Alih-alih memberikan arahan yang dapat menenangkan masyarakat, Menkes Terawan justru mengaku “heran” mengapa masyarakat begitu heboh dengan kasus virus Corona, khususnya setelah Presiden Jokowi mengumumkan status positif kasus tersebut. Lantas, benarkah itu adalah indikasi bahwa Terawan tidak memiliki kapabilitas untuk memahami psikologi publik?
PinterPolitik.com
Pada 15 April 2010 lalu, aktor kawakan sekaligus mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar merilis film yang berjudul Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Kendati ber-genre komedi, film tersebut sarat akan pesan satir karena mengangkat berbagai potret nyata kehidupan masyarakat di Indonesia.
Mengadaptasi judul film tersebut, kita mungkin dapat pula membuat pernyataan“alangkah lucunya para pejabat negeri ini” – menimbang pada berbagai laku ataupun pernyataannya yang justru menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.
Konteks tersebut misalnya terlihat dari Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto yang justru menanggapi dengan santai sembari melempar senyum kecil ketika menjawab pertanyaan para wartawan ketika memberikan keterangan resmi seputar dua warga negara Indonesia (WNI) yang positif terkena virus Corona yang berdomisili di Depok, Jawa Barat.
Mungkin, dapat dipahami bahwa tanggapan santai Terawan bermaksud agar masyarakat tidak menjadi panik karena Indonesia tidak lagi berstatus negatif virus Corona. Akan tetapi, merujuk pada respons warganet yang justru “gemas” dan mempertanyakan mengapa mantan Kepala RSDAP tersebut justru memberikan tanggapan santai di tengah kekhawatiran masyarakat terkait virus Corona, mudah untuk menyimpulkan bahwa tanggapan tersebut boleh jadi tidak diinginkan oleh masyarakat.
Padahal, apabila dibandingkan dengan pejabat-pejabat luar negeri – seperti Menkes Singapura Gan Kim Yong – terlihat jelas bahwa mereka lebih menyampaikan informasi ataupun imbauan terkait virus Corona secara serius.
Baik Terawan ataupun Yong tentu saja menginginkan agar masyarakat tidak menjadi panik karena virus Corona. Akan tetapi, seperti dalam temuan psikolog asal Amerika Serikat (AS) Daniel Kahneman dan Amos Tversky, cara penyampaian suatu informasi ternyata mempengaruhi cara penerima informasi dalam menafsirkan informasi yang diterimanya.
Merujuk pada temuan tersebut, dapat dipahami bahwa cara penyampaian Yong dapat memberikan kesan bahwa pemerintah Singapura memang serius dalam menanggulangi virus Corona. Sementara, pada kasus Terawan, boleh jadi, cara penyampaiannya akan menciptakan kesan bahwa pemerintah Indonesia – khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) – seolah memandang kasus virus Corona bukanlah persoalan besar.
Menariknya, asumsi tersebut nampaknya benar. Bagaimana tidak? Terawan justru mengungkapkan keheranannya terkait mengapa masyarakat begitu heboh dengan virus Corona. Menurutnya, angka kematian penyakit flu biasa justru jauh lebih tinggi dari virus Corona. Selain itu, mantan Tim Dokter Kepresidenan tersebut juga bahkan menyebut bahwa virus Corona sebenarnya adalah virus yang biasa saja.
Merujuk pada faktaini, apakah mungkin dapat disimpulkan bahwa Menkes Terawan tidak memiliki kapabilitas untuk memahami psikologi publik?
Avalability Bias dalam “Panic Game” Corona
Pada konteks temuan psikologi empiris terkait bias kognitif, pernyataan Terawan yang mengaku heran terkait mengapa masyarakat begitu heboh dengan virus Corona sebenarnya mendapatkan pembenarannya. Kehebohan atau panic game yang tengah terjadi saat ini membuat masyarakat memborong cairan antiseptik, hand sanitizer, masker, hingga sembako dapat kita pahami melalui bias kognitif yang disebut dengan availability bias.
Secara sederhana, availability bias efek psikologis yang membuat seseorang memahami fenomena sesuai dengan informasi yang paling mereka ingat sehingga membuat adanya tendensi untuk melupakan informasi lainnya.
Pada kasus hebohnya masyarakat karena virus Corona, efek tersebut terlihat jelas – di mana masyarakat memiliki ketakutan berlebih terhadap virus Corona.
Padahal, menurut Duta besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian yang mengutip penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa jurnal kesehatan lain, ternyata ditemukan bahwa tingkat kematian (fatalitas) virus Corona per 23 Februari 2020 hanya sebesar 3,3 persen. Angka tersebut jauh di bawah kasus wabah lainnya seperti SARS (9,6 persen), MERS (34,4 persen), Ebola (40,4 persen), dan virus N1H1 (77,6 persen).
Bahkan, seperti halnya pernyataan Terawan, berdasarkan statistiknya, penyakit flu ternyata lebih berbahaya dari virus Corona. Pasalnya, dalam temuan yang dipublikasikan oleh jurnal The Lancet, disebutkan bahwa sekitar 250 ribu hingga 500 ribu orang ternyata terkena penyakit flu setiap tahunnya.
Membandingkan dengan virus Corona, yang jumlahnya baru mencapai 92 ribu kasus, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Terawan tersebut mendapatkan pembenarannya.
Lantas, hal apakah yang membuat kognisi masyarakat justru tidak memperhitungkan informasi-informasi tersebut sehingga begitu terfokus untuk memahami bahwa virus Corona sangat berbahaya? Sederhana, yakni karena adanya pemberitaan bombastis dari media massa.
Semenjak virus tersebut ditemukan di Wuhan, Tiongkok, pada akhir tahun lalu, media massa selalu menempatkan perhatiannya terhadap perkembangan virus Corona – seperti memberitakan tentang perkembangan jumlah kasus, jumlah kematian, negara yang terjangkit, hingga pada dampak yang diakibatkan olehnya.
Maka dari itu, tidak heran sebenarnya mengapa informasi tentang virus Corona menjadi informasi yang paling diingat oleh masyarakat saat ini – yang mana membuat masyarakat mengabaikan ataupun melupakan informasi lainnya.
Akan tetapi, kendatipun pernyataan Terawan memiliki basis fakta, itu tidak menunjukkan bahwa tanggapan santainya dalam menyikapi virus Corona mendapatkan pembenaran. Pasalnya, di tengah kepanikan yang sudah terlanjur terjadi, sudah seharusnya terdapat pernyataan serius agar tercipta kesan bahwa pemerintah memang memiliki keseriusan untuk menanggulangi wabah tersebut – yang mana bisa jadi lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan tanggapan santai.
Singkat kata, pada konteks tersebut, Terawan mungkin saja tidak memiliki kapabilitas dalam memahami psikologi publik. Dengan kata lain, itu boleh jadi menunjukkan kemampuan komunikasi publiknya tidak cukup baik.
Pemerintah Kurang Koordinasi?
Menariknya, tidak hanya media massa yang menyebabkan kepanikan publik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (MenkoPolhukam) Mahfud MD, sepertinya terdapat juga peran pemerintah daerah (Pemda) sehingga masyarakat begitu heboh dalam menyikapi virus Corona.
Mahfud misalnya mencontohkan Pemda Cianjur yang memberikan pernyataan ketika suspect virus Corona yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Hafiz, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, diketahui meninggal dunia.
Tidak hanya Pemda Cianjur, menariknya, berbagai Pemda lainnya juga mengambil tindakan dan memberikan pernyataan dalam menyikapi pengumuman positif virus Corona di Indonesia.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) misalnya, bahkan memberikan prediksi bahwa jumlah kasus virus Corona akan semakin bertambah. Atas hal tersebut, RK mengaku akan membentuk Crisis Center di Depok untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona.
Lalu, ada pula Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memberikan pernyataan bahwa telah terjadi situasi genting. Anies pun akan membentuk Tim Tanggap untuk pencegahan virus Corona.
Tidak ketinggalan, terdapat aksi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang ternyata telah menimbun masker sejak Januari 2020 lalu untuk mengantisipasi virus Corona.
Di satu sisi, langkah cepat RK, Anies, ataupun Risma tentu patut untuk diapresiasi. Akan tetapi, merujuk pada pernyataan Mahfud bahwa informasi terkait virus Corona berpusat di Kemenkes, bukankah itu menunjukkan bahwa tidak terjadi koordinasi antara Pemda dan pemerintah pusat terkait wabah tersebut.
Lebih menarik lagi, Ketua DPR RI, Puan Maharani juga telah mendorong agar segera terbentuk tim penanggulangan wabah virus Corona secara nasional. Kembali pada pernyataan Mahfud, jika terdapat koordinasi antar lembaga pemerintah, bukankah Menkes Terawan yang seharusnya memiliki kewenangan dalam mengumumkan akan membentuk tim penanggulangan tersebut?
Sampai saat ini, Kemenkes sendiri belum mengumumkan akan membentuk crisis center ataupun tim penanggulan lainnya.
Singkat kata, alih-alih menuding adanya Pemda yang mendramatisir virus Corona, bukankah pemerintah pusat sudah seharusnya meningkatkan koordinasi dan sinergi agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas terkait virus tersebut ataupun terkait penentuan kebijakan publik lainnya untuk menanggulangi virus Corona?
Senada, Raymond Saner dan Poppy S Winanti dalam tulisannya Policy Coordination and Consultation in Indonesia, juga menyoroti bahwa pemerintah Indonesia, khususnya para menteri memang memiliki kekurangan dalam hal koordinasi sehingga itu membuat pembuatan kebijakan publik menjadi tidak efektif.
Tidak hanya itu, kepanikan masyarakat yang dikhawatirkan oleh Terawan dan Mahfud karena virus Corona bukankah dapat diminimalisir jika terdapat koordinasi penyampaian informasi yang baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.