Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia menemui paradoks ketika para politisi perempuan tak sepenuhnya mengakomodir perjuangan kesetaraan gender dan mengakhiri praktek diskriminasi perempuan di Indonesia. Dalam hal ini, politisi perempuan Indonesia harus banyak belajar dari sosok Nancy Pelosi, The Most Powerful Woman In American Politics
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erempuan oh perempuan. Malang nian nasibmu. Di berbagai sudut ruang publik, kehadiranmu kerap kali membuat risih lawan gendermu, laki-laki. Apalagi dalam politik, situasinya lebih kejam terhadapmu.
Sayang sekali, struktur patriarki di Indonesia yang masih sangat kuat, memaksamu harus puas berdikari di ranah domestik. Sekalipun kau di ruang publik, tubuhmu yang dianggap lemah, tak berdaya, membuat apa yang menjadi inisiasimu kerap kali tak dihargai barang sedetik.
Adakah politisi perempuan Indonesia sekuat Nancy Pelosi di Amerika Serikat? Share on XSebentar lagi pesta demokrasi akan berlangsung. Sungguh, Pilpres kali ini tampak tak menjadi momentum untukmu. Sudut pandang-sudut pandang maskulin masih merajai wacana ruang publik. Emak-emak atau apapun istilahnya, harus mau tunduk dijadikan alat menarik simpati pemilih.
Pilpres 2019 yang katanya penuh dengan intrik politik maskulin, sayangnya juga masih membelenggu untuk mengaspirasi kepentingan kaummu.
Apalagi, kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen yang sebelumnya diklam sebagai upaya meningkatkan kesetaraan gender, ternyata tak mampu menjadikan keterwakilan itu selaras dengan realitas dan tak mampu merubah dominasi maskulin yang ada.
Contohnya saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kini hanya menjadi seonggok bualan. Dalam kebijakan publik, proses politik pun akhirnya masih mengalahkan keadilan hukum.
Lantas mau dibawa kemana peran para pengambil kebijakan dan politisi perempuan di tahun politik ini? masihkah kehadiran mereka mampu mendobrak peningkatan kesetaraan gender melalui kebijakan-kebijakan yang tidak ditunggangi oleh kepentingan politik maskulin?
Paradoks Politisi Perempuan Indonesia
Jika dilihat komposisinya, memang ada peningkatan jumlah caleg perempuan dalam Pemilu 2019 dibanding dengan 2014. Di 2014, 2.467 caleg adalah perempuan dari total 6.607 caleg yang akan merebutkan 560 kursi DPR RI atau sekitar 37,67 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019, jumlahnya meningkat menjadi 3.200 dari total 7.985 atau 40,08 persen.
Namun ironisnya, jumlah Anggota Perempuan DPR RI 2014-2019 hanya 97 orang dari total 560 orang. Bahkan angka itu menurun 3 orang dibanding periode sebelumnya yang mencapai 100 orang dari 560 kursi. Inilah yang disebut sebagai paradoks kuota 30%.
Banyak yang mengeluhkan bahwa perempuan dalam surat suara tak ditempatkan di nomor urut “jadi” seperti nomor urut satu. Hal ini membuat keterpilihan mereka menjadi lebih rendah. Perempuan seolah hanya menjadi pelengkap dan penggugur kewajiban kuota saja. Akibatnya, seperti pada jumlah anggota DPR tahun 2014-2019, perempuan yang terpilih tergolong sedikit.
Selain itu, politisi Indonesia punya tantangan berat hari ini. Sudahkah para perempuan politisi ini mengakomodir kepentingan gender?
Aku pengen Indonesia punya lebih banyak politisi perempuan yang vokal, kritis, serupa Rieke Dyah Pitaloka atau Rahayu Saraswati, bukan sesembak Grace Natalie.
— Dwika (@rizkidwika) February 16, 2019
Ini adalah pertanyaan fundamental. Namun sayangnya, politisi perempuan kerap kali terjebak dalam permainan politik yang maskulin utamanya dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Toni Schofield dan Susan Goodwin dalam jurnalnya yang berjudul Gender Politics and Public Policy Making: Prospects for Advancing Gender Equality pernah mengingatkan bahwa masih menguatnya “masculine hegemony” dalam rezim pengambil kebijakan yang menyebabkan terjadinya gender inequality dimana output kebijakan yang dikeluarkan kerap kali merugikan dan tak memberikan ruang bagi perempuan untuk melakukan pembelaan diri.
Sedangkan dalam konteks politik Indonesia, di level partai politik pun banyak partai yang tak memiliki sudut pandang kesetaraan gender tersebut. Meskipun Golkar, NasDem, PDIP, Gerindra, kesemuanya merupakan partai politik yang memiliki organisasi sayap perempuan di partainya, namun tak semua calegnya sadar akan kebutuhan kebijakan yang pro gender.
Mungkin itulah yang menjadi potret paradoks keterwakilan perempuan dalam politik dan kebijakan publik di Indonesia hari ini. Hadirnya politisi perempuan di parlemen ternyata tak sebanding dengan kualitas kesadaran gender dan semangat penegakan hukum yang pro terhadap perempuan.
Belajarlah Dari Nancy Pelosi
Di Amerika Serikat, negeri yang katanya liberal dan menjunjung tinggi kesetaraan gender itu, nyatanya juga masih mempraktikkan diskriminasi terhadap perempuan dalam ranah politik.
Namun semuanya berubah ketika ada sosok Nancy Pelosi, perempuan pertama yang menjabat Ketua House of Representatives AS. Tak hanya itu, kader partai Demokrat ini juga kerap dianggap sebagai perempuan dengan jabatan politik tertinggi dalam sejarah negeri Paman Sam.
Pelosi adalah kunci dari kesuksesan Partai Demokrat dalam mid-term election AS di tahun 2006 yang berhasil menumbangkan dominasi Partai Republik yang selama 12 tahun berkuasa.
Wanita menjadi Caleg bukan pemanis tapi memang perjuangkan Aspirasi Wanita https://t.co/93ts8qPpaq
— D Federico (@Din0F3derico) February 16, 2019
Pelosi yang kala itu dicalonkan sebagai ketua House of Representatives berhasil merebut simpati rakyat Amerika yang kecewa terhadap pemerintahan Presiden George W. Bush.
Dalam konteks kebijakan publik, pengaruhnya juga tak main-main. Pelosi adalah sosok kunci yang mampu meyakinkan Presiden Barack Obama kala itu untuk melanjutkan reformasi kebijakan Healthcare. Selama berbicara pertama kali, dia berperan penting dalam pengesahan banyak RUU penting, termasuk Undang-Undang Perawatan Terjangkau
Ia berhasil mempengaruhi perubahan beberapa hukum seperti menolak pengesahan Constitutional amendment banning flag-burning, hingga Secure Fence Act of 2006 yakni Undang-Undang yang mengizinkan Kongres Amerika Serikat mendanai sebagian pembangunan 700 mil (1.125 km) tembok di perbatasan Meksiko.
Pelosi juga merupakan penentang utama gagasan Perang Irak yang dicanangkan Pemerintahan Bush pada tahun 2005, termasuk juga menentang kebijakan privatisasi Jaminan Sosial. Ia juga menolak sepenuhnya tindakan kriminalisasi terhadap LGBT dan menghargai sepenuhnya hak-hak mereka.
Sebagai politisi perempuan, ia adalah simbol bagaimana perempuan mampu berbuat lebih dalam pengambilan kebijakan publik bahkan mendorong perubahan kebijakan dalam parlemen AS.
Oleh karenanya, harian The Sydney Morning Herald menyebut Pelosi sebagai The Most Powerful Woman In American Politics karena kiprahnya yang begitu kuat dalam politik Amerika. Salah satu indikasinya adalah terpilihnya Pelosi sebagai Speaker of the United States House of Representatives untuk kedua kalinya.
Di samping itu, The Guardian juga pernah menuliskannya sebagai orang yang berpengaruh di balik rekor 102 perempuan yang kini menduduki kongres di era kepemimpinan Trump.
Total 102 keterwakilan perempuan dalam parlemen tersebut bahkan keterwakilan yang memiliki keberagaman paling tinggi dalam sejarah parlemen AS secara ras, dengan sejumlah anggota yang vokal dan siap untuk menghadapi sosok male-chauvinist, presiden Donald Trump.
A year after America’s heart was broken by the horrific act of brutality & violence in Parkland that stole 17 precious lives, we continue to be inspired by the persistence & courage of the survivors and families who have turned their pain into action. #MSDStrong pic.twitter.com/LyEitnLNGU
— Nancy Pelosi (@SpeakerPelosi) February 14, 2019
Hal tersebut dikarenakan Pelosi adalah ahli strategi ulung. Ia adalah politisi perempuan yang tahu persis apa yang dibutuhkan seorang politisi perempuan ketika ingin merebut kemenangan.
Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Siapakah kira-kira politisi perempuan Indonesia sekuat Nancy Pelosi? Apakah Megawatie Sukarnoputri, ataukah Sri Mulyani? Mungkinkah Grace Natalie atau Tsamara Amany? Apa jangan-jangan Khofifah Indar Parawansa?
Sayangnya, tak ada sosok yang begitu kuat sekuat Nancy Pelosi di Indonesia. Dalam konteks pencalonan politik pun, nyatanya afirmasi 30% kuota untuk perempuan tak menjamin kesuksesan keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Bahkan politisi perempuan PDIP, Eva Kusuma Sundari, pun mengakui, kekalahan perempuan terletak pada saat mereka harus tarung bebas saat kampanye dengan politisi laki-laki dalam merebut suara. Realitas tersebut menunjukkan bahwa politisi Indonesia masih belum mampu menaklukkan permainan politik maskulin yang sering kali meminggirkan peran feminin.
Hal ini disebabkan karena dilanggengkannya wacana politik maskulin ke dalam sudut pandang masyarakat sehingga seolah menjadi konstruksi bahwa politik hanya soal urusan laki-laki, dan perempuan tak pantas terlibat di dalamnya.
Pada akhirnya, nampaknya, butuh waktu berjuta purnama untuk memiliki politisi perempuan layaknya Nancy Pelosi di Indonesia. (M39)