Mundurnya Sandiaga Uno meninggalkan bangku kosong wagub DKI Jakarta. Kira-kira, siapa yang paling pantas menggantikannya?
PinterPolitik.com
“Manajemen adalah gerbang perubahan sosial, ekonomi, dan politik, benar-benar perubahan segala arah, menyebar melalui masyarakat.” ~ Robert McNamara
[dropcap]M[/dropcap]anuver mendadak Prabowo Subianto yang menunjuk Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden, tak hanya membuat kaget pendukungnya, tapi juga sebagian besar warga Ibukota. Apalagi secara drastis, pendiri Saratoga ini juga memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 32/2018 dan Undang-Undang Pemilu No 7/2017 terkait tata cara kepala daerah yang ingin jadi capres atau cawapres, dinyatakan kalau gubernur maupun wagub yang ingin maju di Pilpres tidak perlu mengundurkan diri, namun cukup meminta izin cuti dari Presiden.
Pengunduran diri Sandi ini, pada akhirnya memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Dalam sebulan ini, baik partai koalisi pengusung yaitu Gerindra dan PKS, serta DPRD juga harus menentukan sosok yang tepat untuk menjadi wagub, terutama yang mampu seiring sejalan dengan Gubernur Anies.
Berdasarkan UU Pemilu yang baru, mekanisme pemilihan wagub saat ini memang berbeda dengan era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ketika Ahok menggantikan Jokowi duduk sebagai gubernur DKI, ia dapat menentukan wakilnya sendiri. Kini wakil Anies harus diajukan dan dipilih berdasarkan sidang paripurna DPRD.
Walau Gerindra mengaku tidak akan terburu nafsu dalam menentukan siapa yang akan meraih kursi yang ditinggalkan Sandi, namun sudah ada dua nama yang kabarnya mulai dipertimbangkan. Pertama adalah Wakil Ketua DPRD DKI, M. Taufik dari Gerindra, sementara PKS melontarkan nama Mardani Ali Sera.
Namun belakangan, ada juga kabar burung yang mengaitkan permintaan PKS untuk menarik nama Ahmad Heryawan (Aher) dari daftar caleg, dengan kemungkinan dirinya menempati posisi Jakarta dua tersebut. Di media sosial sendiri, terdengar kabar kalau Demokrat juga tertarik mengisi jabatan itu untuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Aturan Baru Penggantian Wagub
“Hasil perubahan politik biasanya menitikberatkan pada harapan koalisi atau yang ditakutkan musuh.” ~ Thomas Huxley
Kosongnya salah satu kursi kepemimpinan DKI Jakarta, bukan yang pertama kali terjadi. Di 2014 lalu, Ahok naik jabatan sebagai gubernur setelah Jokowi berhasil menang di Pilpres. Selama beberapa bulan, kursi wakil gubernur sempat kosong sebelum akhirnya Ahok berhasil merayu Walikota Blitar, Djarot Syaiful Hidayat, menjadi wakilnya.
Jelang Pilpres 2019, Jakarta kembali kehilangan salah satu pemimpinnya. Bedanya yang maju bukanlah Gubernur Anies, namun wakilnya, Sandi. Tak seperti Jokowi yang pergi saat dirinya telah pasti menjadi Presiden, Sandi memilih mengundurkan diri dari tanggung jawabnya bahkan sebelum ajang Pilpres dimulai.
Bukan itu saja perbedaannya, sebagai gubernur, Anies tidak mendapatkan hak untuk memilih sendiri wakilnya, seperti yang dimiliki Ahok dulu. Sebab UU No. 1/2015 dan PP No. 102/2014 tersebut, telah diganti dengan UU baru yaitu Pasal 176 UU No. 10/2016. Perubahan peraturan ini, disampaikan oleh Kapuspen Kemendagri, Bahtiar.
Menurut Bahtiar, dalam UU baru tersebut pemilihan wagub merupakan hak DPRD DKI berdasarkan usulan parpol koalisi. Untuk mengisi kekosongan jabatan wagub, terangnya, saat ini harus dilakukan melalui pemilihan di dalam sidang paripurna DPRD. Selain itu, partai koalisi, yaitu Gerindra dan PKS, memiliki waktu sebulan untuk menentukan pilihan yang akan diajukan.
Kementerian Dalam Negeri @Kemendagri_RI menjelaskan, mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta dilakukan sesuai Pasal 176 Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). https://t.co/7UBdHzTByP
— Sekretariat Kabinet (@setkabgoid) August 13, 2018
Sehingga wajar bila Gerindra maupun PKS, dalam sebulan ini akan mulai sibuk menimbang-nimbang siapa yang akan mereka tawarkan pada DPRD sebagai pengganti Sandi. Di sisi lain, nama yang diajukan juga harus mendapat persetujuan dari seluruh fraksi parpol di DPRD, sebelum mendapat persetujuan Presiden dan dilantik oleh Gubernur.
Dengan aturan baru ini, calon yang akan terpilih nantinya tidak hanya berdasarkan yang terbaik bagi partai koalisi semata, tapi juga oleh seluruh parpol yang memiliki kursi di DPRD. Bila dibandingkan dengan aturan sebelumnya, maka wagub yang akan menggantikan Sandi harus mampu mengakomodasi kepentingan seluruh fraksi yang ada.
Bila dilihat dari komposisi fraksi DPRD periode 2014-2019, walaupun Anies-Sandi menang Pilkada, namun tidak begitu di parlemen daerah. Bahkan nyaris sebagian besar kursinya, dikuasai oleh koalisi pemerintah di mana suara terbanyak berasal dari fraksi PDI Perjuangan yang menempatkan Prasetyo Edi Marsudi sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta.
Kekuasaan DPRD untuk menentukan wagub pengganti, mengingatkan pada mekanisme Pemilu tak langsung. Namun berdasarkan teori kontrak politik Thomas Hobbes, sistem ini dapat mempercepat tercapainya keputusan sebab rakyat telah mendelegasikan suara pada wakilnya, sehingga tidak perlu lagi melibatkan keikutsertaan masyarakat.
Wagub Baru, Harapan Baru
“Orang pesimis mengeluhkan angin. Orang optimis mengharapkan perubahan. Para pemimpin menyesuaikan layarnya.” ~ John Maxwell
Merujuk UU baru, proses pemilihan wagub harus melalui beberapa tahap. Pertama, partai koalisi harus menentukan dua nama yang akan diajukan ke sidang paripurna. Kedua, DPRD harus menentukan salah satu dari dua nama tersebut sebagai wagub terpilih dan disetujui Presiden melalui Kemendagri, sebelum dilantik oleh Gubernur.
Baik Gerindra maupun PKS mengaku tidak mau buru-buru mencari pengganti Sandi, namun salah satu kadernya menyatakan kalau nama Wasekjen PKS Mardani Ali Sera merupakan salah satu yang tengah dipertimbangkan. Di sisi lain, Sandi sendiri sebelumnya berharap agar Ketua DPD Gerindra, M. Taufik yang akan menggantikannya.
Di samping keduanya, nama Aher juga disinyalir dipertimbangkan untuk menggantikan Sandi. Prediksi ini berkembang, setelah nama mantan Gubernur Jawa Barat tersebut dikabarkan ditarik dari daftar calon legislatif secara tiba-tiba. Rumor lainnya bahkan menyatakan, Demokrat pun tak mau ketinggalan dengan mengajukan AHY.
Demokrat memang bukan merupakan partai koalisi Anies-Sandi di Pilkada lalu karena AHY pun ikut maju meski kalah diputaran pertama. Namun tak bisa dipungkiri, kalau kemenangan Anies-Sandi juga tak lain berkat dukungan suara pemilih AHY yang beralih ke pasangan tersebut, sehingga mampu mengalahkan Ahok walau dengan selisih tipis.
Sebagai motor penggerak massa di Pilkada lalu, sangat mungkin PKS akan kembali mengunci Gerindra dengan menyatakan kursi wagub merupakan jatah bagi kadernya. Pertama karena ketika Pilkada DKI lalu, PKS telah merelakan posisinya untuk Anies. Kedua karena di Pilpres nanti, Gerindra juga mendapatkan kursi capres dan cawapres.
Sehingga berdasarkan kemungkinan di atas, tarik menarik bisa jadi akan kembali terjadi antara Gerindra dan PKS. Padahal dari dua nama yang akan disepakati, juga harus kembali bertarung dengan kepentingan fraksi-fraksi di DPRD yang sebagian besarnya merupakan parpol dari koalisi lawan, sehingga belum tentu disetujui dengan mudah.
Selain AHY yang kemungkinan sulit tembus dari perlawanan PKS, nama Mardani juga diperkirakan akan sulit lolos dari persetujuan DPRD. Mengapa? Selain kemungkinan Mardani akan menjadi ketua pemenangan Prabowo, ia juga merupakan penggagas gerakan tagar ganti presiden, sehingga resistensi anggota DPRD dari kubu lawan pada dirinya akan sangat besar.
Berbeda dengan Taufik, selain telah dikenal sebagai wakil ketua DPRD, ia juga diakui Sandi telah memiliki chemistry yang baik dengan Anies. Begitu juga dengan Aher, pengalamannya sebagai gubernur dua periode, akan dengan mudah diterima oleh para legislator di DPRD serta akan sangat membantu Anies dalam mengelola Ibukota.
Siapapun yang akan terpilih nantinya, berdasarkan teori kepemimpinan W.J. Reddin, tentu akan sangat menentukan apakah pemerintahan Ibukota akan efektif atau malah semakin tidak efektif. Hal ini penting mengingat gaya kepemimpinan otokrat Anies selalu mencari jalan keluar permasalahan tercepat, sehingga kerap menimbulkan pro dan kontra.
Sebaliknya, dengan terpilihnya wagub yang mendapat persetujuan DPRD dan Presiden, diharapkan akan mampu mengurangi tekanan warga Jakarta terhadap kinerja Anies. Sehingga merujuk pernyataan penulis AS John Maxwell di atas, semoga saja angin perubahan mampu mengembangkan layar kepemimpinan Anies ke arah yang lebih baik. (R24)