ICW menyebut nama Wahyu Sakti Trenggono dalam sumbangan dana kampanye Jokowi-Ma’ruf yang dicurigai.
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]ndonesia Corruption Watch atau ICW mencium aroma mencurigakan dari sumbangan dana kampanye untuk pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Berdasarkan pemberitaan yang beredar, sumbangan dana kampanye dari pihak ketiga yang terbesar dari pasangan nomor urut 01 ini datang dari dua komunitas pecinta olahraga golf bernama Golfer TBIG dan Golfer TRG.
Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPDSK) pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 seperti yang diterima oleh ICW dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat total dana kampanye Jokowi-Ma’ruf mencapai Rp 55,98 miliar. Sekitar 86 persen dari dana tersebut berasal dari pihak ketiga.
Jika dilihat rinciannya, sumbangan terbesar berasal dari Golfer TBIG, yakni berjumlah Rp 19,74 miliar dengan total 112 transaksi. Sedangkan penyumbang terbesar kedua ialah Golfer TRG dengan total Rp 18,19 miliar dalam satu kali transaksi saja. Total sumbangan dari dua perkumpulan tersebut mencapai Rp 37,93 miliar atau sekitar 67 persen dari total dana kampanye awal Jokowi-Ma’ruf.
Sedangkan sumbangan dari perusahaan bernama PT Lintas Teknologi Indonesia hanya Rp 3,99 miliar dalam dua kali transaksi, sementara sisanya adalah sumbangan perseorangan yang hanya Rp 121,4 juta dalam 129 transaksi.
ICW menyebutkan bahwa ada hal yang mengherankan dari dua nama penyumbang teratas tersebut. Menurut lembaga tersebut, dua kelompok ini bisa jadi merupakan kamuflase dari korporasi penyumbang dana kampanye untuk Jokowi-Ma’ruf.
Dugaan lainnya, dua nama ini digunakan untuk menyamarkan identitas perseorangan penyumbang dana kampanye untuk kubu petahana.
Hal ini tentu berasalan sebab seperti yang diatur oleh KPU, ada batasan terhadap nilai sumbangan dana kampanye dari pihak ketiga. Sumbangan perseorangan dibatasi maksimal Rp 2,5 miliar dan dari kelompok paling banyak Rp 25 miliar.
ICW menduga bahwa kelompok pecinta golf tersebut adalah PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk (TBIG) dan PT Teknologi Riset Global Investama (TRG). Diketahui saham kedua perusahaan itu dimiliki oleh Wahyu Sakti Trenggono Yang saat ini mengisi jabatan sebagai Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf.
Tentu saja hal ini menarik untuk ditelusuri benang merah aliran dana sumbangan kampanye pasangan yang memiliki moto “Bersih, Merakyat, Kerja Nyata” tersebut. Siapa Wahyu Sakti Trenggono dan apakah hal tersebut wajar dalam konteks negara demokrasi?
Usut dana kampanye sampai ke akar. Share on XSiapa Wahyu Trenggono?
Nama Wahyu Sakti Trenggono mungkin terdengar asing bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Ia bukanlah orang yang sering menjadi pemberitaan, baik di media massa maupun media sosial.
Namun, siapa sangka pria yang sering disapa Mas Treng ini merupakan orang yang berhasil dalam dunia bisnis. Namanya juga sering disebut memiliki kedekatan dengan sejumlah elite bisnis dan politik di negeri ini.
Lelaki berkumis ini memiliki bisnis yang cukup besar. Sejak 1988, ketika masih menjadi mahasiswa semester akhir, ia direkrut oleh PT Astra International Tbk. Di bawah perusahaan tersebut, Trenggono mampu berkembang. Setelah bekerja selama sebelas tahun di sana, ia merintis usaha pembangunan menara.
Jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu kemudian merintis bisnis dengan bendera PT Solusindo Kreasi Pratama (SKP) bersama Abdul Satar dan Abdul Erwin. Pada 2010, SKP diambil alih oleh PT Tower Bersama Infrastruktur.
Perusahaan terakhir saat ini dikenal sebagai penyedia infrastruktur menara telekomunikasi terbesar di Indonesia dengan kepemilikian lebih dari 14.000 menara. Sejumlah perusahaan yang menggunakan jasa PT Tower adalah Telkomsel, XL dan Indosat.
Selain itu, ia adalah pendiri perusahaan penanaman investasi, PT Teknologi Riset Global Investama yang didirikan pada tahun 2007.
Selain bidang telekomunikasi, Trenggono juga merambah dunia e-commerce dengan mendirikan JD.ID yang merupakan anak perusahaan asal Tiongkok, JD.com. Jika diakumulasikan, Trenggono memiliki gurita bisnis dalam bidang telekomunikasi, teknologi, properti, media dan e-commerce.
Dia juga tercatat pernah menjadi komisaris di PT Merdeka Copper Gold bersama dengan Garibaldy Thohir, kakak kandung Erick Thohir. Nama terakhir kini menjadi ketua tim sukses Jokowi-Ma’ruf.
Pria yang dikenal juga dengan julukan Raja Menara itu memiliki jejak politik yang cukup mulus. Trenggono memulai karir politiknya saat menjadi bendahara Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2009-2014 saat ketua umum partai itu dijabat oleh Hatta Rajasa.
Meski memiliki kedekatan dengan Hatta – ia satu almamater saat di ITB – namun pada Pilpres 2014, Trenggono tidak mendukung Hatta yang kala itu berpasangan dengan Prabowo Subianto. Justru ia mendukung Jokowi-Jusuf Kalla (JK).
Menurut Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo, Trenggono memang memiliki kedekatan dengan Jokowi dan PDIP. Hal itu ditunjukkan dari dukungannya semenjak Jokowi di Solo, lalu saat menjadi Gubernur DKI, hingga saat ini di Pilpres 2019. Ia juga pernah disebut dicalonkan PDIP untuk menggantikan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Pada Pilpres 2014 lalu, Trenggono masuk tim sukses Jokowi-JK. Saat pasangan ini menang, ia didapuk menjadi pemimpin Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Kantor Transisi Jokowi-JK. Di sana ia memimpin bersama putra kinasih Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Prananda Prabowo.
Bendahara dan Teknik Belah Sumbangan
Berdasarkan fakta di atas, wajar jika akhirnya Trenggono dijadikan Bendahara Umum TKN Jokowi-Ma’ruf. Sebab, salah satu pos penting di tim pemenangan adalah bendahara. Merekalah yang mengatur arus keluar masuk dana yang tentunya tidak sedikit.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin yang mengatakan bahwa posisi bendahara strategis karena mereka juga bertugas mencari donatur yang bersedia memberi dana segar bagi pemenangan paslon. Oleh sebab itu, latar belakang bendahara biasanya adalah seorang pengusaha yang sukses.
Trenggono, bagaimanapun juga memiliki andil dalam tiap pencalonan Jokowi, baik saat berada di Solo, Jakarta, maupun di Pilpres kali ini. Apalagi dirinya memiliki privilege terhadap pemungutan dana kampanye.
Berdasarkan penelitian Richard Briffault di Amerika Serikat (AS) yang tertuang dalam tulisan berjudul Lobbying and Campaign Finance: Separate and Together, peran bendahara dalam mendapatkan dana melimpah tidak bisa dianggap remeh. Di AS, melihat fakta pada laporan Briffault, bendahara semacam ini bisa mengkapitalisasi dana dari berbagai sumber.
Pengumpulan dana itu menyebabkan menjamurnya political action committee (PAC) dan superPAC. Kelompok ini sering juga disebut sebagai pihak ketiga atau outside group yang bisa memberikan dana dari berbagai sumber untuk kepentingan pemenangan kandidat.
Sementara, jika merujuk pada pendapat Ian Vandewalker dalam Shadow Campaign, dari banyaknya dana yang terkumpul itu, ada yang bisa dikategorikan sebagai dark money atau dana gelap. Mereka tidak perlu mengumumkan sumber dana gelap ini atau pun mengumumkan keuntungannya.
Jika merujuk pada pendapat Ian tersebut, tentu hal ini terjadi pula dalam politik di Indonesia. Secara peraturan, capres dan cawapres wajib melaporkan besaran dana kampanye yang mereka gunakan, misalnya lewat LPDSK. Meski demikian, ada celah di mana sumber dana tersebut ditutupi dengan cara pemecahan sumbangan dan penyamaran sumber asli dana kampanye.
Teknik ini umum terjadi pada Pemilu. Sebab, hal itu bertujuan untuk mengakomodasi penyumbang anonim yang ingin melanggar batasan sumbangan dana kampanye. Para konglomerat atau taipan yang memiliki kepentingan tidak akan terlalu sulit untuk menyalurkan dananya jika celah ini dimanfaatkan.
Oleh karenanya, ada peran yang besar terkait posisi dari Wahyu Sakti Trenggono di dalam tubuh TKN Jokowi-Ma’ruf untuk mendapatkan dana yang tidak sedikit.
Memang, sejauh ini belum bisa dipastikan dari mana uang yang disebut dari perkumpulan pecinta golf itu benar-benar berasal. Bisa jadi dana itu berasal dari kantong pribadi Trenggono, melihat ia adalah orang utama di dua perusahaan yang disebut ICW di awal tulisan. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa uang itu berasal dari kantong-kantong konglomerat lainnya.
Atas dasar inilah, ICW meminta agar KPU dan Bawaslu memeriksa aliran dana dari perkumpulan tersebut agar lebih terang benderang. Akankah sumber dana tersebut menjadi jelas dan dipublikasikan kepada publik? Menarik untuk ditunggu. (A37)