Kompleksitas kampanye politik semakin mengarah pada hal yang tak terduga. Segala macam cara bisa dijadikan strategi pemenangan, termasuk inkonsistensi.
Pinterpolitik.com
“When two related cognitions are mutually inconsistent, one of them will change to restore consistency.”
:: Yair Neuman ;;
[dropcap]P[/dropcap]emberitaan terkait strategi politik pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno selalu menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya kecurigaan tentang pihak Prabowo yang menggunakan jasa konsultan yang sama dengan Donald Trump masih menjadi diskusi hangat bagi banyak pihak penikmat berita.
Prabowo disebut menggunakan metode yang serupa dengan Trump yakni firehose of falsehood atau selang kebakaran untuk kekeliruan.
Salah satu indikator dari adanya dugaan tersebut adalah inkonsistensi. Memang pada strategi firehosing tersebut ada salah satu karakter yang disebut dengan komitmen yang lemah pada konsistensi (not commit to consistency) atau dalam kata lain inkonsisten.
Sikap inkonsisten Prabowo ini bisa terlihat ketika dirinya mendapat kunjungan dari Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian, lalu saat kunjugan Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinland, serta dalam ceramahnya pada Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Tiga rangkaian agenda yang terjadi dalam kurun waktu berdekatan ini disebut-sebut menjadi katalisator dari sikap inkonsisten yang ditempuh oleh Prabowo.
Lantas, kenapa Prabowo cenderung melakukan tindakan yang inkonsisten serta keuntungan apa yang didapat dari inkonsistensi tersebut?
Retorika yang Inkonsisten
Prabowo dikenal sebagai seorang politikus nasionalis. Hanya saja, eskpresi nasionalisme yang dipadu dengan jargon-jargon populisme membuatnya terkesan antiasing.
Kesan itu makin kuat dengan inkonsistensi retorika politik Prabowo, sehingga membingungkan orang untuk menilainya antara seorang nasionalis atau antiasing.
Hal itu bisa dilihat dari pertemuannya dengan Dubes Tiongkok dianggap bahwa dirinya telah melakukan inkonsistensi. Dalam pertemuan itu Prabowo menyebutkan bahwa Indonesia perlu berhubungan baik dengan Tiongkok dengan meningkatkan kerja sama.
Namun, seperti yang diketahui, Prabowo selama ini mengambil jarak dengan Tiongkok. Sebaliknya, wacana yang selama ini ia dan pendukungnya kembangkan adalah narasi anti Tiongkok.
Kemudian, pertemuannya dengan Dubes Australia yang mana adalah representasi dari Barat merupakan inkonsistensi berikutnya. Prabowo selama ini selalu menolak konsep westernisasi atau sikap yang berkiblat pada Barat. Wacana ini juga menjadi narasi sentral Prabowo tiap kali mencalonkan menjadi presiden.
Terakhir adalah ceramah politiknya di depan forum LDII, dalam kesempatan itu Prabowo menyebut jebloknya ekonomi Indonesia saat ini karena selain disebabkan oleh salah kelola, ia juga menyebut karena sistem ekonomi Indonesia saat ini mengekor pada neoliberalisme.
Padahal, yang publik ketahui bahwa Prabowo dalam bermacam forum juga setuju dengan prinsip neoliberalisme, bahkan bisa dikatakan bahwa Prabowo adalah pelaku neoliberal. Ia adalah bagian dari kelompok elite, pengusaha dan oligarki yang notabene adalah bagian yang intrinsik dari konsepsi neolibralisme itu sendiri.
Kontradiksi dari ketiga kasus di atas menggambarkan inkonsistensi Prabowo pada gelaran Pilpres kali ini. Prabowo seolah berbicara poin A dalam satu kesempatan, namun mengungkap poin B di kesempatan yang lain.
Selama ini, dalam berkampanye Prabowo bisa dikatakan hanya melakukan retorika, yakni suatu seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis dengan menggunakan janji-janji politik dalam rangka mempengaruhi para pemilih dalam pemilihan umum.
Yair Neuman dan Iris Tabak yang berjudul Inconsistency as an Interactional Problem: A Lesson from political Rhetoric menyebut persoalan inkonsistensi ini bukan hanya masalah disonansi kognitif, namun juga menjadi masalah interaksi dari subjek.
Lebih lanjut, Neuman dan Tabak mengatakan bahwa inkonsistensi digunakan oleh seorang politisi di ruang publik untuk memanipulasi audiences dengan cara-cara yang retoris.
Dalam koteks Prabowo, ucapannya dalam berbagai forum dengan sifat paradoksal adalah sebuah inkonsistensi yang secara sadar atau tidak, telah memanipulasi banyak orang.
Kampanye Trump, Berhasil Untuk Prabowo?
Agenda diskursus politik dalam berbagai konteks politik elektoral di dunia memang cenderung kurang poisitif. Dengan perkembangan teknologi membawa arus post truth ke arah yang semakin mengkhawatirkan.
Para kandidat yang berlaga menggunakan segala macam cara untuk menarik simpati massa, termasuk dengan penyebaran berita bohong alias hoaks. Hoaks kini menjadi sebuah pergunjingan yang tidak ada habisnya. Membicarakan hoaks terkadang menjadi upaya untuk memproduksi hoaks itu sendiri.
Setidaknya itulah yang terjadi pada Pilpres di Amerika Serikat (AS) tahun 2016 lalu. Trump kala itu menggunakan fake news sebagai peluru untuk menjatuhkan Hilary Clinton.
Tentu masih lekat dalam ingatan masyarakat AS, ketika Trump mencela militer dengan kata “hancur-hancuran”. Lalu, dalam tempo yang singkat, ketika wawancara dengan Fox Business Network, Trump justru memuji militer AS sebagai kekuatan tak tertandingi di dunia. Dia memuji teknologi dan segala perlengkapannya yang disebutnya luar biasa.
The only consistent thing about Trump is his inconsistency.
— αιяgσ*мαтι¢*σρтιχ (@sacraficial) October 11, 2018
Anehnya lagi, Trump pernah ditanya soal Vladimir Putin. Lantas dirinya menjawab tidak mengenal Putin. Padahal dalam suatu debat pada November 2015, Trump mengaku kenal Putin dengan baik. Ia pernah diwawancara bareng dalam program 60 Minutes. Ia pun menyatakan bahwa pernah bertemu Putin sebelumnya. Lantas, kok bisa kemudian ia bilang tidak mengenal Putin?
Inkonsistensi semacam ini menjadi perhatian dan bahan penelitian dari berbagai kalangan pasca Pilpres AS. Inilah yang oleh Rand Corporation disebut dengan firehosing of falsehood atau selang kebakaran untuk kekeliruan – seperti yang sudah disinggung di awal.
Teknik ini digunakan oleh Trump dengan cara menyebarkan berita bohong sebanyak-banyaknya.
Dari teknik tersebut, terdapat empat karakter kunci mengapa strategi itu bisa berjalan dengan sempurna. Salah satu di antaranya adalah inkonsistensi.
Inkonsistensi merupakan poin menarik dalam penelitian-penelitian pasca Pilpres AS 2016 tersebut dan dianggap bekerja dengan efektif untuk mempengaruhi psikologi massa.
Cara kerja inkonsistensi ini akan efektif apabila publik melihat sebuah isu baru dan menganggapnya memiliki relevansi yang kuat, sehingga isu sebelumnya dapat terbantahkan. Namun menariknya, dengan begitu publik telah “termakan” dengan persuasi penyebar berita tersebut.
Dalam konteks Prabowo, sikap awalnya adalah anti asing dan seringkali disampaikan di hadapan para pendukungnya. Namun, dalam kesempatan pertemuan dengan perwakilan Tiongkok dan Australia, ia menyebut bahwa perlu menjaga hubungan baik dengan mereka.
Kemudian, pada saat memberikan ceramah dihadapan jamaah LDII, Prabowo mengatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia saat ini sudah masuk dalam jurang neoliberalisme, hal yang sama sekali berbeda dengan kiprahnya selama ini yang kompromistis dengan paham tersebut.
Inkonsistensi menjadi bagian intrinsik dari model kampanye politik hari ini. Share on XMasih menjadi teka-teki bagaimana mungkin sebuah inkonsistensi bisa mendapat panggung dalam diskursus politik dewasa ini. Namun nyatanya ia ada, dan digunakan sebagai senjata yang efektif. Dengan demikian, kebenaran bukan lagi menjadi hal yang penting.
Bagi pendukung fanatik Prabowo, apa pun yang diucapkan oleh dirinya pasti akan tetap mendapat pembenanaran. Begitu pun dengan pendukung Jokowi, apa pun yang dilakukan oleh Prabowo pasti akan salah.
Namun, yang menjadi perdebatan dalam strategi inkonsisten ini adalah preferensi dari undecided voters atau pihak yang belum menentukan pilihan. Apalagi, jumlah pemilih yang masih bimbang ini cukup tinggi jumlahnya.
Dengan pola strategi yang sudah dijelaskan sebelumnya, bukan tidak mungkin jika Prabowo mendapatkan keuntungan dari inkonsistensi tersebut. Menarik untuk ditunggu. (A37)