Kasus positif Covid-19 di Indonesia, khususnya DKI Jakarta terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Teranyar, tingkat kasus positif (positivity rate) di Ibu Kota bahkan mencapai 14 persen, lebih tinggi dari rata-rata dunia. Di tengah kegentingan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didesak untuk kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti sebelum masa transisi. Akankah Anies berani mengambil langkah itu?
Dalam beberapa pekan terakhir, upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang dilakukan pemerintah kembali mendapatkan sorotan tajam publik. Bagaimana tidak, pagebluk yang membuat resah sejak enam bulan terakhir ini nyatanya tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
Sebaliknya, penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia dalam lima hari terakhir selalu tembus 3.000 kasus. Dari sekian banyak penambahan kasus itu, DKI Jakarta belum menanggalkan gelarnya sebagai daerah penyumbang kasus Covid-19 terbanyak.
Sinyal kegawatan kasus Covid-19 di Ibu Kota kian terlihat jelas kala merujuk pada angka tingkat kasus positif (positivity rate) di DKI yang mencapai 14,1 persen dalam sepekan terakhir. Angka itu terbilang mengkhawatirkan lantaran telah melampaui rata-rata positivity rate dunia.
Belum lagi, sejumlah persoalan lain seperti tingkat okupansi ruang isolasi yang semakin tinggi hingga terbatasnya ketersediaan lahan pemakaman bagi korban meninggal Covid-19 juga sedikit banyak menambah kompleksitas persoalan penanggulangan wabah di Ibu Kota.
Di tengah krisis ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan boleh jadi dianggap sebagai sosok yang paling dinanti-nantikan manuvernya. Selain karena sebagai gubernur, publik mungkin juga belum lupa bahwa Anies pernah mendapat sanjungan karena ketegasannya ketika awal-awal kasus Covid-19 terdeteksi di Indonesia.
Anies kala itu tak segan-segan berselisih dengan Istana terkait kebijakan penanganan pandemi. Ia bahkan sempat menolak menggunakan adagium ‘new normal’ yang kerap disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya.
Ketegasan Anies ini kemudian mendapatkan simpati dari banyak pihak. Survei Indikator Politik pada akhir Agustus lalu bahkan menempatkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sebagai sosok gubernur paling peka terhadap krisis pandemi Covid-19, mengungguli Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Namun, di tengah meningkatnya penambahan kasus positif Covid-19 saat ini, puja-puji terhadap Anies nampaknya sudah tak terdengar lagi. Sebaliknya, Anies malah dihujani kritik, baik dari kalangan profesional maupun lawan politiknya karena tak kunjung menarik ‘rem darurat’ seperti yang pernah Ia wacanakan ketika pertama kali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap transisi.
Lantas pertanyaannya, mengapa Anies terkesan lamban dalam merespons kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 di DKI? Kira-kira kebijakan rem darurat apa yang akan Ia terapkan dalam merespons penambahan kasus Covid-19 yang kian tak terkendali?
Membangun Narasi dalam Krisis
Pemimpin, apalagi pembuat kebijakan, tentu memainkan peran penting di saat-saat darurat seperti pandemi. Respons dan aksi pemimpin terhadap krisis memang jauh lebih berarti dari pada sekedar kata-kata. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, kata-kata dan retorika tetap memiliki signifikansi tersendiri dalam meraih kepercayaan dan kerja sama publik.
David Robson dalam tulisannya yang berjudul Covid-19: What Makes a Good Leader During a Crisis[A1] ? mengatakan tak ada jalan yang mudah dalam menghadapi krisis. Selain dihadapkan pada masalah dalam menyusun kebijakan yang tepat, pemimpin juga akan menghadapi tugas monumental untuk meyakinkan publik dan membujuk mereka agar menindaklanjuti kebijakan tersebut. Apalagi kebijakan itu harus dibayar dengan harga yang besar, seperti pembatasan sosial.
Ketika harus mengambil tindakan, pemimpin perlu menilai dengan tepat seberapa besar mereka dapat mengandalkan kerja sama individu melalui persuasi dan kapan mereka perlu menggunakan “komando dan kendali” yang lebih kaku. Tindakan yang salah dapat mengikis kepercayaan dan menimbulkan keresahan yang dapat memperburuk bahaya yang ada.
Mengutip pernyataan ahli politik dari Universitas Leiden, Arjen Boin, Robson mengatakan bahwa kepemimpinan krisis yang efektif tidak dapat diwujudkan hanya dengan melakukan hal yang dianggap benar di lapangan. Sebaliknya, para pemimpin perlu menyusun narasi yang membantu memperjelas masalah dan menyatukan masyarakat jika mereka ingin mencapai ‘konsensus permisif’ yang penting untuk dapat membuat keputusan dan merumuskan kebijakan.
Lebih lanjut, Robson mengatakan bahwa narasi awal dalam masa krisis harus disampaikan dengan cepat dan tepat. Narasi awal yang dibangun secara responsif memiliki lima manfaat, yaitu untuk memberikan penjelasan yang kredibel tentang apa yang terjadi, menawarkan bimbingan, menanamkan harapan, menunjukkan empati, serta menunjukkan bahwa pemimpin yang memegang kendali.
Untuk memperjelas pemikirannya ini, Robson memberi contoh penanganan pandemi yang dilakukan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in. Menurutnya, Presiden Jae-In telah memberikan pesan yang jelas dan konsisten sedari awal pandemi merebak di negeri Ginseng.
Sejak awal, lanjut Robson, masyarakat Korea Selatan sudah dipersiapkan untuk menghadapi keadaan darurat nasional. Hal itu dilakukan melalui siaran televisi reguler hingga pengumuman di angkutan-angkutan umum untuk terus mengingatkan warga akan bahaya virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok tersebut.
Robson lantas membandingkan apa yang dilakukan Presiden Jae-in dengan pemimpin-pemimpin di negara Barat. Berbeda dengan Korea Selatan, respons awal pemimpin-pemimpin di sana dianggap terlalu optimistis sehingga mengikis kepercayaan publik dalam kapasitas mereka untuk mengatasi bencana.
Berangkat dari tulisan Robson ini, dapat dikatakan bahwa ketegasan dan sikap cekatan Anies di awal-awal masa pandemi merupakan bentuk upaya dalam membangun narasi awal penanganan krisis. Usahanya itu faktanya membuahkan hasil. Anies mampu meraih simpati dan kepercayaan publik dalam konteks penanganan pandemi.
Sebaliknya, pemerintah pusat, yang sejak awal terkesan ‘meremehkan’ ancaman Covid-19 justru terus dihujani kritik. Kegagalan dalam membangun narasi awal penanganan krisis membuat publik tak yakin dengan kapasitas pemerintah dalam menangani pandemi. Terbukti hingga kini, pemerintahan Jokowi terus menerus dihujani kritik dari banyak pihak.
Jika memang Anies dianggap berhasil membangun narasi dalam penanganan krisis, lantas apa yang membuatnya tak kunjung merespons peningkatan kasus Covid-19 yang tengah terjadi saat ini?
Boleh jadi Anies saat ini tengah menimbang-nimbang apakah akan mengandalkan kerja sama individu melalui persuasi ataukah menggunakan instrumen komando dan kendali dalam menghadapi peningkatan kasus positif yang tengah terjadi saat ini.
Jika Anies menganggap situasi saat ini masih bisa dikendalikan dengan hanya mengandalkan kerja sama individu melalui persuasi, boleh jadi pilihannya adalah akan kembali memperpanjang PSBB transisi. Namun sebaliknya, jika Anies merasa sudah tak bisa lagi mengandalkan kerja sama individu, maka Ia bisa saja akan menggunakan instrumen komando dengan kembali menerapkan PSBB pratransisi.
Lantas pertanyaannya, kira-kira pilihan mana yang akan Anies ambil?
Anies Lebih Pilih Persuasi?
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria belum lama ini mengakui bahwa opsi kembali ke PSBB sebelum masa transisi bukanlah pilihan mudah. Riza menyebut jika kembali ke PSBB awal, semua aktivitas termasuk pelayanan publik akan terhenti.
Dia mengisyaratkan pilihan memperpanjang PSBB transisi adalah pilihan yang paling moderat saat ini. Politikus Gerindra itu juga menegaskan Pemprov DKI akan terus melakukan usaha penanganan pandemi dengan menggalakkan protokol kesehatan, meningkatkan tracing dan testing, serta membangun kesadaran masyarakat agar lebih peduli dengan kondisi saat ini.
Pernyataan Riza ini juga diperkuat oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Syarif. Dia menyebut pemerintah DKI tak mungkin menerapkan kebijakan rem darurat meski pasien positif Covid-19 kian meningkat. Ia berpendapat mengenai adanya dua faktor terkait hal tersebut, yakni ekonomi dan psikososial masyarakat saat ini tidak mendukung untuk kembali diterapkannya PSBB pratransisi.
Jika mengacu pada pernyataan Riza dan Syarif tersebut, maka dapat dikatakan Pemprov DKI memang lebih condong untuk melakukan persuasi-persuasi ketimbang kembali menerapkan PSBB yang ketat. Hal tersebut juga terlihat dari sikap dan pernyataan Anies akhir-akhir ini yang lebih menitikberatkan pada kepatuhan warga dalam menjalankan protokol kesehatan.
Jika asumsi ini benar, pilihan Anies tersebut tak bisa serta merta dianggap salah. Faktanya, persuasi memang bisa digunakan untuk menggerakkan perubahan.
Robert West dan kawan-kawannya dalam tulisan mereka yang berjudul Applying Principles of Behaviour Change to Reduce SARS-CoV-2 Transmission mengatakan bahwa persuasi memiliki peran penting dalam memotivasi orang untuk melakukan banyak perilaku, termasuk dalam hal menerapkan protokol kesehatan seperti jaga jarak dan penggunaan masker. Penggunaan insentif sosial dan intervensi koersif yang mendukung dan diterapkan dengan hati-hati juga mungkin akan berperan penting dalam beberapa kasus.
Namun pada akhirnya, asumsi yang mengatakan Anies tak akan kembali menerapkan PSBB sebelum masa transisi belum tentu benar adanya. Yang jelas Guburner DKI Jakarta ini sudah menegaskan akan menerapkan paket kebijakan baru guna merespons meningkatnya kasus Covid-19 di Jakarta dalam waktu dekat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.