Visi-misi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengenai perpajakan telah dikemukakan. Gebrakan demi menambah pemasukan negara, baik melalui restrukturisasi lembaga pengumpul pajak hingga menargetkan para crazy rich tampak menarik perhatian. Namun, konteks pajak kiranya akan menjadi janji yang paling sulit diaktualisasikan, siapapun pemenang Pilpres 2024 nantinya.
Pajak menjadi komoditas visi dan janji ketiga calon presiden dan wakil presiden RI di Pilpres 2024 mendatang. Kendati gagasan masing-masing cukup positif bagi peningkatan penerimaan negara, implementasi janji mengenai perpajakan agaknya akan menjadi yang paling sukar ditepati oleh siapapun Presiden ke-8 dan Wapres ke-14 RI nantinya.
Menariknya, masing-masing kandidat seolah cukup aktif membicarakan mengenai rencana pengelolaan pajak.
Di kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dicanangkan penerimaan negara melalui perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4 persen di tahun 2022 menjadi 13-16 persen di tahun 2029.
Insentif pajak, termasuk tax holiday dan tax allowance turut digagas oleh Anies-Imin, di samping mengimplementasikan nilai ekonomi karbon melalui penerapan pajak karbon, serta kebijakan dan regulasi perpajakan yang berkeadilan di sektor agraria.
Sementara duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengemukakan gagasan lama namun cukup menarik, yakni pendirian Badan Penerimaan Negara yang baru. Nantinya, Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Di kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menekankan perbaikan birokrasi dan memastikan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang andal dalam mengelola keuangan negara, termasuk saat bersentuhan dengan wajib pajak.
Satu hal menarik lainnya, konteks perpajakan yang juga menjadi subtema debat cawapres pada 22 Desember lalu turut memunculkan rencana yang tak tertuang dalam visi-misi.
Cak Imin, misalnya, yang menyebut akan mengenakan pajak ekstra kepada 100 orang terkaya di Indonesia dan meringankan pajak bagi kelas menengah.
Di sudut lain, Gibran menyebutkan sejumlah hal terkait pajak selain pembentukan Badan Penerimaan Negara baru. Mulai dari digitalisasi perpajakan, meningkatkan tax ratio hingga 23 persen – meski dipertanyakan para praktisi dan akademisi – hingga meningkatkan jumlah wajib pajak melalui penciptaan kewirausahaan.
Sementara itu, Mahfud MD tampak skeptis dengan insentif perpajakan dan lebih banyak berbicara mengenai pengetatan regulasi terkait pajak.
Akan tetapi, substansi perpajakan yang menjadi janji politik para kandidat kiranya akan cukup sulit diimplementasikan dan bisa saja hanya akan meninggalkan impresi janji kosong belaka. Mengapa demikian?
Pajak Tak Populis?
Satu hal yang kiranya perlu dipahami bahwa pajak bukanlah objek populis yang dikemukakan oleh seorang calon presiden maupun calon wakil presiden. Keberpihakan menjadi kata kunci mengapa hal tersebut sama sekali tak popular secara politik.
Pada dasarnya, perspektif kandidat adalah memenangkan hati pemilih, berangkat dari teori responsive electoral yang menjelaskan politisi merespons preferensi pemilih untuk mempertahankan atau meningkatkan peluang terpilih.
Pemilih umumnya mendukung program sosial dan kesejahteraan yang didanai melalui pajak.
Jika seorang politisi berjanji untuk mengurangi pajak tanpa memberikan jaminan yang cukup mengenai pemeliharaan atau peningkatan layanan publik, ia dapat dianggap tidak responsif terhadap kebutuhan pemilih.
Dalam hal ini, visi politik tentang pengelolaan pajak dapat dianggap tidak populis karena tidak sesuai dengan harapan pemilih.
Namun, pemilih pun memiliki karakteristiknya tersendiri, termasuk kelompok kaya atau kelompok ekonomi yang lebih tinggi. Tak jarang, mereka merupakan bagian dari kelompok pemenangan kandidat, terlebih di level tertinggi.
Oleh karena itu, opsi mengelola pajak melalui program spesifik dan tak structural kiranya kurang efektif untuk menyentuh permasalahan penerimaan pajak dan distribusinya selama ini.
Janji menarik pajak dari 100 orang terkaya Indonesia yang disampaikan Cak Imin, misalnya, tampak hanya seperti retorika “sedikit populis” di mana dalam praktiknya boleh jadi tak mampu menyelesaikan persoalan perpajakan.
Di titik ini, gagasan Badan Penerimaan Negara ynag memisahkan pengelolaan penerimaan dan belanja negara mungkin lebih baik jika benar-benar dieksekusi secara matang. Ide ini sendiri bukan lah hal baru di Indonesia.
Namun, mayoritas negara-negara di dunia memang menyatukan pengelolaan pendapatan dan belanja di dalam satu kementerian atau departemen yang sama.
Di Amerika Serikat, misalnya, Internal Revenue Service (IRS) menjadi sebuah lembaga yang diberikan kewenangan memungut penerimaan perpajakan. Nama besar IRS pun cukup dikenal, salah satunya keberhasilan menjerat mafia dan gangster Al Capone karena kasus penghindaran pajak.
Tak jarang, IRS dianggap sebagai superbody yang berada di luar Departemen Keuangan AS atau US Department of Treasury. Padahal kenyataannya, IRS adalah bagian dari US Treasury yang menyatukan kewenangan pendapatan dan belanja pada satu Kementerian yang sama.
Karakteristik yang sama juga diterapkan di Singapura, Malaysia, Australia, dan banyak negara di dunia. Hanya segelintir negara saja yang memisahkannya ke lembaga berbeda, seperti Inggris.
Dalam case Indonesia, penerimaan negara terbagi atas hal yang masuk dari pajak dan bukan pajak. Selain Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai, terdapat pula Dirjen Perbendaharaan saat berhadapan pada irisan urusan pemungutan pajak lain seperti ekspor-impor.
Oleh karena itu, gagasan yang menjadi flagship visi Prabowo-Gibran itu akan dapat terlaksana andai political will plus dukungan politik berkelanjutan para elite serta pemangku kebijakan pajak benar-benar ditopang oleh regulasi dan variabel komprehensif lainnya.
Selain itu, konteks pajak yang juga ramai diperbincangkan dan menjadi muara indikator keberhasilan penerimaan negara dari sektor pajak adalah tax ratio yang sempat dijanjikan oleh cawapres nomor urut 2 Gibran akan menyentuh 23 persen.
Diganggu Invisible Hand?
Sejatinya, janji dan visi politik para capres cukup positif bagi peningkatan penerimaan negara yang dapat bermuara pada persentase tax ratio atau rasio pajak yang tinggi.
Sejumlah faktor pun memengaruhi besarnya tax ratio suatu negara, baik secara makro maupun mikro. Faktor makro sendiri meliputi tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan efektivitas administrasi pajak.
Sementara faktor mikro, meliputi hal-hal yang cenderung bersifat kualitatif, seperti tingkat kepatuhan wajib pajak, sinergi dan koordinasi antarlembaga pemerintah, hingga pemahaman bersama antara wajib pajak dan petugas pajak.
Kendati kebijakan dan faktor-faktor pendukung peningkatan tax ratio itu memiliki ekspektasi positif, hal lain bisa saja menjadi penghalang, yakni vested interest lokal maupun internasional.
Merujuk teori sistem dunia yang mengkategorikan negara-negara di dunia menjadi tiga – yakni inti (core), semi pinggiran (semi periphery), dan pinggiran (periphery), dapat dikatakan bahwa negara inti (maju) ingin mempertahankan status quo-nya.
Salah satu upaya mempertahankannya adalah dengan cara menciptakan ketergantungan dari negara semi pinggiran dan pinggiran (berkembang) terhadap mereka.
Dalam lingkup lokal, elite politik dan ekonomi secara alami enggan untuk dikenakan pajak yang tinggi. Pajak pun sering kali juga dimanfaatkan sebagai alat tekanan terhadap lawan politik dan bisnis.
Jika data mengenai pajak menjadi transparan, kemampuannya sebagai alat tekanan tentu akan hilang.
Sementara itu, dalam skala internasional, peningkatan rasio pajak dapat mengubah Indonesia menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan. Dengan merujuk pada teori sistem dunia, hal ini jelas merupakan ancaman terhadap status quo negara-negara inti.
Kini, satu hal yang dinanti adalah bagaimana para kandidat benar-benar mengaktualisasikan gagasan dan janji menjadi kebijakan perpajakan yang jitu agar dapat menemukan keseimbangan. Tentu yang dapat berkontribusi positif bagi Indonesia. (J61)