Site icon PinterPolitik.com

Mengapa BBM Bisa Bahayakan Jokowi?

presiden soekarno dan jenderal soeharto ap ratio 16x9

Soekarno dan Soeharto (Foto: AP)

Pemerintah telah menaikkan harga BBM. Pertalite naik hingga 30 persen, dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Kebijakan ini kemudian melahirkan gejolak di masyarakat. Demonstrasi dan penolakan terjadi di banyak tempat. Pasalnya, kenaikan BBM bersubsidi akan berdampak pada harga-harga komoditas lain, utamanya kebutuhan-kebutuhan pokok. Masalahnya, kebijakan ini mau tidak mau harus diambil jika tak ingin APBN makin terbebani – hal yang bisa saja justru berbahaya bagi kekuasaan Presiden Jokowi.


PinterPolitik.com

“If oil prices will go too high, it will slow down the world economy and would trigger a global recession”.

::Rodrigo Rato, mantan Managing Director IMF::

Sekitar 4000 tahun yang lalu, minyak bumi tercatat pertama kali digunakan. Sejarawan Yunani Kuno, Herodotus, menyebutkan bahwa aspal alami – yang merupakan bentuk padat dari minyak bumi – telah digunakan oleh masyarakat di era tersebut untuk pembangunan tembok-tembok dan menara kota Babylon.

Sedangkan minyak bumi sebagai bahan bakar telah digunakan sejak 2000 tahun lalu oleh masyarakat di Tiongkok. Ini salah satunya ditulis dalam I Ching yang merupakan catatan peninggalan Tiongkok dari era tersebut, bahwa minyak bumi dalam bentuk yang masih belum diekstrak telah digunakan sejak abad pertama sebelum masehi.

Masyarakat di Tiongkok bahkan sudah melakukan pengeboran untuk memperoleh sumber minyak dengan alat seadanya, misalnya dengan menggunakan kayu yang ujungnya diberi logam.  

Seiring perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia, teknologi yang dikembangkan dari bahan bakar fosil ini memang mampu menjadi poin utama penggerak peradaban manusia. Walaupun batu bara mengambil peran yang besar sebagai sumber energi utama – katakanlah di era Revolusi Industri – perlahan tapi pasti, minyak bumi menjadi primadona.

Walaupun lebih sulit ditemukan ketimbang batu bara – ketika ditambang – minyak bumi dianggap lebih efisien dan mudah digunakan karena bentuknya yang cair. Power ratio atau rasio energi yang dihasilkan juga lebih besar ketimbang batu bara, dan karena bentuknya cair, minyak bumi lebih gampang diekstrak dan diangkut.

Ini kemudian mendapatkan resonansi yang lebih besar ketika di tahun 1876, ilmuwan asal Jerman bernama Nicolaus August Otto berhasil membuat internal combustion engine alias mesin berbahan bakar minyak untuk pertama kali – sekalipun sebenarnya pengembangannya merupakan kelanjutan dari upaya Etienne Lenoir di tahun 1860, Sigfried Marcus di tahun 1864, dan George Brayton di tahun 1876.

Hasil penemuan Otto ini kemudian digunakan oleh Karl Benz – pendiri perusahaan yang di kemudian hari menjadi Mercedes Benz – untuk membuat mobil dengan internal combustion engine pertama di dunia. Inilah yang kemudian menjadi tonggak industri otomotif dan perkembangannya hingga hari ini.

Industri otomotif ini juga mengubah banyak hal dalam aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal cara produksi – karena menggunakan model assembly line – hingga sumbangsihnya terkait mobilitas manusia.

Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa kita harus bicara sejarah minyak bumi dan penggunaannya?

Well, jawabannya adalah karena ini menjadi poin penting untuk melihat signifikansi keberadaan minyak bumi – dan kemudian BBM – dalam sejarah manusia. Ini juga menunjukkan bahwa persoalan tentang BBM adalah intisari dari peradaban manusia itu sendiri. Dengan demikian, kebijakan naik turun harga BBM yang dibuat pemerintah – dalam hal ini oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) – adalah sebuah catatan terhadap sejarah dan bisa mempengaruhi gerak perubahan dalam kekuasaan.

Seperti sudah disinggung di awal, BBM jenis Pertalite yang merupakan BBM bersubsidi dan naik hingga 30 persen, akan mempengaruhi kehidupan masyarakat kelas bawah. Akan ada domino effect terhadap kenaikan bahan-bahan kebutuhan pokok. Jika efeknya sangat terasa, gejolak akan sangat mungkin terjadi terhadap kekuasaan Presiden Jokowi – hal yang sebetulnya pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.

Pertanyaannya tentu saja adalah seberapa besar efeknya?

Belenggu Anggaran Negara: Dari Soekarno Hingga Jokowi

Jika kita bolak balik buku sejarah, hampir setiap Presiden di Indonesia pernah berada dalam posisi sulit untuk menaikkan harga BBM yang tentu saja adalah kebijakan tidak populer bagi masyarakat. Hanya Presiden BJ Habibie saja yang tidak pernah membuat kebijakan tersebut selama 18 bulan memimpin Indonesia.

Soekarno setidaknya membuat 3 kali kebijakan perubahan harga BBM bersubsidi. Semua kebijakan tersebut terjadi di sekitaran tahun 1965 yang notabene adalah salah satu tahun paling panas dalam sejarah Indonesia, utamanya pasca tragedi 30 September 1965.

Sedangkan Soeharto tercatat juga paling banyak melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Dalam 32 tahun kepemimpinannya, tercatat 20 kali harga BBM bersubsidi mengalami perubahan.

Di sekitaran tahun 1998 pun Soeharto juga menaikkan harga BBM, tepatnya pada 16 Mei 1998. Kala itu Premium menjadi Rp1.000 dan Solar Rp 550. Nah, perubahan harga di sekitaran tahun 1998 ini disebut sebagai salah satu alasan terjadinya aksi demonstrasi secara besar-besaran, yang pada akhirnya menjatuhkan Soeharto dari kursi Kepresidenan RI sekitar 5 hari setelah kebijakan kenaikan harga itu dibuat.

Pada masa kepemimpinan Gus Dur, perubahan harga BBM bersubsidi terjadi sebanyak enam kali, dalam dua tahun kepemimpinannya. Kenaikan tertinggi pada Premium sebesar 20,7% dan Solar sekitar 39,3%.

Setelah Gus Dur lengser, Megawati Soekarnoputri yang menggantikannya juga langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi. Secara keseluruhan, dalam tiga tahun kepemimpinannya Megawati melakukan 15 kali penyesuaian harga.

Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selama dua kali masa pemerintahannya tercatat harga BBM bersubsidi berubah sebanyak 8 kali.

Demikian pun di era Presiden Jokowi. Menariknya, setelah Reformasi, Jokowi menjadi presiden pertama yang menyampaikan sendiri informasi kenaikan harga BBM kepada publik. Jokowi juga yang menghapus jenis BBM Premium dari pembiayaan subsidi pemerintah. Mantan Wali Kota Solo itu juga tercatat telah 7 kali menaik-turunkan harga BBM bersubsidi.

Dari perbandingan-perbandingan kepemimpinan para presiden tersebut, jelas bahwa subsidi BBM adalah belenggu terhadap kepemimpinan di Indonesia. Para presiden memang harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka kerap harus membuat kebijakan tidak populer. Hal itu harus dilakukan mengingat subsidi BBM adalah beban terhadap anggaran negara.

Di era Megawati misalnya, dalam 3 tahun kepemimpinannya, Indonesia menghabiskan total Rp 198,6 triliun untuk subsidi BBM alias sekitar Rp 66,2 triliun per tahun. Sedangkan dalam 10 tahun kepemimpinan SBY, total Indonesia menghabiskan Rp 1.297,8 triliun untuk subsidi BBM alias sekitar Rp 129,7 triliun per tahun.

Sementara, di tahun 2022, anggaran subsidi BBM yang dianggarkan pemerintah Jokowi telah menyentuh angka Rp 502,4 triliun. Kalau tidak ada kenaikan harga, besar kemungkinan jumlah tersebut akan bertambah Rp 198 triliun lagi.

Profesor Ekonomi dari Allegheny College, Stephen Onyeiwu, dalam salah satu tulisannya untuk The Conversation menyebutkan bahwa subsidi BBM adalah beban berat yang harus ditanggung oleh negara. Ia mencontohkan Nigeria yang karena beban subsidi BBM justru tak mampu melakukan pembiayaan memadai untuk sektor kesehatan dan pendidikan. Akibatnya, tingkat kesejahteraan dan pencapaian masyarakat secara keseluruhan menjadi sulit terwujud.

Sementara Javier Arze del Granado, David Coady dan Robert Gillingham dalam working paper mereka yang dipublikasikan oleh IMF menyebutkan bahwa subsidi BBM yang diterapkan negara-negara berkembang justru menjadi tak tepat sasaran. Ini karena justru kelompok masyarakat kelas ataslah yang lebih banyak menikmati subsidi tersewbut, bahkan hingga 6 kali lipat dibandingkan masyarakat kelas bawah.

Bisa Bahayakan Jokowi?

Dari refleksi terhadap setiap periode kekuasaan, jelas bahwa kebijakan subsidi BBM adalah beban terhadap anggaran negara. Subsidi BBM juga sering tak tepat sasaran karena malah lebih sering dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas.

Dan dari 2 kali kekuasaan – di era Soekarno dan Soeharto – kenaikan harga BBM punya efek langsung terhadap kekuasaan mereka. Soekarno menghadapi tuntutan makin keras dari masyarakat akibat ekonomi yang nyungsep parah di era itu dan ditambah lagi kebijakan menaikkan harga. Ujung akhirnya adalah kekuasaan sang presiden pun berakhir.

Sementara kebijakan Soeharto menaikkan BBM di tahun 1998 juga menghadapi tuntutan masyarakat yang berujung pada lengsernya sang presiden – sekalipun masalah BBM ini bukan masalah utama yang membuat sang jenderal jatuh.

Intinya, persoalan harga BBM adalah hal yang bisa berbahaya bagi kekuasaan siapapun. SBY pernah mengalami demonstrasi yang masif ketika menaikkan harga BBM, dan bukan hal yang aneh pula jika hal itu kemudian terjadi juga di era Jokowi. Hanya saja, jangan sampai protes terhadap kenaikan BBM menjadi kulminasi dari kondisi negara dan tata kelola ekonomi secara keseluruhan. Kita tahu bahwa ekonomi Indonesia saat ini sedang “tidak baik-baik saja” dengan jumlah utang yang sudah menyentuh Rp 7 ribu triliun, dan berbagai persoalan lainnya.

Pada akhirnya, sejarah sudah membuktikan bahwa BBM adalah salah satu poin penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Menaikkan dan menurunkan harga BBM pun jadi kebijakan politis yang punya dampak tertentu. Mungkin, Presiden Jokowi perlu juga menarik refleksi dalam dari masalah-masalah ekonomi yang saat ini sedang terjadi pada Indonesia. (S13)

Exit mobile version