Pemekaran daerah jadi narasi politik menarik akhir-akhir ini. Desakan ini tentunya terkendala oleh kebijakan moratorium pemerintah pusat tentang pemekaran daerah. Lantas, seperti apa dinamika politik di balik wacana pemekaran daerah ini?
Narasi tentang pemekaran daerah akhir-akhir ini sering diperbincangkan di beberapa platform sosial media oleh warganet. Meski pemerintah pusat telah melakukan moratorium terhadap pemekaran daerah, tapi saat ini wacana pemekaran daerah, khususnya provinsi baru masih terus diusulkan oleh berbagai pihak.
Meskipun sudah dibantah, sebelumnya beredar wacana pengusulan sembilan provinsi baru di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Tangerang Raya dengan Ibu Kota Tangerang, Provinsi Bogor Raya atau Pakuan Bagasasi berpusat di kota Bogor.
Selanjutnya, Provinsi Cirebon dengan Ibu Kota Cirebon, Provinsi Banyumasan dengan Ibu Kota Purwokerto, Daerah Istimewa Surakarta dengan Ibu Kota Surakarta, Provinsi Madura dengan Ibu Kota Pamekasan, Provinsi Mataraman atau Jawa Selatan dengan Ibu Kota Kediri, Provinsi Muria Raya atau Jawa Utara dengan Ibu Kota Kudus, dan terakhir Provinsi Blambangan berpusat di kota Jember.
Wacana-wacana pemekaran sejak lama dimaknai sebagai wacana kepentingan pembangunan daerah yang dianggap punya faktor politik. Dalam konteks pemilu misalnya, terdapat potensi politisasi data pemilu bila Daerah Otonomi Baru (DOB) berlangsung sebelum pemilu dilaksanakan.
Dalih pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam negeri (Kemendagri), selalu menilai bahwa pemekaran daerah masih mempertimbangkan kondisi anggaran pemerintah. Sebab, situasi nasional sekarang dianggap masih kurang memungkinkan.
Ketika melakukan media visit ke PinterPolitik pada 26 Januari, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil, menyampaikan bahwa alasan alokasi dana dari pusat yang belum proporsional, salah satu penyebabnya karena cara menghitung anggaran masih merujuk pada kuantitas wilayah di sebuah provinsi, bukannya jumlah penduduk. Menurutnya, pemekaran kemudian dapat menjadi alternatif solusi politik anggaran pemerintah daerah.
Lantas, seperti apa memahami fenomena politik pemekaran daerah ini?
Baca juga: Pandemi Kuak Kegagalan Otonomi Daerah?
Meraba Dinamika Pemekaran Daerah
Melihat narasi pemekaran daerah secara kronologis, fenomena ini dapat kita lacak sejak pemerintahan Presiden B.J. Habibie, di mana tercatat 45 DOB yang muncul. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati yaitu periode rentang tahun 2000 hingga 2004, terdapat 103 DOB. Dan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terdapat 57 DOB.
Hal ini menunjukkan bahwa semangat pemekaran dari era ke era pemerintahan pasca reformasi semakin tinggi. Namun, sayangnya berbagai pihak menilai kebijakan itu tak mempertimbangkan secara serius dampak negatif yang menyertainya, seperti pemekaran daerah sering menjadi instrumen politik pemerintah daerah.
Peneliti senior ilmu politik Siti Zuhro memberikan analisis, bahwa dalam konteks politik terdapat beberapa faktor penting penyebab pemekaran daerah. Pertama, instrumen peraturan perundang-undangan yang terlalu longgar.
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia tertuang pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Syarat teknis pemekaran bersifat kuantitatif, sehingga tidak menggambarkan kondisi kualitatif sesungguhnya. Indikator yang digunakan memberikan peluang untuk direkayasa dan disesuaikan dengan kepentingan politik.
Kedua, pertimbangan politis cenderung lebih dominan ketimbang aspek teknis pemerintahan, seperti ketersediaan aparat pemerintahan, legislatif, dan kapasitas manajemen pemerintah. Demikian juga dengan aspek sarana dan prasarana pemerintahan, serta pembelajaran tata kelola pemerintahan yang tampaknya masih sangat lemah.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses persetujuan pemekaran daerah sering kali dilakukan dengan menggunakan “lobi-lobi politik”. Lobi-lobi politik ini membuat aspek studi kelayakan tidak diberikan ruang yang cukup. Akibatnya, kajian tersebut tak dapat memprediksi apakah sebuah daerah dapat dimekarkan atau tidak.
Ketiga, terbatasnya kapasitas pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap DOB. Sementara itu, proses pendampingan tidak hadir untuk mengantarkan DOB menuju daerah mandiri dan mampu melakukan pemerintahannya. Adanya proses “pembiaran” ini menyebabkan sebagian besar DOB bermasalah dan gagal memenuhi syarat dari tujuan utama maksud didirikannya pemerintahan daerah baru.
Tujuan utama dari pemekaran daerah adalah untuk memperpendek rentang kendali (span of control) antara pengambil kebijakan dan masyarakat. Kemudian untuk menciptakan pemerataan pembangunan, konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan yang selama ini belum merata.
Konsep span of control diambil istilah ilmu manajemen yang dipopulerkan oleh Stephen P. Robbins dan Mary Coulter. Dalam konteks pemekaran wilayah, diandaikan bahwa semakin kecil suatu wilayah atau semakin kecil rentang kendali suatu pemerintahan, maka akan semakin mudah dalam mengelola wilayah tersebut.
Oleh karena itu, upaya bagi-bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal semestinya tidak mendominasi alasan pemekaran yang oleh kalangan tertentu disebut sebagai “aspirasi rakyat”, tapi juga harus memperhitungkan keberhasilan pemekaran baru nantinya.
Lantas, seperti apa implikasi politik yang diberikan dari polemik pemekaran daerah ini?
Baca juga: Pemekaran Papua, Ada Apa?
Pemekaran Daerah Sebuah Solusi?
Adies Saputra dalam tulisannya Pemekaran Daerah dan Implikasinya Pada Pembangunan, mengatakan, berdasarkan studi empiris menunjukkan bahwa pemekaran tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah otonom baru.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi daerah menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, tidak harus dijawab dengan pemekaran daerah.
Pemekaran daerah secara sosio-politik melahirkan sebuah konsekuensi pembentukan institusi baru, pengisian jabatan politik baru, yang dalam praktiknya sering memunculkan pertentangan horizontal maupun vertikal. Oleh karenanya, dalam upaya pemekaran daerah perlu juga diperhitungkan analisis tentang potensi konflik setelah pemekaran.
Evaluasi yang dilakukan beberapa lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, menunjukkan bahwa pemekaran cenderung berdampak negatif ketimbang positif. Beberapa dampak negatif tersebut antara lain.
Pertama, pemekaran menciptakan perluasan struktur yang mengakibatkan beban berat pembiayaan. Kedua, kesamaan karakteristik sosial budaya dan historis masyarakat merupakan komitmen mayoritas warga. Aspek politik antara warga mulai dikedepankan dibanding aspek budaya. Di sini potensi konflik horizontal itu dapat muncul.
Ketiga, rendahnya kapasitas fiskal yang menyebabkan pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan dengan berbagai cara yang justru merugikan masyarakat dan berakibat terhadap munculnya kesenjangan. Keempat, penambahan jumlah pemerintah daerah secara simultan meningkatkan belanja dalam APBN, dan ini membebani pemerintah pusat.
Dampak sosiologis dan juga ekonomi yang menghampiri narasi pemekaran daerah di atas, mengajak kita untuk memikirkan bagaimana solusi agar tetap menjaga otonomi daerah tetap berlangsung dengan tidak menjadikan pemekaran sebagai pilihan utama.
Dengan kata lain, pemekaran daerah bisa dikonversi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memberikan insentif bagi daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Langkah lain menjadi alternatif untuk mengatasi buruknya pelayanan publik di daerah-daerah terpencil dan terisolasi.
Sebagai penutup, terlepas dari polemik pemekaran daerah yang tak terelakkan, permasalahan yang dihadapi sebagian besar daerah otonom baru perlu dicarikan solusinya dengan cara membenahi proses dan mekanisme pemekaran, sehingga nantinya DOB tak akan membebani belanja daerah dalam APBN. (I76)
Baca juga: Corona Ekspos Disparitas Pusat-Daerah?