Dukungan para konglomerat dan pebisnis akan sangat menentukan kemenangan kandidat di Pilpres 2024. Dukungan finansial, strategi pemenangan, hingga relasi dan koneksi politik akan membantu kandidat meraih hasil maksimal. Kali ini kita akan melihat konteks relasi dan koneksi konglomerat itu pada capres Anies Baswedan.
Pemilihan presiden merupakan momen krusial dalam kehidupan suatu negara, di mana arah kebijakan nasional ditentukan oleh pilihan rakyat. Di balik layar, relasi antara konglomerat dan pebisnis seringkali memainkan peran penting dalam mengamankan kemenangan seorang kandidat.
Dinamika hubungan ini tidak hanya mencakup dukungan finansial, tetapi juga melibatkan kepentingan bisnis yang saling terkait. Mengulas poin-poin relasi ini penting, mengingat narasi dukungan konglomerat dan pengusaha selalu punya sisi menarik tersendiri dalam politik di Indonesia. Ini adalah pergunjingan berulang di setiap Pemilihan Presiden.
Anies Baswedan adalah salah satu capres yang cukup terbuka membawa diskursus ini ke ruang publik. Pada September 2023 lalu, dalam suatu kesempatan wawancara bersama Najwa Shihab, Anies menyebut banyak konglomerat yang takut mendukung dirinya karena takut diperiksa soal pajak dan lain sebagainya.
Terlepas dari siapa konglomerat yang dimaksud, tentu menarik untuk melihat peta dukungan konglomerat ini pada Anies secara keseluruhan.
Dukungan Penting Konglomerat
Sebelum membahas siapa saja pengusaha dan konglomerat yang ada di barisan pendukung Anies baswedan, menarik untuk melihat alasan mengapa poin dukungan pengusaha dan konglomerat ini menjadi penting.
Hal yang pertama dan terutama adalah tentu saja dukungan finansial. Salah satu cara paling terlihat dan seringkali kontroversial adalah dukungan finansial dari konglomerat dan pebisnis terhadap kandidat presiden. Konglomerat, dengan kekayaan dan kekuasaannya, dapat memberikan sumbangan besar kepada kampanye politik. Dalam beberapa kasus, ini dapat memberikan keuntungan yang signifikan dalam menggalang dukungan massal melalui iklan kampanye, kunjungan, dan promosi media.
Namun, hal ini juga bisa menimbulkan masalah etika dan pertanyaan tentang transparansi. Dukungan finansial yang besar dapat menciptakan hubungan yang bersifat timbal balik antara konglomerat dan pemerintahan terpilih, mengundang spekulasi tentang potensi pertukaran pengaruh. Regulasi yang lemah atau ketidaktransparanan dalam pendanaan kampanye bisa menjadi ancaman terhadap integritas demokrasi.
Kemudian, selain dukungan finansial, konglomerat dan pebisnis seringkali memiliki kekuatan lobi politik yang kuat. Dengan mengandalkan jaringan dan keahlian mereka, mereka dapat memengaruhi pembuat kebijakan untuk melibatkan atau mengamankan kebijakan yang mendukung kepentingan bisnis mereka. Ini bisa termasuk pengembangan infrastruktur, perubahan dalam peraturan pajak, atau bahkan kebijakan perdagangan yang menguntungkan bisnis mereka.
Dalam beberapa kasus, konglomerat mungkin memanfaatkan hubungan pribadi dengan para kandidat atau pejabat terpilih untuk memastikan akses yang lebih besar ke kebijakan yang mereka inginkan. Meskipun lobi politik adalah bagian yang sah dari sistem demokratis, pertanyaan etis muncul ketika kepentingan bisnis mendominasi kepentingan masyarakat umum.
Secara khusus, salah satu sisi bisnis konglomerat yang menarik untuk dilihat adalah konglomerat media. Mereka sering kali merupakan pemain kunci dalam arena politik, dan relasinya dengan konglomerat dan pebisnis dapat sangat memengaruhi dinamika pemilihan. Media memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik dan memengaruhi persepsi terhadap kandidat presiden.
Konglomerat media yang memiliki kepentingan bisnis dengan kandidat tertentu dapat menyediakan liputan yang mendukung, menciptakan narasi yang menguntungkan, atau bahkan mengabaikan informasi yang merugikan kandidat pesaing.
Penting untuk mencatat bahwa kemerdekaan media dan pluralisme informasi adalah prinsip dasar demokrasi. Namun, ketika konglomerat media menggunakan kekuatannya untuk menciptakan naratif yang tidak seimbang, hal ini dapat membahayakan integritas pemilihan dan pemahaman publik tentang calon presiden.
Secara keseluruhan, kemenangan seorang kandidat yang didukung oleh konglomerat dan pebisnis dapat memiliki dampak signifikan pada perekonomian dan kebijakan negara. Terkadang, konglomerat dapat mengharapkan imbalan atas dukungan mereka, seperti kebijakan perpajakan yang menguntungkan atau peluang bisnis yang lebih baik. Ini dapat menciptakan lingkungan di mana kepentingan bisnis lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat umum.
Namun, sebaliknya, kemenangan seorang kandidat yang berkomitmen untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi atau memperbaiki regulasi yang melindungi kepentingan masyarakat umum dapat membawa perubahan positif. Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk memahami hubungan antara konglomerat, pebisnis, dan kandidat presiden dalam konteks kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi.
Lalu bagaimana dengan Anies Baswedan?
Anies Bukan Yang Terkuat?
Jika melihat LHKPN per 31 Maret 2022, total harta kekayaan Anies mencapai Rp10,96 miliar. Untuk modal nyapres yang ditaksir mencapai Rp7-10 triliun, dapat dikatakan Anies jelas tidak punya modal yang cukup. Hal inilah yang membuat penting barisan pengusaha dan konglomerat. Siapa saja mereka?
Pertama, tentu saja ada nama Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Surya Paloh merupakan ketua umum partai dengan kekayaan terbesar nomor dua. Ia hanya kalah dari Ketua Umum Perindo, Hary Tanoesoedibjo.
Mengutip laporan Forbes pada 2021, kekayaan Pak Surya Paloh ditaksir mencapai US$ 440 juta atau sekitar Rp6,6 triliun. Gurita bisnisnya mulai dari media, properti, hotel, hingga katering. Bisnis katering Pak Surya Paloh bukan katering rumahan yang tiap hari kita makan. Ini adalah usaha katering di bawah PT Pangansari Utama yang menyediakan jasa boga untuk PT Freeport Indonesia, tambang emas terbesar di Indonesia.
Mengutip laporan Tempo, Pangansari telah menyediakan katering untuk 40 ribu pekerja Freeport selama 30 tahun. Nilai pengadaan makanannya fantastis, yakni mencapai US$ 500 juta per tahun atau sekitar Rp7,4 triliun. Benar-benar fantastis. Nilainya bahkan melebihi taksiran kekayaan Pak Surya Paloh.
Selain Surya Paloh, di tubuh Partai Nasdem juga terdapat banyak pengusaha politisi. Ada Pak Rachmat Gobel yang LHKPN-nya mencapai Rp563 miliar. Membahas Pak Rachmat Gobel tentu tidak bisa dilepaskan dari Gobel Group, salah satu konglomerat terbesar di Indonesia yang sudah merintis bisnis sejak tahun 1954. Jika asumsi dukungan Pak Rachmat linear dengan Nasdem, maka sangat mungkin ia juga mendukung Anies.
Berikutnya, ada nama Ahmad Sahroni, crazy rich dari Priok. Doi adalah pengusaha muda yang sangat terkenal. Kemudian, Sekjen non aktif Nasdem, Johnny Plate disebut oleh Rappler sebagai tangan kanan dari pengusaha sukses, Mohammad Riza Chalid yang merupakan pemegang saham maskapai Air Asia Indonesia. Memang tak ada informasi soal apakan Riza Chalid mendukung Nasdem dan Anies, namun kedekatannya dengan Johnny Plate menarik untuk dilihat.
Nah, lanjut ke sosok di luar Partai NasDem, ada satu nama menarik yang mendukung Anies, yakni Sunny Tanuwidjaja. Sunny dulunya adalah mantan staf Pak Ahok dan mantan Sekretaris Dewan Pembina PSI yang kemudian beralih mendukung Pak Anies.
Sunny mungkin bukan pengusaha besar atau konglomerat seperti Surya Paloh, tapi Sunny memiliki relasi dengan kelompok konglomerat. Mengutip pengakuan Pak Ahok pada tahun 2016 lalu, Sunny dekat dengan Peter Sondakh, pengusaha minyak kelapa dan ekspor kayu melalui Rajawali Group. Forbes pernah merilis kekayaan Peter Sondakh senilai US$ 2 miliar atau sekitar Rp31,7 triliun. Tidak ada yang tahu apakah Peter Sondakh mendukung Anies atau tidak, namun relasi-relasi ini menarik untuk dilihat.
Masih menurut Ahok, Sunny juga dengat dengan bos Sinar Mas, Franky Wijaya yang merupakan anak dari Eka Tjipta Wijaya, pendiri Sinar Mas Group. Sinar Mas adalah salah satu kelompok usaha terbesar di Indonesia yang telah merintis bisnis sejak tahun 1938. Operasi bisnisnya bergerak di berbagai sektor, seperti Kertas, Agribisnis, Jasa Keuangan, Real Estate, Telekomunikasi, Energi, dan Infrastruktur.
Sama seperti Peter Sondakh, tak ada yang tahu pasti juga apakah Sinar Mas mendukung Anies atau tidak. Selain nama-nama yang disebut, Anies sangat mungkin juga mendapat dukungan dari para konglomerat yang lain. Hanya saja, hingga saat ini, benang-benang dukungannya belum terurai.
Apapun itu, yang jelas, ini adalah halaman lain dari relasi bisnis dan politik di Indonesia. Di seri tulisan berikutnya, kita juga akan membahas konglomerat-konglomerat lain di belakang kandidat capres lawan Anies, baik itu Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto. So, stay tune! (S13)