Meski sempat ditunda pelantikannya, Jokowi tetap memilih Letjen Doni Monardo sebagai Kepala BNPB.
Pinterpolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]egeri ini seperti tak henti-hentinya dirundung bencana alam. Menjelang tahun 2019, berbagai bencana alam besar seperti gempa Lombok, tsunami Sulawesi Tengah, hingga tsunami Selat Sunda jadi momok menakutkan.
Rangkaian bencana itu perlu ditangani oleh sosok yang benar-benar mampu untuk menghadapi berbagai kondisi bencana. Dalam konteks tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki satu sosok yang dianggap layak memimpin lembaga kebencanaan negeri ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sosok yang dimaksud adalah Doni Monardo, seorang jenderal TNI AD bintang tiga.
Memang, hingga saat ini, pelantikan Doni masih ditunda. Akan tetapi, pemilihan sosok jenderal aktif bukanlah hal yang lazim dilakukan untuk posisi Kepala BNPB. Apalagi, kini wacana untuk menempatkan BNPB di bawah Menkopolhukam seperti hadir untuk mengeksekusi hal tersebut.
Lalu, pertanyaannya kemudian adalah, mengapa posisi Kepala BNPB harus diisi oleh seorang perwira tinggi militer? Secara spesifik, mengapa harus Doni yang mengisi posisi tersebut? Adakah maksud dari pemilihan jenderal kelahiran Cimahi tersebut?
Diisi Militer
Sebenarnya, posisi Kepala BNPB bukanlah jabatan yang asing bagi anggota TNI. Sejak pertama kali berdiri, posisi orang nomor satu di lembaga ini sebenarnya diisi oleh prajurit militer. Posisi ini pertama kali diisi oleh Syamsul Maarif, salah seorang jenderal TNI AD berpangkat mayor jenderal. Setelah itu, posisi itu diisi oleh Laksamana Muda (Purn.) Willem Rampangilei.
Posisi pucuk di lembaga tersebut memang diisi oleh petinggi militer yang telah mencapai ujung karier militernya atau yang telah pensiun. Pada titik ini, Doni bisa saja akan menjadi Kepala BNPB pertama yang belum secara resmi lepas dari dinas kemiliterannya. Secara spesifik, Doni bisa saja akan menjadi Kepala BNPB pertama dengan tiga bintang di pundak karena pejabat sebelumnya hanya memiliki pangkat setingkat bintang dua.
Kalau Jenderal bintang 3 aktif Doni Munardo menjadi ka BNPB, berarti Jenderal aktif boleh menjabat, konsekuensinya TNI AD menambah satu lagi jenderal bintang 3 untuk pengganti Doni Munardo. Babahlieut ya.
— andi arief (@AndiArief__) January 2, 2019
Persoalan kemudian muncul karena peraturan yang ada tidak memberi ruang kepada anggota TNI aktif untuk menjabat sebagai Kepala BNPB. Oleh karena itu, pelantikan Doni terpaksa harus ditunda hingga perkara peraturan ini mencapai titik terang.
Nama Doni sempat terungkap di kalangan para jurnalis bahwa dirinyalah yang akan menggantikan Willem Rampangile sebagai Kepala BNPB. Akan tetapi, pelantikan tersebut tertunda karena presiden memiliki agenda lain. Meski demikian, belakangan terungkap bahwa ada perkara revisi Perpres BNPB yang membuat pelantikan Doni tertunda. Dikabarkan bahwa revisi Perpres ini akan membuat Doni tidak harus pensiun dari dinas militernya saat menjabat orang nomor satu di BNPB.
Pemilihan Ketua BNPB adalah keputusan politik, termasuk pilihan Jokowi yang teranyar Share on XTak hanya itu, revisi ini juga akan mengubah posisi BNPB. Semula, institusi kebencanaan tersebut berada di bawah presiden. Akan tetapi, dalam wacana revisi Perpres, muncul rencana untuk memindahkan posisi lembaga tersebut menjadi di bawah Menkopolhukam.
Terlepas dari berbagai hal tersebut, rekam jejak Doni di keprajuritan sebenarnya tergolong mentereng. Selama bertugas di militer, ia pernah menduduki jabatan penting seperti Danpasmpampres, Danjen Kopassus, Pangdam Tanjungpura, hingga Pangdam Siliwangi. Kini, ia tengah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sesjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas). Oleh karena itu, jika kompetensi jadi acuannya, Doni boleh jadi memiliki kompetensi yang mumpuni.
Unsur Politik
Perlu diakui, bahwa pemilihan Kepala BNPB tergolong ke dalam keputusan politik yang diambil seorang presiden. Orang nomor satu ini berhak memilih Kepala BNPB sesuai dengan spesifikasi yang ia butuhkan. Karena ini adalah keputusan politik, sebagaimana pengisian jabatan lain, kerap kali tidak dapat dilepaskan dari unsur politik.
Dalam militer, lazim dikenal istilah political general atau jenderal politis. Istilah ini digunakan misalnya oleh James McPherson untuk melabeli seorang perwira tinggi militer yang ditempatkan pada posisi tertentu, tidak hanya bertumpu pada kemampuan militernya saja, tetapi juga pada keputusan politik.
Political general ini dapat terjadi karena kebutuhan tertentu, terutama bagi pejabat di atas yang menunjuknya. Pemilihan jenderal tertentu untuk posisi tersebut misalnya dapat dilakukan untuk menarik perhatian faksi atau blok politik tertentu.
Sebenarnya, langkah tersebut tergolong wajar. Hal ini terutama karena pengaruh politik seorang elite militer cukup tinggi. Hanne Birckenback, Christian Wellman, dan Elisabeth Wienemann misalnya menyebutkan bahwa pengaruh militer dan organisasinya mempenetrasi hingga ke kehidupan personal seorang individu.
Hal itu secara spesifik terjadi di Indonesia. Leonard C. Sebastian, Emirza Adi Syailendra, dan Keoni Indrabayu Marzuki mencoba mengungkap mengapa banyak petinggi militer yang ditempatkan oleh pejabat sipil untuk menduduki jabatan non-militer. Mereka menyebutkan bahwa ada pertimbangan politik di balik langkah tersebut.
Praktik ini lazim terjadi baik di pemerintahan nasional maupun lokal. Menurut mereka, langkah itu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan kredibilitas. Para pemimpin sipil ini juga kerap kali mendapatkan kepercayaan diri jika berkooperasi dengan militer untuk mencapai tujuan jangka pendek tertentu.
Keputusan Politik
Pada titik ini, keputusan Jokowi memilih Doni untuk posisi Kepala BNPB boleh jadi memiliki dimensi politik. Bagaimanapun, keputusan untuk memilih mantan Pangdam Siliwangi itu tetap dikategorikan sebagai sebuah keputusan politik.
Melalui pemilihan Doni, bisa saja Jokowi tengah berusaha untuk mengonsolidasikan kekuatannya di hadapan militer. Langkah ini dilakukan misalnya karena dalam laporan Majalah Tempo, sang presiden tidak cukup berpengaruh di keprajuritan, terutama di TNI AD.
Dalam laporan tersebut, digambarkan bahwa masuknya mantan Panglima TNI Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan adalah untuk meredam riak antara Jokowi sebagai presiden dan TNI AD. Hal serupa bisa saja berlaku pada penunjukan Doni sebagai Kepala BNPB.
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pasal 10
(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
membentuk BNPB.
(2) BNPB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen setingkat menteri.— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) January 3, 2019
Penunjukan Doni juga bisa saja diartikan masyarakat sebagai semacam upaya untuk memberi hadiah kepada Doni yang tidak dipilih sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sebagaimana diketahui, posisi itu diisi oleh mantan Pangkostrad Andika Perkasa. Padahal, dari segi senioritas angkatan, Doni merupakan sosok yang lebih senior.
Secara spesifik, Jokowi juga bisa saja tengah menarik perhatian perwira tinggi militer dengan kondisi tertentu. Doni misalnya adalah sosok yang kariernya cukup melesat di era presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana ia menjadi Danpaspampres. Boleh jadi, pemilihan Doni adalah untuk mengonsolidasikan kekuatan dari petinggi militer yang besar di era SBY.
Selain itu, Jokowi juga bisa saja memastikan petinggi militer dengan profil seperti Doni berada di posisi yang dekat dengannya. Apalagi kini, melalui wacana penempatan Kepala BNPB di bawah Menkopolhukam, perwira militer menjadi lebih mudah untuk diberi instruksi.
Kondisi-kondisi tersebut bisa saja menggambarkan bahwa mantan wali kota Solo tersebut tengah memperkuat pengaruhnya di kalangan militer. Hal itu seperti melengkapi langkah-langkah sebelumnya yang telah dilakukan sang presiden dalam mengonsolidasikan kekuatan militer.
Terlepas dari apapun, masih perlu dibuktikan lebih lanjut dimensi politik apa yang ada di balik pemilihan Doni Monardo sebagai Kepala BNPB. Masih ditunggu pula kapan Sesjen Wantannas itu akan benar-benar dilantik sebagai orang nomor satu di BNPB. Yang jelas, munculnya nama Doni sebagai calon Kepala BNPB merupakan sebuah keputusan politik dari sang presiden. (H33)