Permainan isu menyamakan Indonesia setara Rwanda dan Haiti lebih menyedot perhatian publik dibandingkan isu penting lainnya. Politik Mendistraksi ala Prabowo semacam ini kerap kali membuat petahana reaktif
PinterPolitik.com
[dropcap]C[/dropcap]alon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, kembali membuat ulah. Setelah serentetan pernyataan kontroversial mengenai Indonesia bubar, tampang boyolali, hingga Indonesia kini Ketua Umum Partai Gerindra itu menyamakan kondisi Indonesia dengan Negara-negara miskin Afrika layaknya Rwanda.
Prabowo kala itu tengah berbicara soal setengah pendapatan bangsa Indonesia saat berpidato di gedung Majelis Tafsir Al Quran (MTA) Solo pada hari Minggu, 23 Desember 2018.
Ia berpendapat bahwa penghasilan rata-rata rakyat Indonesia ialah US$ 1.900, kurang dari Rp 30.000 per hari atau kurang dari Rp 1 juta dalam satu bulan sebagai singgungan terhadap pemerintah yang dianggap melakukan kebijakan ekonomi yang salah.
Prabowo, The Great Distractor? Share on XPernyataan mantan Komandan Jenderal Koppasus itu langsung menuai banyak cibiran, utamanya dari kubu petahana.
Secara khusus, Prabowo yang menyebut bahwa Haiti ada di benua Afrika sempat mengegerkan warga net. Sekjen PPP Arsul Sani bahkan meledeknya bahwa ia sudah lupa dengan pelajaran geografinya, bahwa Haiti itu ada di benua Amerika, bukan Afrika dan mengolok-oloknya dengan lelucon ‘haiti-haiti’ di jalan jangan nyasar ke Afrika.
Arsul meminta Prabowo tak menghina negaranya sendiri hanya demi kepentingan Pilpres 2019. Begitu juga respons Cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin yang tidak setuju dengan pernyataan Prabowo tersebut.
Terang saja hal tersebut langsung direspons oleh kubu petahana. Seperti dilansir Tempo, menurut Ma’ruf Amin pertumbuhan ekonomi Indoneisa sudah bisa bersaing dengan Tiongkok dan India. Ia juga menyebut bahwa Indonesia sudah melakukan pemerataan melalui infrastruktur dan fasilitas. Selain itu, menurutnya jumlah kemiskinan sudah berkurang signifikan.
Tak hanya itu, Ma’ruf juga mengingatkan agar Prabowo tak menakut-nakuti masyarakat dengan pernyataannya tersebut.
Prabowo memang terkesan sering mencari perhatian di hadapan media maupun publik dengan pernyataan-peryataan yang nyeleneh.
Dalam konteks menjelang Pilpres, segala tingkah laku politisi kerap menyimpan makna secara politis. Lalu permainan semacam apa yang sebenarnya sedang dimainkan Prabowo ?
Bermain Isu
Dalam konteks pidatonya tentang menyamakan Indonesia dengan negara-negara miskin di Afrika, Ian Wilson, akademisi politik asal Australia mencuitkan sebuah peringatan tentang adanya political point-scoring menanggapi aksi Prabowo dalam pidatonya tersebut. Politik macam apa itu?
Despite its apparent economic advantage Indonesia is equal to Rwanda (36.7%) and well above Haiti (21.9%) when it comes to the prevalence of childhood stunting, currently 36.4% (WHO database). Let's hope such shameful facts wont be glossed in the game of political point-scoring https://t.co/xSNKwZ7wmw
— Ian Wilson (@iwilson69) December 26, 2018
Political point-scoring adalah kecenderungan menyerang dalam politik dengan isu-isu yang tidak substansial namun justru berdampak menimbulkan atensi secara luas dan menyebabkan hilangnya isu-isu penting dari peredaran pemberitaan media.
Politik semacam ini biasanya menempatkan seorang kandidat sebagai sosok yang lebih baik dalam menangani sebuah isu atau permasalahan dibandingkan dengan lawan politiknya.
Strategi politik semacam ini umum digunakan oleh para politisi. Kevin Rudd, menjelang pemilu Australia pada 2007 lebih memilih untuk memainkan isu yang lebih mudah untuk diolah dan dijadikan senjata politik dibanding dengan mengurusi isu yang lebih substansial. Ia mengabaikan musuh aslinya, kekosongan kebijakan menyangkut isu perubahan iklim.
Langkah Rudd pada akhirnya dicontoh oleh beberapa politisi lain seperti Julia Gillard, Tony Abbott dan Malcolm Turnbull dengan menggunakan political point-scoring untuk menghancurkan lawan-lawan politik mereka.
Pola serupa juga dipraktikkan oleh Prabowo dengan meng-highlight posisi Indonesia yang masih berada di level negara miskin secara ekonomi dan menyamakan dengan negara yang secara realitas ekonomi memang tak bisa dibandingkan dengan Indonesia.
Dalam konteks political point-scoring, Prabowo terlihat berusaha mengangkat isu ekonomi namun menggunakan pendekatan menyerang dan memposisikan dirinya lebih baik dalam menangani isu ini dibandingkan petahana.
Namun sebenarnya isu ekonomi tersebut hanya berhenti pada retorika tanpa benar-benar menyasar bagian mana kebijakan ekonomi yang salah dan yang harus dibenahi.
Tingkah polah Prabowo kemudian memang kerap kali menimbulkan distraksi dalam konteks isu-isu politik menjelang Pilpres 2019. Mungkinkah ia memang tengah melakukan political distraction?
Prabowo, The Great Distractor?
Political distraction sempat dipraktekkan oleh presiden kontroversial Amerika Serikat, Donald Trump. Seperti yang dikutip The New York Times, Trump berhasil menciptakan apa yang disebut The Trump Trap. Jebakan jenis ini seringkali memaksa lawan politik terbawa arus permainan.
Dalam konteks politik di AS, menjelang Pilpres 2016, cara tersebut yang konsisten digunakan oleh Trump dalam menarik atensi publik.
Dengan gaya kontroversialnya, misalnya saat Trump melontarkan penghinaan rasis di LeBron James, dan menyebut pers sebagai musuh rakyat berhasil mendistraksi perhatian publik tentang rencana rahasia pemerintah untuk memberikan keringanan pajak besar kepada investor Wall Street.
Prabowo mau ucapin natal, mau ikut misa Natal, mau joget2 saat syukuran natal, gak masalah, bebas2 saja, tapi coba itu pendukungnya yg suka kafir2in & murtad2in yg ngucapin Natal ditertibkan. Ini makin nyata radikalisme agama cuma dijadikan alat politik.
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) December 26, 2018
Robby Mook, anggota tim kampanye Hillary Clinton bahkan mengakui bahwa Trump telah berhasil menciptakan jebakan distraksi kepada lawan politiknya. Trump berhasil mencitrakan diri sebagai sosok yang kontroversial dengan berbagai komentar dan serangan di media massa dan kemudian membuat lawan politiknya sibuk untuk mengomentari atau mencibirnya, tapi justru kehilangan fokus terhadap tujuan-tujuan kampanye.
Hal ini berakibat fatal ketika dalam kegiatan kampanye, ketika Hillary Clinton sedang melakukan perjalanan kampanye di Pennsylvania Barat dan Ohio Timur, berbicara tentang rencananya untuk menciptakan lapangan kerja melalui investasi baru dalam infrastruktur dan manufaktur, orang-orang ternyata lebih mendengar pesan kontroversial Trump dibanding rencana-rencana strategis Hillary.
Dalam konteks politik di Indonesia, nampaknya Prabowo juga sedang menciptakan jebakan distraksi sedemikian rupa. Jika ditarik benang merah, ia memang sosok yang lebih kontroversial. Seringkali pernyataan-pernyataan dan tingkah lakunya keluar dari substansi-substansi persoalan yang sedang dihadapi.
Yang terbaru misalnya saja menyoal Indonesia akan punah, politik tampang Boyolali, ia yang memerangi media yang tak memberitakan reuni 212, hingga yang terbaru soal menyamakan Indonesia dengan negara-negara miskin Afrika dan berjoget dalam acara perayaan Natal keluarganya yang ramai dibahas.
Jika memang tujuannya adalah menciptakan the great distraction, lalu mungkinkah selama ini petahana terjebak?
Jokowi Kerap Terjebak?
Jika mengamati sikap petahana dalam merespon kubu oposisi, sering kali memang petahana terlihat lebih terbawa oleh permainan kubu oposisi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago di mana Jokowi dinilai terjebak pada politik reaktif yang dimulai dari pernyataan kontroversial Prabowo, salah satunya adalah respons terhadap tampang Boyolali yang sempat di lontarkan Prabowo beberapa waktu lalu.
Jokowi justru langsung menanggapinya dengan diksi-diksi negatif seperti politik genderuwo maupun sontoloyo yang sangat mengindikasi bahwa petahana terlalu merespons pernyataan kontroversial yang di sebar oleh oposisi.
Kami ingatkan, Jokowi akan kalah jika terus menerus didikte oleh irama permainan lawan begini.
Harus segera menentukan sikap yg jelas dan memimpin irama. Jangan reaktif terus menerus.
— #99 (@PartaiSocmed) December 26, 2018
Respon tersebut justru berpotensi merugikan petahana dan memantik polemik karena sangat bertolak belakang dengan karakter Jokowi yang selama ini dikenal kalem, tenang, santun dan tidak nyinyir pada saat menjelang Pilpres 2014.
Kubu petahana nampaknya juga terjebak ketika mempermasalahkan keikutsertaan Prabowo dalam perayaan Natal yang menunjukkan ketua umum Partai Gerindra tersebut berjoget ditengah acara. Momen ini akhirnya membuat kubu petahana terpancing untuk rajin menyerang dan merundung Prabowo.
Hal ini diungkap juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Andre Rosiade, yang menyebut petahana menerapkan strategi yang menyerang pribadi Prabowo.
Banyak pengamat sebenarnya telah memperingatkan calon petahana agar tidak terjebak pada politik reaktif dan masuk ke hal-hal yang lebih substantif.
Jika memang demikian, maka petahana kemungkinan mendapati kondisi dilematis di mana strategi distraksi ala Prabowo berhasil memicu perhatian yang cukup luas termasuk dari kubu mereka sendiri.
Pada akhirnya, tiga bulan menjelang Pilpres 2019, sebaiknya petahana segera menemukan strategi yang efektif untuk memaksimalkan performa dan tidak terjebak permainan lawan jika tak ingin gagal untuk periode kedua. (M39)