Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), menggunakan istilah-istilah khas sepak bola untuk tim kampanye mereka. Mungkinkah ada siasat tertentu di baliknya?
“Kita harus saling mengisi dan saling membantu. Itulah yang namanya kesebelasan” – Tsubasa Ozora, Kapten Tsubasa
Usai melalui turnamen sepak bola junior untuk SMP, seorang pemain sepak bola akhirnya direkrut untuk menjadi salah satu pemain tim nasional (timnas) guna mewakili negaranya di kompetisi junior tingkat internasional.
Bersama sejumlah pemain lawannya, dia akhirnya membangun tim yang lebih kolaboratif. Semuanya hanya untuk memenangkan dan membanggakan nama negaranya.
Nama timnas tersebut adalah Tim All Japan Junior (全日本ジュニアユース) – tim yang terdiri atas pemain U-16 alias di bawah usia 16 tahun. Sosok yang menjadi kapten tim itu bernama Tsubasa Ozora.
Meski tidak bermain di Piala Dunia U-17 yang digelar di Indonesia, nama Tsubasa cukup terkenal di kalangan milenial. Banyak dari mereka pernah membaca manga atau menonton animenya.
Mungkin, karena Kapten Tsubasa populer, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) akhirnya menginginkan kapten mereka sendiri. Kapten yang mereka pilih adalah Marsekal Madya TNI (Purn.) Muhammad Syaugi Alaydrus.
Syaugi bersama para ko-kapten akan memimpin Timnas AMIN (Anies dan Cak Imin) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Tidak hanya itu, Timnas AMIN juga memperkenalkan jersey atau pakaian olahraga ala sepak bola yang menjadi seragam mereka.
Apa yang dilakukan Anies dan Cak Imin ini sebenarnya unik – khususnya bila dibandingkan dengan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) lainnya, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ganjar-Mahfud menggunakan nama Tim Pemenangan Nasional (TPN) untuk tim kampanyenya. Sementara, Prabowo-Gibran memilih nama Tim Kampanye Nasional (TKN).
Mengapa Anies-Imin akhirnya memilih istilah dan unsur sepak bola untuk organisasi pemenangannya? Mungkinkah ada siasat tertentu di baliknya?
Semua Orang Suka Timnas?
Tidak dapat dipungkiri, hampir semua orang di Indonesia suka dengan olahraga sepak bola. Mulai dari anak-anak yang masih belia hingga yang sudah berusia lanjut, banyak dari mereka memiliki tim atau klub sepak bola favorit mereka.
Minat besar masyarakat Indonesia terhadap sepak bola ini terlihat dari data olahraga yang paling diminati di SEA Games 2023. Dalam suvei Kurious-Katadata Insight Center (KIC), sepak bola menempati urutan pertama dan dipilih oleh 62,7 persen responden.
Sementara, di kedudukan kedua terdapat cabang olahraga bulu tangkis dengan responden sebanyak 62,1 persen. Dua olahraga ini memang menjadi olahraga yang paling populer di Indonesia.
Namun, sepak bola tidak hanya populer di Indonesia, melainkan juga di dunia. Mengacu ke data dari World Atlas, sepak bola menjadi olahraga yang disukai oleh sebanyak 4 miliar penduduk dunia.
Mungkin, dengan popularitas yang besar ini, Anies-Imin ingin menjadi relevan dengan banyak orang. Apalagi, banyak penggemar sepak bola menjunjung nilai-nilai loyalitas.
Bila mengacu ke tulisan Ian Fillis dan Craig Mackay yang berjudul Moving Beyond Fan Typologies: the Impact of Social Integration on Team Loyalty in Football, kesetiaan menjadi salah satu elemen yang menguatkan integrasi sosial.
Nilai kesetiaan ala sepak bola ini bukan tidak mungkin menjadi unsur yang menguatkan dukungan para pendukungnya terhadap Anies-Imin. Bukan tidak mungkin, nilai ini juga menjadi common ground (kesamaan) antara nilai dalam sepak bola dan nilai dalam dukungan politik.
Namun, apakah istilah sepak bola hanya menjadi senjata untuk mencari daya tarik? Mungkinkah ini bagian dari siasat lain?
Timnas Kudu Kompak?!
Selain untuk menjadi daya tarik bagi para pemilih, istilah-istilah sepak bola juga bisa menimbulkan dampak lainnya, yakni kohesi dalam tim kampanye itu sendiri. Apalagi, sepak bola dapat menjadi nilai yang sama di antara para anggota Timnas AMIN sendiri.
Mengacu ke buku Richard Holt yang berjudul Sport and the British: A Modern History, klub-klub sepak bola secara historis adalah unit sosial di mana identitas kolektif terbentuk dan diperkuat.
Bisa jadi, adanya unsur-unsur sepak bola dapat menciptakan atmosfer yang mirip dalam Timnas AMIN. Apalagi, Koalisi Perubahan bukanlah koalisi yang benar-benar kohesif.
Dalam koalisi tersebut, terdapat perbedaan yang mungkin bisa dibilang kontras. PKS, misalnya, memiliki nilai-nilai yang konservatif. Sementara, PKB yang dipimpin oleh Cak Imin memiliki nilai-nilai ke-Islam-an yang lebih tradisional..
Dengan kohesi yang lebih kuat, Timnas AMIN juga bisa lebih bekerja sama satu sama lain. Apalagi, kubu-kubu lawan bisa dibilang memiliki kekuatan yang lebih besar.
Selain itu, istilah-istilah sepak bola dalam Timnas AMIN bisa menjadi pembeda antara mereka dengan tim-tim kampanye pihak lawan. Dengan memiliki perbedaan, merekapun bisa memperkuat perasaan in-group – sejalan dengan Teori Identitas Sosial dari para psikologis sosial yang bernama Henri Tajfel dan John Turner.
Mungkin, layaknya kutipan Tsubasa di awal tulisan, dengan menjadi layaknya sebuah kesebelasan, merekapun bisa menjadi lebih kompak untuk mengisi satu sama lain. Siapa tahu tim ala Tsubasa ini bisa jadi lebih kompak lagi layaknya nakama? (A43)