melihat adanya konsistensi peningkatakan pinjaman BUMN sebesar 7,27 persen ketika terjadi Pemilu.
Clara Volintiru, Bianca Toma, dan Alexandru Damian dalam How the Political Capture of State Owned Enterprises is Damaging Democracy in Central and Eastern Europe, juga memberikan kesimpulan yang sama. Negara-negara di Eropa, khususnya Eropa Timur disebut memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menggunakan wacana illiberal atau nasionalis untuk memastikan kontrol diskresi sebanyak mungkin atas aset negara.
Alhasil, mereka menemukan adanya penggunaan BUMN untuk mendanai partai politik ataupun kampanye pemilu.
Mungkinkah Pemerintah Gunakan BUMN?
Dalam dua tulisan tersebut, terdapat satu pertalian yang jelas, bahwa penggunaan BUMN dalam Pemilu akan dimungkinkan apabila terdapat wewenang diskresi yang besar. Artinya, hal itu dimungkinkan apabila pemerintahan dijalankan secara otoriter.
Pada konteks pemerintahan Jokowi, berbagai pengamat politik, termasuk dari luar negeri sebenarnya sudah menyoroti perihal terdapatnya nuansa pemerintahan yang tengah dijalankan secara otoriter.
Tom Power dari Australian National University dalam Jokowi’s Authoritarian Turn misalnya, menyebutkan pada 2018 telah melihat banyak bukti bahwa pemerintah Jokowi membuat berbagai kebijakan yang lebih mengarah ke sifat otoriter daripada demokratis.
Menurutnya terdapat upaya konsisten untuk memperoleh manfaat dari instrumentalisasi politik lembaga-lembaga utama negara. Mengutip Jacqui Baker, Power menggambarkan Jokowi sebagai presiden yang cenderung illiberal atau bertindak seolah-olah anti-demokrasi.
Artinya, mungkin dapat disimpulkan bahwa Jokowi adalah presiden yang memiliki wewenang diskresi yang cukup besar jika memang benar bahwa kebijakannya cenderung illiberal ataupun otoriter. Dengan kata lain, pada konteks ini, pemerintah telah memenuhi syarat, atau memiliki kapabilitas untuk menggunakan BUMN demi kepentingan politik.
Akan tetapi, kendati syarat tersebut mungkin telah terpenuhi, sampai saat ini belum terdapat bukti yang kuat terkait wewenang tersebut digunakan untuk memanfaatkan BUMN, yang dalam konteks ini adalah Jiwasraya.
Pada hematnya, kita tentu setuju bahwa kasus Jiwasraya harus segera diselesaikan dengan tuntas terlepas apapun persoalan di belakangnya. Penting juga bagi pemerintah untuk menjawab perihal ketidakjelasan pembayaran polis nasabah yang masih belum jelas sampai saat ini.
Terlepas dari itu, dengan turut berkomentarnya Habib Rizieq, maka tanpa diragukan lagi kasus ini memang benar-benar telah menyita perhatian dari banyak pihak dan punya nuansa politik yang besar di belakangnya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.