HomeNalar PolitikMenebak Akhir Skandal Jiwasraya

Menebak Akhir Skandal Jiwasraya

Di luar besarnya perkiraan kerugian dalam kasus Jiwasraya, terdapat suatu masalah yang tidak kalah pentingnya, yakni bagaimana pemerintah selaku pemilik usaha menjawab perihal nasib ribuan nasabah yang mungkin tengah putus asa saat ini?


PinterPolitik.com

Akhir-akhir ini publik tengah digemparkan dengan munculnya sebuah skandal yang melibatkan perusahaan asuransi pelat merah, bernama Jiwasraya. Betapa tidak, total kerugian dalam skandal tersebut diperkirakan mencapai Rp 13,7 triliun, yang mana nilai ini hampir dua kali lipatnya dari total kerugian dalam kasus Bank Century yang disebut mencapai Rp 7,4 triliun.

Seliweran kabar turut membuntuti laju kasus ini menimbang pada besarnya nilai kerugian tersebut. Mulai dari keterangan ekonomi, dugaan korupsi pimpinan direksi perusahaan, sampai pada dugaan pelibatan simpul-simpul kekuasaan di pemerintahan.

Selaku kasus dengan kerugian besar, tidak ayal Jiwasraya menjadi arena yang begitu tepat bagi berbagai pihak untuk menyampaikan pandangannya. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu misalnya, ia menuturkan bahwa dengan kasus Jiwasraya yang terjadi di puncak Pemilu 2019 dan dekatnya mantan salah satu pimpinan direksi dengan simpul kekuasaan, mungkin akan membuat kasus ini sulit untuk dibongkar dengan tuntas.

Pandangan penuh curiga juga turut diungkapkan oleh Arief Poyuono. Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Gerindra ini bahkan menilai kegagalan Jiwasraya dalam membayar polis karena terdapat kerja sama antar pimpinan perusahaan untuk melakukan investasi fiktif yang diperuntukkan untuk membobol dana masyarakat.

Kecurigaan Arief ini semakin kuat dengan kurang berperannya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi ataupun memperingatkan Jiwasraya terkait defisit keuangan dan mengenai aktivitas perdagangan sahamnya di pasar modal.

Kecurigaan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Arief, melainkan juga oleh Asmawi, Direktur Utama Jiwasraya yang menggantikan Hendrisman Rahim. Pada Mei 2018 lalu, Asmawi telah melaporkan ketidakberesan laporan keuangan 2017 kepada Kementerian BUMN.

Hasilnya, setelah dilakukan audit ulang, laba perusahaan yang disebut mencapai Rp 2,4 triliun pada 2017 ternyata hanya mencapai Rp 360 miliar. Untuk laporan keuangan 2018 sendiri, hingga saat ini  belum selesai diaudit.

Di luar persoalan adu narasi yang berseliweran terkait ada apa di balik kasus Jiwasraya, persoalan pelik yang tidak kalah pentingnya justru tidak begitu diperhatikan oleh banyak pihak.

Persoalan tersebut adalah bagaimana nasib para nasabah perusahaan asuransi pelat merah ini?

Jiwasraya Tidak akan di-bail out?

Dengan jumlah nasabah JS Saving Plan sebanyak 17.000 orang, termasuk 474 nasabah asing asal Korea Selatan tentu saja membuat pemerintah selaku pemilik perusahan begitu kebingungan menjawab nasib belasan ribu nasabah tersebut.

Jalan pintas atas hal tersebut tentunya adalah bail out atau pemerintahan segera menyuntikkan dana kepada Jiwasraya untuk membayar polis. Akan tetapi, harapan tersebut sepertinya begitu jauh untuk dirasakan. Pasalnya, Direktur Utama Jiwasraya saat ini, Hexana Tri Sasongko menyebutkan opsi bail out bukanlah prioritas dalam menyelesaikan masalah ini.

Walau getir, pernyataan tersebut sepertinya benar. Pasalnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatawarta telah menuturkan bahwa pemerintah tidak memiliki anggaran untuk melakukan bail out pada 2020. Ia pun tidak menjawab terkait kemungkinan bail out pada 2021.

Muhammad Ikhsan Burhanuddin dalam tulisannya di Republik Investor, memberikan penjelasan menarik terkait mengapa pemerintah tidak segera melakukan bail out terhadap Jiwasraya kendati terdapat belasan ribu nasabah yang mengalami kerugian.

Menurutnya, hal tersebut karena kerugian ekonomi yang diakibatkan dalam kasus Jiwasraya tidak berdampak sistemik terhadap sistem keuangan Indonesia. Pasalnya, sistem keuangan Indonesia masih didominasi oleh perbankan dan bukan oleh perusahaan asuransi.

Merujuk pada Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2019 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total aset bank umum di Indonesia mencapai Rp 8.318,28 triliun. Sedangkan, total aset industri asuransi di Indonesia pada periode Oktober 2019 hanya mencapai Rp 733,57 triliun.

Ini kemudian menjawab perihal mengapa pada 2008 lalu, Sri Mulyani melakukan bail out kepada Bank Century karena dianggap dapat memberikan dampak sistemik terhadap perekonomian nasional kala itu.

Pemenuhan Hak Warga Negara

Dengan adanya argumentasi rasional perihal mengapa Jiwasraya tidak akan di-bail out, seperti tidak terdapatnya dana ataupun dampak ekonominya tidak sistemik, sepertinya harus membuat para nasabah untuk mulai menerima kenyataan terkait tidak jelasan nasib uang mereka.

Berdasarkan hal tersebut, maka tanggung jawab dalam memenuhi hak warga negaranya menjadi dipertanyakan. Padahal,  negara jelas harus melindungi hak-hak warga negara, seperti hak milik pribadi.

Atas hal ini, pandangan John Locke menjadi relevan. Baginya, negara hadir sebagai konsekuensi atas kebutuhan warga negara untuk melindungi hak-hak dasarnya. Pandangan yang lebih radikal, datang dari seorang libertarian, Robert Nozick dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia. Mengacu pada Nozick, pandangan-pandangan makro ekonomi terkait alasan tidak di-bail out-nya Jiwasraya benar-benar berkontradiksi dengan konsep kepemilikan pribadi atau self-ownership.

Maksudnya adalah, alasan seperti tidak adanya dana ataupun tidak memberikan dampak ekonomi secara sistemik, merupakan alasan yang memperhitungkan dampak bagi orang lain atau orang banyak.

Jika bail out dilakukan, mestilah pemerintah harus mengambil dananya dari anggaran lain, ini prinsip trade off. Artinya, dalam kasus tersebut, pemerintah harus mengorbankan kepentingan orang lain.

Akan tetapi, argumentasi semacam ini justru dipandang sinis oleh Nozick. Baginya, negara tidak memiliki hak untuk mengambil properti warga negara – dalam konteks ini adalah uang para nasabah – dengan dalih kebaikan sosial semacam itu. Bagaimana pun juga, para nasabah tidak memiliki tanggung semacam itu untuk memberikan ataupun merelakan uangnya dialokasikan untuk urusan lain.

Holding BUMN Asuransi Jadi Jawaban?

Kendati tidak akan melakukan bail out, hal ini tidak lantas menunjukkan bahwa pemerintah telah mengabaikan hak para nasabah Jiwasraya. Pasalnya, pemerintah tengah merencanakan untuk membuat holding BUMN asuransi demi memberikan kepastian terkait pengembalian dana para nasabah.

Holding sendiri adalah perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan lain yang berada dalam satu grup perusahaan. Perusahaan induk ini akan berperan sebagai pemegang saham dalam beberapa perusahaan anak dengan tujuan agar kinerja perusahaan meningkat dan memungkinkan terciptanya nilai pasar perusahaan.

Dengan demikian, holding BUMN asuransi adalah pelibatan atau bergabungnya beberapa perusahan asuransi yang nantinya akan di bawahi oleh satu perusahaan induk.

Terkait perusahaan induk ini sendiri, memang masih menjadi perdebatan, menimbang belum pastinya penunjukan Jasa Raharja. Akan tetapi, sampai saat ini dilaporkan telah terdapat enam perusahaan asuransi, dua perusahaan reasuransi, dan satu perusahaan umum (perum) yang akan terlibat atau bergabung.

Menggabungkan aset kesembilan perusahaan tersebut dengan Jiwasraya, maka total dana aset yang dapat dihimpun dapat mencapai Rp 119,95 triliun, yang mana ini disebut dapat meringankan beban Jiwasraya dalam membayar polis.

Merujuk pada keterangan Menteri BUMN, Erick Thohir, jika nasabah dapat dibujuk untuk menunda pelunasan polis mereka, laba kesembilan perusahaan yang mencapai Rp 3,66 triliun pada periode 2018 dapat digunakan untuk mencicil pembayaran polis.

Pada akhirnya, para nasabah Jiwasraya mungkin dapat berharap lebih terhadap holding BUMN asuransi yang akan dibentuk oleh pemerintah. Tidak hanya itu, pembentukan holding BUMN tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mengangkat tangan atas kewajibannya terhadap warga negara. Kita tunggu saja apakah holding BUMN asuransi tersebut dapat menjadi jawaban atas masalah Jiwasraya atau tidak. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...