HomeNalar PolitikMenelisik Ekuivalensi Jokowi dan Joe Biden

Menelisik Ekuivalensi Jokowi dan Joe Biden

Seri pemikiran Fareed Zakaria #39

Presiden AS Joe Biden dinilai cukup berhasil dalam memperbaiki pemerintahan negeri Paman Sam, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19 dengan fokus yang tampak cukup “sederhana”. Namun, benarkah demikian? Serta bagaimana jika dikomparasikan dengan Indonesia di bawah Presiden Jokowi?


PinterPolitik.com

Perlahan tapi pasti, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menunjukkan progresivitas dan dinilai cukup baik dalam mengeksekusi program kerjanya, terutama dalam upaya menangani pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya.

Bagaimanapun, prioritas kerja Biden sejak melangkah ke Gedung Putih untuk menanggulangi pun memang tampak fokus dan jelas, yakni untuk menyukseskan penanganan dan stimulus untuk mengatasi dampak Covid-19.

Meski seolah tidak akan mudah, Natasha Korecki dan Christopher Cadelago dalam analisanya di Politico menyiratkan bahwa kinerja Biden dalam mengatasi persoalan tersebut sejauh ini cukup positif dan dieksekusi dengan strategi yang nyatanya dinilai sederhana.

Korecki dan Cadelago menyebutnya sebagai Biden’s keep-it-simple strategy, yang berangkat dari penilaian sejumlah pengamat salah satunya Rahm Emanuel, sosok Kepala Staf mantan Presiden Barack Obama, yang menilai bahwa penanggulangan pandemi Covid-19 sebagai prioritas nomor 1, 2, dan 3 dari agenda Biden.

Strategi dan fokus sederhana itu justru sejauh ini dinilai cukup berhasil, baik dari progres vaksinasi Covid-19 di AS yang dapat diimplementasikan dengan begitu masif, hingga usulan paket stimulus penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi Biden sebesar US$ 1,9 triliun yang telah disepakati Senat.

Hasil voting atas rencana stimulus itu sendiri berjalan cukup dramatis dengan hasil 50-49, di mana Partai Republik mempertanyakan usulan tersebut dengan cukup keras.

Baca juga: Menunggu Jokowi Satukan “Kumandra”

Dua program kerja fundamental pemerintah yang jika direfleksikan di tanah air, sesungguhnya sudah “dikebut” pula oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun dengan impresi yang agaknya berbeda akibat faktor tertentu.

Lantas, apakah yang dapat dimaknai dari tendensi keberhasilan Biden tersebut? Serta bagaimana hal itu berdampak bagi Indonesia?

Patahkan “Mantra Negatif” Reagan?

Dalam kolom tulisan teranyarnya di The Washington Post yang berjudul Biden is showing the world that U.S. government can work again, Fareed Zakaria mengapresiasi pencapaian Presiden AS Joe Biden yang cukup mengesankan, dan disebut akan memiliki implikasi besar di tahun-tahun mendatang.

Pakar politik terkemuka AS itu sendiri menyoroti strategi vaksinasi Covid-19 yang terus ditingkatkan dengan masif, di mana pemerintah federal telah mendirikan atau memperluas lebih dari 450 pusat vaksinasi, dengan kemampuan dua juta vaksinasi per hari, lebih dari dua kali lipat level vaksinasi ketika Presiden Biden dilantik. Bahkan belakangan kapasitas vaksinasi akan meningkat menjadi tiga juta inokulasi per harinya.

Negeri Paman Sam sejauh ini telah memberikan sekitar 80 juta dosis vaksin, berbanding cukup jauh dari Uni Eropa yang masih ada di kisaran 35 juta, maupun Tiongkok yang berada di angka 50 juta.

Selain itu, 15 persen orang Amerika telah menerima setidaknya satu dosis, atau sekitar lima kali lipat dibandingkan Tiongkok. Singkatnya, Biden menunjukkan kepada publik Amerika dan dunia bahwa pemerintah AS kembali dapat “bekerja”.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Zakaria juga menyinggung mengenai adagium populer mantan presiden Ronald Reagan bahwa “pemerintah bukanlah solusi, dan pemerintah justru adalah masalah” yang telah lama menjadi momok setiap administrasi kepresidenan AS berhasil dipatahkan oleh Biden.

Baca juga: Jokowi di Antara Tumpukan Keraguan Biden?

Jeffrey D. Sachs dalam analisanya di publikasi berjudul Joe Biden’s Ronald Reagan problem, memang menyoroti “kecenderungan masalah” yang akan dihadapi Biden yang berangkat dari istilah Reagan itu.

Biden dikatakan mewarisi krisis nasional yang telah terbangun selama 40 tahun yang dibangun salah satunya dari persepsi kepalang minor yang telah terpatri di benak publik AS dan bahkan dunia, yang diciptakan Reagan soal pemerintah. Ditambah dengan problematika akibat pandemi Covid-19.

Pada 20 Januari 1981, mantan Presiden Ronald Reagan dinilai Sach membawa AS ke arah radical course atau arah yang radikal dalam pidatonya dengan terminologi yang justru mendiskreditkan pemerintah sendiri, sebagai sebuah strategi politik.

Dengan persoalan yang dihadapi pendahulunya Jimmy Carter, Reagan justru dinilai melemahkan pemerintah federal dengan memotong pajak atas orang kaya, mengabaikan peraturan, mengurangi program publik dan mengembalikan banyak masalah nasional kembali ke negara bagian.

Kolega lintas generasi dari Partai Republik lainnya yakni mantan Presiden Donald Trump, disebut Sach melanjutkan pendekatan itu, seperti meloloskan pemotongan pajak besar-besaran pada tahun 2017. Lalu ketika bencana melanda akibat pandemi Covid-19, Trump cenderung mengembalikan beban respons krisis pada negara bagian.

Akan tetapi, mengacu pada analisa Zakaria plus Korecki dan Cadelago, Biden’s keep-it-simple strategy dengan berfokus pada penanggulangan pandemi – yakni vaksinasi dan stimulus – yang terus membaik membuat Presiden Biden dinilai sukses menegasikan paradigma yang saklek bahwa pemerintah adalah sumber masalah.

Selain dari aspek kasat mata yakni vaksinasi yang agresif, Biden juga tampak belajar dari pengalamannya menjalankan program stimulus sebagai Wakil dari Presiden Barack Obama saat mengatasi efek krisis ekonomi tahun 2008.

Selain itu, di sektor penanganan pandemi, ada juga strategi sederhana namun cukup apik dari penunjukkan Ron Klain Kepala Staf Kepresidenan Biden, yang juga pernah mengkoordinasikan penanganan Ebola pada 2014-2015, di mana Klain disebut sebagai sosok yang sangat fokus pada eksekusi.

Eksis pula koordinator penanganan Covid-19 Biden, Jeffrey Zients, yang merupakan eksekutif berbakat dengan keunggulan inovasi multi aspek, baik di sektor swasta maupun publik.

Namun di atas itu semua, menjaga agar Partai Demokrat selalu sejalan juga merupakan prestasi tersendiri secara politik. Dengan melakukan itu, Biden berhasil mencapai sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh mantan Presiden Obama, George W. Bush dan Bill Clinton mengenai usulan beleid eksekutif yang terbilang sukses di hadapan Kongres tanpa harus banyak mendapat “koreksi”.

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Baca juga: Jokowi dan Risalah Buta Ekologis

Sebagai bukti seberapa baik langkah-langkah dan strategi-strategi itu sendiri, Partai Republik sejauh ini tidak pernah fokus secara langsung pada subjek langkah Biden itu dan justru hanya mengecam Biden dan anggota kongres Partai Demokrat secara tidak substansial.

Terkait dengan konfigurasi politik itu, Biden juga berhasil mencegah Demokrat terpecah dan maju tanpa dukungan Partai Republik. Ketika memang sejumlah kebijakan yang disahkan Senat plus jadi bagian strategi keep-it-simple­-nya, hanya membutuhkan suara mayoritas yang sederhana.

Lantas, dengan suksesnya Biden’s keep-it-simple strategy dan keberhasilan menegasikan postulat Reagan dalam penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya di AS, apa yang bisa direfleksikan dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo?

Perbedaan Dimensi Signifikan?

Selain klaim kesuksesan yang datang dari pemerintahan Jokowi sendiri, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sendiri secara keseluruhan acapkali dinilai masih belum optimal dan seolah “tersamarkan” di balik vaksinasi yang sedang gencar digalakkan.

Asmiati Malik dalam tulisannya di The Diplomat pernah menyebut bahwa respons Covid-19 Indonesia di bawah Presiden Jokowi dianggap jauh dari kata optimal. Dengan pendekatan kebijakan yang dinilai kerap tak berbasis keilmuwan yang komprehensif, berkutat dengan persoalan data, hingga stimulus yang kurang terarah. Bahkan sejumlah persoalan itu masih terjadi hingga saat ini.

Kecenderungan itu pun tercermin dari kajian Lowy Institute yang merilis peringkat negara-negara dalam penanganan pandemi Covid-19 pada akhir Januari lalu, yang mana Indonesia bercokol di peringkat 85 dari 98 negara.

Jika Biden cenderung tampak “keep-it-simple” sebagai bagian dari strateginya, Presiden Jokowi yang dikenal berorientasi sederhana dan fokus pada hasil, bukan proses, tampaknya berada dalam dimensi yang sama dalam konteks kesederhanaan strategi penanganan pandemi Covid-19.

Akan tetapi, tendensi itu tentu tak bisa serta merta diarahkan pada komparasi penerapan terminologi keep-it-simple Biden dan Jokowi, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19.

Demarkasi yang cukup jelas ialah kepemimpinan Biden di AS disokong oleh berbagai sumber daya, mulai dari manusia, finansial negara, data, teknologi, hingga infrastruktur penunjang lainnya. Sebuah kombinasi kolektif fundamental yang agaknya cukup timpang jika dibandingkan dengan Indonesia.

Bahkan menurut analisa seorang Indonesianis, Max Lane, prioritas kebijakan penanganan pandemi Indonesia tidak konsisten dan kini “diperburuk” dengan persoalan serupa pada program vaksinasi Covid-19.

Kendatipun head-to-head antara Biden dan Jokowi agaknya cukup sulit dipadankan dalam konteks yang sama akibat perbedaan sumber daya yang tak sepadan, semestinya tak membuat penanganan Covid-19 tak optimal. Seperti yang Lane sebutkan, konsistensi kebijakan yang tepat menjadi diskursus yang masih terus diharapkan di Indonesia. (J61)

Baca juga: Jokowi akan Kirim Pesawat ke Mars?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).