Isu miring terkait kinerja sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) muncul dan mengarah langsung kepada sang Menteri, Erick Thohir. Lalu, apakah hal itu akan berpengaruh pada impresi Erick yang terkesan sedang gencar bermanuver belakangan ini?
Erick Thohir dinobatkan sebagai calon presiden (capres) non-partai politik (parpol) paling unggul dalam sebuah jajak pendapat yang dirilis lembaga Indikator Politik Indonesia (IPI) pada akhir April lalu.
Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa kehadiran Erick Thohir yang masuk enam besar capres dengan elektabilitas tertinggi sangat mengundang perhatian.
Sebab, jika dibandingkan dengan nama lain, seperti Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Erick adalah sosok profesional yang benar-benar baru dalam dunia politik maupun pemerintahan.
Meski tak pernah berkomentar secara langsung terkait konteks pen-capres-an, munculnya Erick sebagai kuda hitam dalam sejumlah survei agaknya telah berpengaruh terhadap impresi politik terhadapnya. Belakangan ini, sejumlah manuver serta kebijakannya sebagai menteri jamak disangkut pautkan dengan agenda lampiran menyokong pen-capres-an.
Salah satu yang sempat ramai diperbincangkan adalah saat wajah mantan bos Inter Milan itu terpampang di anjungan tunai mandiri (ATM) salah satu bank BUMN.
Merespons hal itu, politikus PDIP Masinton Pasaribu mengingatkan para menteri atau pejabat tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik menuju pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Masinton menyinggung perihal pejabat yang haram untuk mempromosikan diri untuk kepentingan politik dengan fasilitas negara.
Senada dengan Masinton, koleganya di PDIP, Junimart Girsang, juga mengingatkan jajaran menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak genit, apalagi sampai menggunakan fasilitas jabatan untuk melakukan hal di luar pekerjaannya.
Tak hanya itu, Istana pun tampak bereaksi. Walaupun tak menyebutkan nama, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengingatkan adanya dimensi hukum, politik, dan etika – termasuk potensi konflik kepentingan – ketika posisi menteri tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Dia menekankan sebuah poin penting, yakni posisi menteri harus digunakan semaksimal mungkin untuk membantu agenda Presiden berjalan demi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Kalkulasi integritas dan tantangan Erick sebagai bakal capres agaknya tidak sampai di situ saja. Kualitas kinerjanya sebagai menteri pun belakangan ini turut mendapat sorotan.
Belum selesai dengan isu kurang sedap terkait polemik suntikan dana dan dugaan konflik kepentingan yang terjadi antara Telkom dengan GoTo, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu baru-baru ini menyoroti kinerja Erick lainnya yang dinilai tidak maksimal di sektor energi.
Dia bertolak dari perkiraan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengenai adanya defisit yang akan dialami dua anak usaha kritikal BUMN, yaitu PLN dan Pertamina pada akhir tahun ini.
Said mempertanyakan mengapa Menteri BUMN Erick tidak memberi tahu secara terbuka soal defisit Pertamina dan PLN. Dia lantas mengatakan bahwa BUMN di bawah kepemimpinan Erick seperti dikorbankan demi menekan inflasi agar tetap rendah serta menahan gejolak sosial dan ekonomi.
Isu tersebut agaknya cukup serius jika bergulir lebih jauh mengingat energi merupakan sektor yang berpengaruh terhadap hajat hidup dan dirasakan masyarakat luas. Lalu, akankah berbagai sorotan kurang positif itu akan berpengaruh terhadap manuver dan kesan Erick sebagai kuda hitam capres 2024 mendatang?
Isu BUMN Bukan Ancaman Erick?
Konstelasi bisnis BUMN sendiri hampir dapat dipastikan berpadu dengan dinamika politik dan pemerintahan. Akan tetapi sifat alamiah plus kinerja berdampak minor kerap di-lumrah-kan seiring waktu akibat kesan persoalan klasik yang repetitif dan sukar diatasi.
Hal tersebut sebagaimana yang ditelaah oleh Indri Dwi Apriliyanti dan Stein Oluf Kristiansen dalam The logics of political business in state-owned enterprises: the case of Indonesia.
Aprilianti dan Kristiansen menggunakan istilah political business untuk mendefinisikan “arwah” BUMN yang mengakar sejak lama, yakni tendensi adanya konflik kepentingan karena potensi campur tangan dalam komposisi dewan dan keputusan bisnis oleh politisi. Kinerja BUMN yang kurang baik akibat tendensi tersebut terbentuk dari perpaduan antara konservatisme kolektif dan oportunisme resiprokal.
Konservatisme kolektif sendiri dijelaskan sebagai anggapan para aktor kunci dalam BUMN yang merasionalisasi keputusan mereka saat ini sebagai kelanjutan dan penyesuaian dari apa yang sebelumnya telah ada.
Sementara, di saat yang sama, para aktor tersebut saling mempertahankan kultur tersebut bersama dengan kepentingannya masing-masing dalam sebuah konsensus yang mana diistilahkan Aprilianti dan Kristiansen sebagai oportunisme resiprokal.
Kombinasi tersebut kemudian menjadi basis pembenaran dan rasionalisasi lanjutan bahwa kebijakan, kinerja, hingga keputusan apapun yang diambil terkait BUMN diperlukan untuk mencapai tujuan bisnis yang vital.
Institusi yang disfungsional itu bertahan untuk waktu yang sangat lama akibat oportunisme dan konservatisme. Lantas, praktik yang ada tak jarang “dinormalisasi”, baik dari internal institusi maupun pemahaman dan impresi yang muncul dari publik.
Terlebih, Aprilianti dan Kristiansen juga menemukan kecenderungan bahwa BUMN merupakan sumber utama pendanaan sistem politik. Secara keseluruhan, kausalitas dan normalisasi itu sendiri secara tidak langsung disebut dapat menetralisir isu negatif atas kinerja BUMN dengan sendirinya.
Meski berdasarkan postulat itu kesan minor terhadap kultur dan kinerja BUMN seolah dapat tereduksi “secara otomatis” dan terlihat tak akan berpengaruh pada impresi terhadap sang menteri secara umum, agaknya tidak lantas membuat Erick berdiam diri begitu saja.
Apalagi, di era media sosial saat ini, ketika isu minor sekecil apapun dapat diekspolitasi di linimasa dan punya signifikansi tersendiri terhadap reputasi seseorang.
Erick justru terlihat mampu menjawab dengan sejumlah catatan apiknya sendiri sebagai Menteri BUMN, seperti memangkas 118 perusahaan BUMN menjadi 41 perusahaan, lonjakan laba bersih BUMN di tahun 2021 yang mencapai Rp90 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya Rp13 triliun, hingga upaya reformasi BUMN untuk secara berkala memeriksa lini usaha yang mengalami pemborosan.
Terlebih, sebagai Menteri BUMN, Erick memiliki kartu As tersendiri yang dapat digunakan untuk menangkis isu minor yang menimpanya plus membuatnya justru dapat diperhitungkan. Apakah itu?
PLN-Pertamina, Kartu As Erick?
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati pernah mengatakan bahwa rapor perusahaan BUMN kerap menjadi variabel aktif jelang tahun politik di Indonesia.
Beberapa perusahaan BUMN sendiri belakangan ini memang sedang disoroti seperti yang menjadi kritik Said Didu, yakni PLN dan Pertamina. Hal itu pun seolah bertautan dengan manuver sang menteri yang dikesankan sedang menarik simpati terkait pen-capres-an di 2024.
Secara khusus, kinerja perusahaan negara di bidang energi agaknya memang memiliki signifikansi tersendiri. David Dapice and Edward A. Cunningham dalam Squaring the Circle: Politics and Energy Supply in Indonesia menyebut bahwa kinerja perusahaan BUMN bidang energi merupakan pertaruhan legitimasi politik negara di hadapan rakyat.
Erick sepertinya cukup memahami hal itu dengan berusaha membendung sejumlah kritik dengan mengeluarkan pernyataan teranyarnya.
Ya, Erick belum lama ini memastikan bahwa komoditas BBM dan listrik bersubsidi tidak akan mengalami kenaikan harga setelah mendapatkan persetujuan DPR. Menteri BUMN menekankan bahwa kebijakan itu merupakan bukti kehadiran negara yang tidak ingin membebani rakyat di tengah persoalan pangan dan energi global saat ini.
Selain itu, Erick juga menjamin bahwa PLN dan Pertamina akan fokus menjaga ketersediaan energi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Di samping untuk menunaikan tugasnya sebagai Menteri BUMN, upaya meninggalkan prestasi lewat perusahaan BUMN kiranya dapat menjadi modal politik tersendiri bagi Erick seiring dengan hakikat energi sebagai komoditas bagi hajat hidup masyarakat luas.
Hal itu belum termasuk kinerja perusahaan BUMN lainnya di luar sektor energi, dengan catatan dapat menorehkan progres yang positif dan berkesinambungan sepanjang masa jabatannya.
Erick Thohir sesungguhnya punya sejumlah modal politik inheren lewat posisinya sebagai Menteri BUMN tanpa harus melakukan manuver yang berpotensi menuai polemik. Tentu jika dia dapat menjalankan tugasnya sebaik mungkin.
Akan tetapi, permasalahan konkret terkait energi yang ada di depan mata, salah satunya potensi efek domino konflik Ukraina-Rusia agaknya dapat membuyarkan keunggulan Erick untuk memanfaatkan kartu As-nya. Patut ditunggu apakah Erick mampu mengantisipasi hal tersebut. (J61)