Setelah videonya terkait kritik atas kasus Novel Baswedan viral, Bintang Emon disebut diserang oleh buzzer dengan tersebarnya meme sang komika menggunakan sabu-sabu. Lantas, mungkinkah tatanan politik yang ada tengah menerapkan konsep Huxleyan dalam melakukan kontrol terhadap masyarakat?
PinterPolitik.com
Pandemi virus Corona (Covid-19), sepertinya tidak hanya menciptakan bencana kesehatan ataupun bencana ekonomi, melainkan juga turut mengubah tatanan sosial yang ada. Konteks terakhir misalnya terlihat dari seolah berpindahnya peran pejabat dengan komika.
Ingatan publik tentu masih segar perihal beberapa pejabat yang justru menjadikan Covid-19 sebagai candaan. Sementara di sisi lain, para komika tanah air, justru melontarkan berbagai satire keras perihal kondisi yang tengah terjadi.
Satu di antaranya adalah komika bernama Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Bintang Emon. Dalam satire terbarunya, ia mengomentari perihal kasus hukum Novel Baswedan yang disebut memiliki berbagai keganjilan.
Menariknya, setelah video tersebut viral, meme yang berisi Bintang Emon adalah pengguna narkoba jenis sabu-sabu tiba-tiba berseliweran di media sosial Twitter. Sontak saja, berbagai pihak kemudian menyebutkan bahwa sang komika telah diserang oleh buzzer.
Tidak hanya mendapatkan perhatian dari masyarakat, Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay juga turut berkomentar dengan menegaskan agar pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) perlu untuk menertibkan pihak yang mem-bully, memfitnah, hingga mengancam para pengkritik.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto juga turut memberikan komentar serupa dengan menduga bahwa Bintang Emon menjadi target sasaran serangan buzzer karena berani mengemukakan pendapatnya secara kritis.
Komentar yang lebih menohok kemudian datang dari mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli (RR) yang menyebutkan bahwa serangan buzzer ke Bintang Emon menunjukkan buzzer seolah belajar dari Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels, yakni terus menebarkan kebohongan masif agar nantinya disebut sebagai kebenaran.
Singkat kata, RR hendak mengatakan bahwa dengan disebarnya meme Bintang Emon menggunakan sabu-sabu, itu adalah propaganda agar berbagai pihak percaya pada hal tersebut agar nama sang komika jatuh, sehingga suaranya menjadi tidak didengar lagi.
Bintang Emon sendiri terlihat cukup santai dalam merespons meme tersebut. Unggahannya terkait surat bukti bebas narkoba telah menjadi bantahan keras yang kemudian semakin menguatkan dukungan publik terhadapnya.
Dengan fakta bahwa strategi buzzer tidak hanya terjadi di kasus Bintang Emon, melainkan telah menjadi peristiwa yang berulang. Tentu patut dipertanyakan, sebenarnya kondisi politik apa yang tengah terjadi dalam permasalahan ini?
Pemerintah Terapkan Konsep Huxleyan?
Menariknya, fenomena buzzer yang disebut pro-pemerintah ini adalah apa yang telah diprediksi oleh Aldous Huxley dalam novelnya Brave New World (BNW) pada tahun 1932.
Novel BNW, sama halnya dengan novel Nineteen Eighty-Four (1984) milik George Orwell, keduanya menyajikan distopia akan bagaimana negara mengontrol warga negaranya secara total.
Bedanya, jika dalam 1984, Orwell menyajikan sosok negara yang merampas informasi sehingga menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh rasa takut dan kebencian.
Sementara di dalam BNW, Huxley menyajikan sosok negara dengan kemajuan teknologi yang justru membanjiri informasi yang kemudian menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh kenikmatan (pleasure) dan ketidaktahuan.
Melalui tumpahan informasi, akan tercipta disinformasi masif yang membuat masyarakat tidak mampu membedakan mana informasi yang semestinya dipercaya. Pada akhirnya, hal ini akan melahirkan kondisi masyarakat yang justru tak acuh terhadap informasi.
Masyarakat akan menjadi pasif terhadap informasi, dan lebih memilih mementingkan dirinya sendiri (egois) di dalam pusaran informasi yang membingungkan.
Konteks Huxley tersebut tampaknya begitu relevan dengan kondisi masyarakat di kota-kota besar atau masyarakat urban yang justru semakin pasif dan egois ketika berhadapan dengan kecepatan dan berlimpahnya informasi. Kasarnya, masyarakat justru gagap menghadapi derasnya laju informasi.
Ini #GakSengaja bikin cuitan ya. #infografis #politik #NovelBaswedan https://t.co/Pjp4S2CuFO pic.twitter.com/poq2Aec0EJ
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 15, 2020
Lantas pertanyaannya, bagaimana hal tersebut kemudian menjadi cara negara untuk mengontrol warga negara?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, hal itu terjadi melalui kenikmatan dan ketidaktahuan. Maksudnya adalah, masyarakat yang telah terkondisikan pasif dan egois akan membuat mereka menjadi tidak kritis terhadap pemerintah dan cenderung bersikap “bodo amat” terhadap apa yang tengah terjadi.
Imbasnya, negara dapat berlaku apapun (otoriter) tanpa mendapatkan tekanan yang berarti dari masyarakat.
Kondisi masyarakat yang semakin menjadi pasif dan egois ini kemudian dikenal dengan istilah peringatan Huxleyan (Huxleyan warning) yang diambil dari nama belakang Aldous Huxley.
Melihat peristiwa buzzer yang seolah disiagakan untuk meredam isu sensitif terhadap pemerintah seperti keluarnya #SawitBaik ataupun #TagihanPLNOKAja beberapa waktu lalu, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa konsep Huxleyan sepertinya telah diterapkan.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga turut mengamini hal ini dengan menyebutkan gejala penerapan Huxleyan telah lama terlihat. Jelasnya, pola yang sama telah berulang kali dilakukan sebelumnya.
Akan tetapi, sikap pasif dan egois ekstrem seperti gambaran Huxley tentunya belum terjadi pada masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari derasnya gelombang penolakan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah ataupun aktivitas buzzer yang dinilai bertujuan untuk meredam isu.
Menariknya, Fahmi tidak hanya menilai bahwa tatanan politik yang ada tengah menerapkan Huxleyan, melainkan juga turut menerapkan Orwellian sekalian karena adanya perampasan informasi atau sortir informasi.
Konteks Orwellian ini misalnya dapat dilihat dari kasus diskusi Papua kemarin di Universitas Indonesia yang mendapatkan berbagai tekanan sehingga akhirnya dibatalkan. Sortir informasi ala Orwellian tampak begitu terasa terhadap berbagai diskursus yang membahas Papua.
Lebih jauh dari itu, Fahmi bahkan menyebutkan terdapat indikasi bahwa tatanan politik tengah menuju fasisme. Itu dalam artian masyarakat seolah diberlakukan layaknya kanvas, yang mana harus ada satu suara seragam. Konteks tersebut menurutnya terlihat jelas dari diserangnya pihak-pihak yang memiliki suara berbeda (pengkritik) oleh para buzzer.
Mengapa Novel Dibela?
Melihat polanya, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa buzzer kerap kali dikeluarkan guna meredam isu-isu sensitif. Akan tetapi, seperti yang diungkit oleh RR mengenai buzzer yang menerapkan taktik propaganda ala Nazi, tujuan tersebut sepertinya akan sulit terealisasi pada kasus Novel.
Itu misalnya terlihat dari derasnya dukungan terhadap Bintang Emon karena publik menilai terdapat keganjilan dalam kasus hukum Novel. Tentu pertanyaannya, mengapa penyidik senior KPK ini begitu didukung?
Konteks derasnya dukungan ini dapat kita pahami melalui teori pragmatic ethics atau etika pragmatis. Tidak seperti dalam pengertian sehari-hari yang mengartikan kata pragmatis bertendensi minor, etika pragmatis adalah teori etika yang menjelaskan bahwa suatu putusan etis terkait moralitas – benar atau salah – tidak perlu didapatkan melalui suatu refleksi mendalam atau filosofis, melainkan cukup ditarik dari habituasi sehari-hari.
Sungguh sebuah tuntutan yang ajaib bin aneh. Setelah 3 tahun bisa dibilang "buron", akhirnya hanya 1 tahun penjara tuntutan untuk para penyiram air keras ke @nazaqistsha . #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/QxnLpkh1SW pic.twitter.com/mNxLRRcDKp
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 12, 2020
Sebelum filsuf-filsuf pragmatisme seperti John Dewey merumuskan teori etika ini, penjelasan serupa sebenarnya telah lama dilontarkan oleh Aristoteles dengan menyebutkan bahwa keputusan etis sebenarnya lebih dibangun melalui habituasi individu.
Habituasi yang dimaksud di sini adalah kehidupan individu yang menyerap, mengadopsi, serta mulai memetakan terkait mana yang benar dan mana yang salah dalam roda kehidupannya. Dari pengalaman tersebut, kemudian terakumulasi atau terkonstruksi menjadi konsep etika atau moralitas yang diamini oleh individu terkait.
Pada kasus Novel, derasnya sentimen publik yang menyebutkan terdapat hal yang salah atau tidak adil tampaknya bertumpu pada habituasi yang disebut dengan contrast effect. Menurut Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, contrast effect adalah penjelasan psikologis yang menerangkan mengapa seseorang dapat melakukan perbandingan sesuatu, sehingga pemberian nilai terhadap masing-masing objek dapat dilakukan.
Contrast effect ini terlihat jelas dari curahan hati berbagai pihak yang membandingkan ringannya tuntutan terhadap pelaku penyiraman air keras kepada Novel yang hanya 1 tahun penjara.
Ini misalnya diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman yang membandingkan dengan kasus penyiraman air keras lainnya, seperti di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang dituntut 3,5 tahun, serta di PN Bengkulu dan PN Pekalongan yang dituntut 10 tahun penjara.
Akan tetapi, menimbang pada penjara 1 tahun yang disebut tidak adil tersebut masih berupa tuntutan dan belum menjadi putusan, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa derasnya aspirasi masyarakat dalam kasus Novel akan menjadi pertimbangan agar putusan yang keluar nantinya dapat lebih adil. Itulah harapan kita semua.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.