HomeHeadlineMenelisik di Balik Permintan Maaf Prabowo 

Menelisik di Balik Permintan Maaf Prabowo 

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Dalam debat calon presiden (capres) terakhir yang diadakan pada Minggu 4 februari lalu, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam pernyataan penutup meminta maaf pada dua pasangan calon (paslon) lainnya. Hal ini kiranya adalah maksud dari cara Prabowo merangkul semua lawan politiknya. Benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Debat kandidat presiden selalu menjadi ajang yang sarat dengan ketegangan dan persaingan. Para calon presiden harus menunjukkan kepemimpinan, kecerdasan, dan kemampuan untuk menangani konflik dengan bijaksana. 

Setiap kandidat memiliki agenda dan strategi sendiri untuk memenangkan simpati pemilih. Salah satu aspek penting dalam debat politik kiranya adalah kemampuan untuk meminta maaf ketika diperlukan.  

Calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto menjadi sampel konkret itu dengan meminta maaf kepada capres lainnya saat memberikan pernyataan penutup debat terakhir capres 2024 Minggu 4 Februari lalu. 

Prabowo menyatakan saat kampanye terkadang terucap kata-kata yang keras karena terbawa semangat untuk memajukan bangsa. 

prabowo sedang memikat hati

Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk meminta maaf kepada kandidat lain, dan juga KPU, jika ada ucapan dan tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah Pemilihan Umum (Pemilu). 

Prabowo juga menambahkan jika dia tetap menganggap Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo adalah saudara. 

Karena gestur dan pernyataan yang dilakukan Prabowo itu, banyak kalangan yang kemudian menilai jika itu adalah bukti sifat seorang negarawan yang ingin menjaga persatuan dan kesatuan. 

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Prabowo yang menyebut hal terpenting adalah harus rukun dengan semua kalangan, terutama kerukunan dengan pemimpin Indonesia. 

Gestur permintaan maaf Prabowo juga dinilai menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas dan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab di hadapan pemilih. 

Lantas, adakah makna lain yang bisa dilihat dari permintaan maaf Prabowo dalam pernyataan penutupnya di debat terakhir capres? 

Demi Merangkul Semua? 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, banyak yang beropini jika apa yang dilakukan Prabowo adalah salah satu contoh sifat seorang negarawan. 

Namun, dalam literatur ilmu politik, konteks “minta maaf” yang dilakukan oleh politisi sejatinya sudah menjadi suatu kajian yang menarik. 

Patricia O’Brien dalam karyanya yang berjudul The Politics of Apology in the Pacific menjelaskan pentingnya “politik minta maaf” dalam konteks hubungan antar negara. Dia juga menambahkan permintaan maaf secara formal dapat memperbaiki hubungan antarnegara. 

Dalam tulisannya tersebut, O’Brien mencontohkan permintaan maaf mantan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Helen Clark kepada Samoa pada 2012 lalu. 

Permintaan maaf itu kemudian disambut hangat masyarakat Samoa dengan digelarnya ritual pengampunan dan pertukaran hadiah, yakni toga, yang kemudian menjadi simbol perbaikan hubungan kedua negara. 

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Apa yang dijelaskan O’Brien sebenarnya bukan hanya bisa berlaku pada hubungan antarnegara, melainkan juga pada lingkup domestik, baik antara masyarakat dan politisi, maupun politisi dengan politisi. 

Melalui penjelasan O’Brien tersebut, bisa di lihat bahwa tujuan Prabowo mengucapkan permintaan maaf dalam pernyataan penutupnya di debat kiranya adalah memperbaiki hubungan yang sempat retak dengan kandidat lain karena kontestasi Pilpres 2024. 

Selain itu, Prabowo kiranya juga ingin mencerminkan janji yang dia ucapkan untuk merangkul siapapun dan menjadi pemimpin seluruh masyarakat.  

Hal ini kiranya telah menjadi sebuah filosofi dalam hidup Prabowo, itu tercermin dari buku yang ditulisnya sendiri berjudul Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. 

Dalam buku itu Prabowo mengutip filosofi seorang Samurai dan Daimyo Jepang (penguasa feodal) Toyotomi Hideyoshi pada akhir periode Sengoku yang dianggap sebagai “Pemersatu Besar” kedua Jepang. 

Saat itu, Hideyoshi di ambang pertempuran dengan pasukan musuh dengan kekuatan yang setara, yakni Tokugawa Ieyasu. 

Namun, menyadari konsekuensi pertempuran yang akan menimbulkan kerugian baik materil ataupun imateriil, Hideyoshi membujuk Ieyasu dengan mengatakan “untuk apa kita berperang? Marilah kita bergabung, bersatu untuk sama-sama berbakti kepada Jepang.” 

Maka, tak heran kiranya jika Prabowo lebih memilih untuk meminta maaf dan merangkul semua kalangan. 

Seperti diketahui sebelumnya, sebenarnya hubungan Prabowo dengan Anies maupun Ganjar sebelum Pilpres 2024 bisa dikatakan cukup baik. 

Prabowo adalah salah satu sosok yang mencalonkan dan mendukung Anies untuk maju dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 lalu. 

Sementara itu, Ganjar juga adalah salah satu kader PDIP yang mengkampanyekan Prabowo dalam Pilpres 2009 lalu, saat berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. 

Gestur permintaan maaf di sini bisa menjadi indikator bagaimana Prabowo mengelola konflik dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang inklusif. 

Saher Khan dalam karyanya yang berjudul How to Navigate a Political Apology menjelaskan terdapat berbagai macam bentuk strategi dalam meminta maaf. 

Pertama, menyampaikan maaf secara formal. Politisi perlu melakukan konferensi pers agar permintaan maafnya dilihat secara umum. 

Kedua, politisi perlu menunjukkan bahwa dirinya malu telah melakukan kesalahan. Gestur tersebut dapat menciptakan kesan positif di hadapan publik. Ketiga, politisi perlu melakukan perubahan tindakan. 

Khan menambahkan jika permintaan maaf yang “sempurna” bagi para politisi adalah menggabungkan ketiga cara itu. Untuk mendapatkan sentimen positif sebesar mungkin, politisi perlu meminta maaf secara formal, menunjukkan rasa malu, dan memperbaiki perilakunya. 

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Jika melihat konteks permintaan maaf Prabowo, ketiga cara tersebut tampaknya sudah dilakukan oleh mantan Danjen Kopassus itu. 

Prabowo sudah meminta maaf secara langsung dihadapan publik saat debat kepada kedua capres lainnya, kemudian dia juga telah dirinya telah menunjukkan jika dirinya malu karena telah melakukan kesalahan selama masa kampanye. 

Terakhir, Ketum Partai Gerindra itu juga telah menunjukkan perbaikan perilakunya saat debat terakhir dengan tampil tidak terlalu emosional saat debat. Hal ini jelas berbeda dengan dua debat capres sebelumnya. 

Atas dasar itu, tak berlebihan kiranya jika timbul optimisme dari Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Budiman Sudjatmiko terkait kemungkinan meningkatnya elektabilitas pasca permintaan maaf Prabowo.  

Optimisme Budiman itu tampaknya bukan sesuatu yang susah terwujud, mengingat kultur masyarakat Indonesia yang selalu menjunjung tinggi sopan santun. Hal itu pun akan tercermin dalam preferensi mereka saat memilih pemimpin. 

Lalu, apa yang bisa dimaknai selain “politik minta maaf” Prabowo dalam pernyataan penutup di debat terkahir kemarin? 

prabowo belum bangun

Kerendahan Hati Prabowo? 

Berbagai penafsiran bermunculan setelah permintaan maaf Prabowo dalam debat kemarin. Tapi, penafsiran yang kiranya masuk akal adalah hal itu bentuk kerendahan hati Prabowo sebagai seorang negarawan. 

Penafsiran itu agaknya menimbulkan persepsi Prabowo yang menyajikan political humility atau kerendahan hati politik. Istilah itu diadopsi dari konsep intellectual humility atau kerendahan hati intelektual dalam psikologi. 

Istilah intellectual humility pun dijelaskan oleh Javier Zarracina dalam tulisannya yang berjudul Intellectual Humility: The Importance of Knowing You Might Be Wrong. 

Javier menjelaskan bahwa intellectual humility membuat manusia berpikiran terbuka dan dapat mengenali kelemahannya sendiri. Dengan hal itu menurut Javier manusia akan lebih bisa mendengarkan pandangan yang berlawanan.  

Berkaca dari itu, political humility dapat dikatakan sebagai kerendahan hati seorang politisi untuk mengenali kelemahannya dan kemudian dapat menerima secara rasional serta terbuka terhadap benturan eksternal apapun yang terjadi. 

Dengan apa yang disampaikannya dalam debat terakhir capres kemarin, Prabowo kiranya sedang menampilkan kerendahan hati politik. 

Gestur tersebut bukan hanya menyangkut image pribadi Prabowo, tetapi juga memengaruhi persepsi publik tentang kualitas kepemimpinan dan integritas moral yang dia miliki. 

Dengan demikian, gestur permintaan maaf dalam debat Prabowo bukanlah sekadar tindakan “kosmetik”, tetapi mencerminkan esensi dari nilai kepemimpinan yang dijunjung tinggi dalam politik yang demokratis. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?