HomeNalar PolitikMenebak Indo Barometer Survei Jokowi

Menebak Indo Barometer Survei Jokowi

Beberapa hari lalu lembaga survei Indo Barometer mengumumkan hasil survei bahwa 70,1 persen masyarakat puas dengan 100 hari kinerja Presiden Jokowi. Timing survei tersebut cukup menarik karena pemerintah tengah dirongrong oleh berbagai isu negatif. Selain itu, ada Alvara Research Center yang juga mengumumkan hasil survei yang menunjukkan kepuasaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi justru hanya 69,4 persen. Tidak hanya berbeda, untuk pertama kalinya sejak 2018 tingkat kepuasan terhadap presiden ada di bawah 70 persen. Lantas, apakah timing munculnya hasil survei tersebut sebuah kebetulan?


PinterPolitik.com

Tumbangnya rezim Soeharto, tidak hanya membuat masyarakat Indonesia merasakan mewahnya demokrasi langsung, melainkan juga turut melahirkan berbagai instrumen pendukung kontestasi elektoral, seperti hadirnya lembaga survei atau jajak pendapat.

Di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) hadir sebagai pelaku terpenting dalam penyelenggaraan survei atas pemilihan legislatif pada tahun 1999.

Sejak saat itu, berbagai lembaga survei kemudian bermunculan seiring dengan majunya proses demokratisasi di Indonesia.

Kehadiran berbagai lembaga survei tersebut memberikan warna tersendiri dalam pagelaran demokrasi karena mampu memberikan semacam “gambaran masa depan” terkait sosok yang akan memenangkan kontestasi elektoral.

Atas itu pula, data-data yang dihadirkan oleh berbagai lembaga survei menjadi sumber perdebatan tersendiri di tengah masyarakat, serta dapat menjadi semacam rujukan bagi berbagai partai politik (parpol) dan politisi untuk membuat strategi kampanye.

Dalam perkembangannya, survei politik tidak hanya digunakan dalam mengukur tingkat elektabilitas parpol ataupun kandidat, melainkan juga menjadi semacam “jembatan” antara pejabat publik dengan masyarakat.

Itu terjadi karena lembaga survei juga mengukur tingkat keberhasilan program, ataupun kepercayaan dan kepuasaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan dan pejabat publik.

Terbaru, lembaga survei Indo Barometer mengumumkan hasil surveinya terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Ma’ruf Amin.

Dalam survei tersebut disebutkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi menyentuh angka 70,1 persen, atau terjadi peningkatan dibandingkan dengan survei pada Maret 2019 yang hanya 64,9 persen.

Menariknya, hasil survei tersebut justru bertolak belakang dengan temuan lembaga survei Alvara Research Center yang menyebutkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi hanya mencapai 69,4 persen, atau terjadi penurunan dibandingkan survei mereka pada Januari 2015 yang menyentuh angka 77,2 persen.

Dua survei tersebut sebenarnya menunjukkan angka yang tidak berselisih jauh. Namun, konteks presentasi hasil survei dengan cara yang berbeda – yang satu menyebut ada kenaikan, sementara yang lain menyebut ada penurunan – membuat dua survei tersebut mendapatkan pemaknaan yang berbeda.

Tidak hanya itu, menurut CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, untuk pertama kalinya sejak 2018, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi berada di bawah angka 70 persen.

Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari temuan kontras kedua lembaga survei tersebut?

Penuh Isu Miring, Hasil Survei Ganjil?

Konteks tingginya tingkat kepuasaan masyarakat tersebut tidak hanya menjadi semacam deretan angka semata, melainkan, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, itu adalah bagaimana masyarakat menganggap pemerintah dapat diandalkan, cepat tanggap dan adil, serta mampu melindungi masyarakat dari risiko-risiko dan memberikan pelayanan publik secara efektif.

Mengacu pada hal tersebut, dapat dipahami bahwa tingginya tingkat kepuasaan akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Konteks kepercayaan tersebut terbilang vital karena memiliki implikasi politik yang tinggi. Dalam tulisan yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) disebutkan bahwa kepercayaan masyarakat adalah salah satu hal yang paling penting, di mana legitimasi dan keberlanjutan sistem politik dibangun.

Hal tersebut terjadi karena kepercayaan masyarakat dapat membentuk kohesi sosial, sehingga memungkinkan pemerintah untuk memerintah masyarakat tanpa melalui paksaan.

Singkat kata, kepercayaan yang dimiliki pemerintah adalah cara yang efisien untuk menurunkan biaya transaksi dalam hubungan sosial, ekonomi dan politik.

Imbasnya, mestilah pemerintah terkait melakukan berbagai cara untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan. Akan tetapi, bagaimana jika kepercayaan tersebut didapatkan tidak dengan benar-benar memuaskan masyarakat (de facto), melainkan dengan cara melakukan penggiringan opini, misalnya melalui lembaga survei?

Konteks tersebut misalnya disoroti oleh sejarawan dan kritikus Amerika Serikat (AS), Arthur Schlesinger Jr. yang menyebut bahwa keberadaan lembaga survei justru melahirkan profesi baru yang disebutnya sebagai electronic manipulators.

Itu karena lembaga survei memiliki kapabilitas untuk memanipulasi opini publik dengan hasil survei yang dimilikinya. Pada level tertentu, disebut pula memang terdapat upaya dari lembaga survei terkait untuk melakukan manipulasi opini.

Simpulan tersebut agaknya menarik diperhitungkan menimbang pada adanya hasil survei yang kontras dengan temuan Indo Barometer.

Apalagi, dengan adanya berbagai isu miring yang menggentayangi awal pemerintahan Presiden Jokowi, seperti revisi UU KPK, RKUHP, isu Natuna, isu radikalisme, kasus Jiwasraya yang disebut-sebut memiliki kaitan dengan Pilpres 2019, stagnasi pertumbuhan ekonomi, sampai pada kasus suap yang melibatkan KPU dan PDIP – agaknya sulit untuk membayangkan bagaimana bisa terjadi peningkatan tingkat kepuasan masyarakat.

Terlebih lagi, sebelum dilantiknya Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, berbagai lembaga survei seperti Parameter Politik, Lembaga Survei Indonesia (LSI), hingga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas memaparkan temuan yang menunjukkan terdapat penurunan kepuasaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi.

Konteks kompaknya temuan tersebut menjadi semakin menarik karena Kompas yang selama ini cenderung mengkritik pemerintah secara halus, tiba-tiba memuat perbandingan tingkat kepercayaan masyarakat antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Jokowi pada 19 Oktober 2019 lalu, atau sehari sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Perbandingannya pun signifikan karena Presiden SBY mendapatkan angka sebesar 75 persen, sementara Presiden Jokowi hanya sebesar 58,8 persen.

Dengan kata lain, melihat berbagai variabel yang ada, seperti pemerintah yang tengah diterjang oleh gelombang isu miring.

Lalu adanya hasil survei yang justru menunjukkan penurunan tingkat kepuasan terhadap Presiden Jokowi, nampaknya itu terpaksa membuat kita harus menyimpulkan bahwa hasil survei yang menyebutkan adanya peningkatan kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi sepertinya sukar untuk dipahami.

Konteksnya bukan pada bagaimana pendekatan ilmiah yang digunakan di dalamnya, tetapi bagaimana bahasa yang digunakan untuk menjelaskan hasil survei tersebut.

Lembaga Survei dan Politik

Marcus Mietzner dalam tulisannya Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation? memaparkan hal menarik yang mungkin dapat membantu kita memahami persoalan terkait lembaga survei tersebut.

Menurut Mietzner, sejak masa kampanye Pemilu 2004, telah dilahirkan “jenis baru” lembaga survei politik karena tenaga pendorong utamanya tidak lagi kuriositas atau keingintahuan akademik, melainkan juga memiliki motif komersial, di mana lembaga survei tidak keberatan untuk ikut dalam mengorganisir kampanye bagi parpol dan kontestan Pemilu.

Contoh paling gamblang dalam membuktikan simpulan Mietzner tersebut adalah adanya pengakuan  Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang menyebutkan pihaknya menjadi konsultan politik Partai Golkar di Pemilu 2014.

Tidak hanya Golkar, Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby bahkan mengungkapkan bahwa pihaknya juga mempunyai sejumlah klien lain untuk Pemilu 2014.

Lalu ada pula pengakuan dari Pemilik LSI, Denny JA sendiri yang menyebutkan dirinya telah menjadi konsultan politik yang memenangkan presiden tiga kali berturut-turut pada 15 Januari 2020 lalu.

Namun, apakah Indo Barometer memiliki motif komersial seperti LSI atau tidak, itu tentunya tidak diketahui secara pasti.

Akan tetapi, satu hal yang jelas, temuan lembaga survei yang dinahkodai oleh Muhammad Qodari tersebut dapat menciptakan efek bahwa penurunan kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi nampaknya tidak benar terjadi. Itulah kekuatan bahasa. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...