Site icon PinterPolitik.com

Mendagri, Diskresi dan Korupsi

Mendagri, Diskresi dan Korupsi

Istimewa

Maraknya kasus suap dan korupsi di berbagai daerah, membuat efektivitas sistem otonomi daerah kembali dipertanyakan.


PinterPolitik.com

“Korupsi merupakan kekuasaan ditambah monopoli dan tak adanya transparansi.” ~ Anonymous

[dropcap]K[/dropcap]PK kembali beraksi, kali ini tak tanggung-tanggung karena lembaga itu menetapkan 41 dari 45 anggota DPRD Malang sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait anggaran APBD-Perubahan Malang tahun 2015. Suap ini diberikan oleh Wali Kota non aktif Moch Anton melalui mantan Kadis PU dan Pengawasan Bangunan, Jaroy Edy Sulistiyono yang juga telah berstatus tersangka.

Penetapan status tersangka pada 41 anggota dewan ini, otomatis hanya menyisakan empat orang saja di kursi parlemen Kota Malang. Akibatnya, legislatif daerah tak mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya karena tidak mencapai jumlah kuorum. Kondisi ini sendiri tak hanya merugikan legislatif, tapi juga pemerintah daerah.

Padahal, DPRD Malang sendiri memiliki sejumlah agenda di akhir tahun yang harus disahkan segera. Selain pembahasan APBD-Perubahan 2018 dan perencanaan anggaran sementara untuk periode 2019, DPRD juga harus melantik Wali Kota terpilih, Sutiaji – mantan wakil wali kota Malang yang kini juga menjabat sebagai Plt Wali Kota Malang.

Demi menghindari terjadinya kekosongan pemerintahan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memutuskan untuk melakukan diskresi agar agenda penting tersebut dapat tetap berjalan dan pelayanan publik Pemkot Malang tidak terhambat. Kewenangan ini sendiri, tercantum dalam UU Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Diskresi yang memberi kewenangan bagi pejabat publik untuk bertindak berdasarkan inisiatif dengan melakukan tindakan yang tidak diatur UU ini sendiri, menurut pakar tata negara dan pengamat dari Universitas Brawijaya Ngesti D. Prasetyo serta Wawan Sobari, hanyalah jalan keluar instan dari kondisi darurat dan berisiko melanggar banyak aturan.

Pernyataan keduanya tersebut diamini peneliti ICW, Donal Fariz, yang melihat kalau korupsi massal disebabkan masih kuatnya sistem elitis dan kurangnya pembekalan manajerial dari parpol bagi para kadernya yang duduk di parlemen daerah. Benarkah apa yang dikatakan oleh para pengamat ini?

Korupsi dan Otonomi Daerah

“Korupsi di setiap pemerintahan biasanya hampir selalu diawali dengan hal-hal yang bersifat prinsip.” ~ Charles de Montesquieu

Berdasarkan data KPK, sejak Januari tahun ini, sudah ada sekitar 15 kepala daerah yang dicokok karena terbukti melakukan korupsi. Jumlah ini belum termasuk kepala daerah yang sudah lebih dulu tertangkap di tahun-tahun sebelumnya, serta anggota DPR, DPRD, maupun DPD yang ikut tercyduk lembaga anti rasuah tersebut.

Banyaknya jumlah kepala daerah dan pejabat publik ini bahkan membuat prihatin Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, sebab korupsi yang terjadi di daerah kebanyakan dilakukan secara berkolaborasi antara pejabat eksekutif dan legislatif. Padahal, legislatif seharusnya menjadi lembaga pengawas pemerintah daerah, bukan malah jadi mitra kongkalikong.

Keprihatian Basaria ini juga dirasakan Donal, menurutnya, maraknya kasus suap dan korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD disebabkan karena sistem elitis masih kuat mengakar, termasuk kurangnya parpol memberi pembekalan manajerial pada kadernya di daerah yang duduk di kursi DPRD.

Sistem elitis dan pendanaan parpol, lanjut Donal, adalah penyebab utama terjadinya korupsi. Banyak kepala daerah maupun DPRD yang menggunakan proyek pemerintah untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Akibatnya, distribusi politik dan ekonomi tidak mengucur secara adil dan merata hingga ke masyarakat bawah.

Fakta ini juga diamini oleh peneliti The Habibie Center, Andrinof A. Chaniago yang mengatakan kalau kasus korupsi yang dilakukan oleh struktur hirarki yang paling tinggi, juga akan merambah ke tingkatan yang lebih rendah. Terutama karena otonomi daerah memberikan peluang bagi pejabat daerah untuk melakukannya.

Pemberlakuan otonomi daerah maupun otonomi khusus, memang telah menjadi diskursus tersendiri dari aktivis anti-korupsi. Sebab kebijakan ini ternyata memberi implikasi yang cukup besar, terutama karena banyaknya aliran dana yang diterima daerah. Seperti yang dikatakan Donal, kurangnya kemampuan manajemen keuangan pada akhirnya memberi keran dan lubang-lubang dalam terjadinya korupsi.

Selain itu, berdasarkan hipotesis Emile Durkheim, kondisi ini juga terjadi akibat adanya transformasi struktural yang menimbulkan kemerosotan moral. Sosiolog modern ini melihat, perubahan sistem pemerintahan yang terjadi secara radikal membuat masyarakat kurang siap dalam menghadapinya.

Dalam hal ini, pemerintah daerah yang selama ini sangat bergantung atau depedensi terhadap pemerintah pusat, akibat sistem yang sentralistik, mengalami perubahan cukup radikal di seluruh dimensi saat diterapkan sistem otonomi daerah. Sayangnya, perubahan itu tidak disertai dengan kemampuan para pejabat publiknya, baik dari segi manajerial hingga struktur pemerintahan.

Diskresi, Jalan Keluar Instan?

“Masyarakat harus sadar kalau mereka dapat mengubah sistem yang korup.” ~ Peter Eigen

Sebagai pihak yang bertanggung jawab pada kelancaran jalannya pemerintahan daerah, Mendagri berdasarkan UU memang memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi demi mencari jalan keluar terbaik bagi lumpuhnya legislatif kota Malang. Apalagi DPRD sendiri masih memiliki tugas yang harus diselesaikan segera.

Dalam hal ini, ada tiga opsi yang ditawarkan Tjahjo, yaitu pengambilan keputusan dengan melibatkan pandangan dan izin dari Gubernur, kebijakan Pemkot yang harus seizin Kemendagri, atau menggunakan aturan yang dibuat wali kota, gubernur, atau bupati yang telah disetujui oleh Kemendagri.

Tentu saja, pelaksanaan diskresi ini hanyalah jalan keluar instan dan sebenarnya tidak menyelesaikan akar permasalahan terjadinya korupsi massal di berbagai daerah. Wawan sendiri sebenarnya lebih setuju apabila 41 anggota DPRD tersebut mengundurkan diri, sehingga bisa langsung diganti kedudukannya.

Namun apakah mengganti kader akan menyelesaikan masalah? Sebab bagaimana pun juga, permasalahan utamanya adalah pada kurangnya kesadaran moral sebagai wakil rakyat dan kemampuan manajerial yang dimiliki. Penggantian kader memang akan membuat legislatif berjalan kembali, begitu juga dengan korupsi massal dapat berulang.

Apalagi bila sistem elitis masih berlaku, di mana parpol menjadi salah satu penyebab mengapa kepala daerah melakukan korupsi. Sebab merujuk pada hasil penelitian Andrinof, korupsi yang dilakukan di tingkat atas (nasional) pada akhirnya juga akan diikuti oleh tingkatan yang lebih rendah, dalam hal ini di pemerintahan daerah.

Fakta ini tentu dapat diterima akal sehat, mengingat di DPR saja, para legislatornya bisa korupsi bancakan, apalagi di daerah. Ini seperti yang pernah dikatakan oleh Cicero dalam analogi “ikan busuk dimulai dari kepalanya”, maka kebusukan di daerah juga sebenarnya merupakan pengaruh dari tingkatan yang lebih tinggi, yaitu legislatif maupun pemerintah pusat.

Kondisi ini, menurut Pierre Bourdieu berdasarkan teori strukturalisme-genetis, dapat dikatakan sebagai fenomena korupsi sistemik. Sebab korupsi sudah masuk ke ranah-ranah struktural di daerah, bahkan hingga tingkat yang terendah dan telah dianggap sebagai bagian dari kultur pemerintahannya.

Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat pada parpol maupun lembaga-lembaga pemerintahan pun, lambat laun semakin menghilang dan menghancurkan legitimasi lembaganya itu sendiri. Tapi apakah kemudian masyarakat harus bersikap apatis dan membiarkan korupsi marak begitu saja?

Menilik dari apa yang dikatakan pendiri Transparansi Internasional, Peter Eigen di atas, rakyat sebenarnya memiliki kekuatan besar untuk mengubah sistem yang korup. Caranya, tentu dengan tidak bersikap apatis serta tidak memilih calon legislator maupun partai politik yang terjerat korupsi di Pemilu Legislatif 2019 nanti.  (R24)

“Masyarakat harus sadar kalau mereka dapat mengubah sistem yang korup.” ~ Peter Eigen Share on X
Exit mobile version