HomeNalar PolitikMencari "Jalan Ketiga" Ridwan Kamil

Mencari “Jalan Ketiga” Ridwan Kamil

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil telah menyatakan diri untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Strategi apa yang sebenarnya diterapkan oleh RK untuk melangkah dalam menyongsong kontestasi di tahun politik tersebut?


PinterPolitik.com

“Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” – Albert Einstein

Kehidupan selalu menjadi pilihan. Ketika hendak membeli makan siang yang ingin dikonsumsi, misalnya, tidak jarang kita pun harus memilih dengan baik – entah itu dari faktor kesehatan hingga kelezatan.

Tidak hanya soal makanan, apa yang akan kita lakukan, tempat yang akan dituju, hingga moda transportasi juga menjadi pilihan-pilihan yang harus ditentukan dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang, dalam menjalani pilihan itu, kita pun harus menghadapi berbagai tantangan.

Kala memilih sepeda untuk moda transportasi di kota guna menghindari kepadatan lalu lintas, misalnya, kita harus menghabiskan tenaga lebih untuk mengayuh sepeda tersebut. Bahkan, secara tidak sadar, otak kita juga bekerja untuk menyeimbangkan badan agar tidak terjatuh.

Pilihan-pilihan seperti inilah yang juga dihadapi oleh para politisi dalam berpolitik. Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil, misalnya, mengatakan masih menimbang-nimbang kembali partai politik mana yang bakal dipilihnya untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – mengingat mantan Wali Kota Bandung tersebut sudah menyatakan akan terlibat langsung dalam kontestasi lima tahunan itu.

Tentunya, apapun pilihan yang diambil oleh Kang Emil, konsekuensi-konsekuensi lanjutan senantiasa menanti. Namun, hingga kini, Gubernur Jabar itu tampaknya masih berayun dengan bebas.

Dalam kunjungan medianya ke PinterPolitik.com beberapa waktu lalu, Kang Emil menyebut dirinya sebagai politisi tengah. Artinya, Gubernur Jabar tersebut berusaha menempatkan diri untuk tidak condong ke kelompok atau partai politik manapun – entah itu kelompok spektrum politik kiri maupun kanan.

Konteks soal citra politisi tengah yang diambil oleh Kang Emil ini menjadi menarik. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan, mantan Wali Kota Bandung itu terlihat akrab dengan sejumlah partai politik – mulai dari Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB, hingga PKS.

Baca Juga: Ridwan Kamil “Kecanduan” NFT?

Bukan Ahok Tapi Ridwan Kamil

Melihat manuver-manuver politik dari Gubernur Jabar yang disebut-sebut berpotensi besar untuk menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tersebut, sejumlah pertanyaan menarik pun muncul di benak publik. Sebenarnya, strategi politik apa yang tengah dimainkan Kang Emil? Lantas, mengapa Kang Emil berusaha memposisikan diri sebagai politisi tengah?

Politik Tengah dan Jalan Ketiga

Bila berbicara soal politik tengah, sebenarnya tidak hanya Kang Emil saja yang kerap mengambil posisi ini. Sejumlah politisi dan pejabat negara lainnya – baik di dalam negeri maupun luar negeri – juga mengambil posisi tengah dalam menjalankan citra dan kebijakan politik mereka.

Salah satunya adalah mantan Perdana Menteri (PM) Britania Raya (Inggris) Tony Blair. Mantan PM yang kini menjadi salah satu penasihat bagi proyek Ibu Kota Negara (IKN) tersebut mendasarkan pemerintahannya pada nilai-nilai politik tengah (centrism). 

Baca juga :  Bahlil "Keterlaluan", Airlangga Dirindukan?

Jalan politik yang diambil oleh Blair yang menjabat pada tahun 1997 hingga tahun 2007 tersebut kerap disebut dengan istilah “third way” atau “jalan ketiga”. Jalan politik seperti ini diekspresikan dalam sejumlah kebijakan sosial dan ekonominya yang mengedepankan keadilan sosial sekaligus mengakui hierarki sosial yang ada di masyarakat.

Kemunculan “jalan ketiga” yang diusung oleh Anthony Giddens dalam sejumlah karyanya – seperti Beyond Left and Right – ini didasarkan pada upaya untuk menjembatani perbedaan nilai dan prinsip kebijakan antara kelompok politik sayap kiri dan sayap kanan. Dengan begitu, Blair di Britania Raya mampu menjalankan komitmen-komitmen program yang ada di dua kelompok yang berseberangan ini.

Akomodasi dari nilai-nilai politik dari dua sayap politik ini juga pernah dijalankan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an. Kevin W. Fogg dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Socialism of the 1950s menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno menerapkan “jalan ketiga” dalam politik luar negerinya – di tengah persaingan global antara komunisme yang diusung Uni Soviet dan liberalisme yang diusung Amerika Serikat (AS) kala Perang Dingin.

Langkah jalan ketiga dalam politik luar negeri Indonesia ini tertuang dalam doktrinnya yang disebut dengan “bebas dan aktif”. Ini juga terlihat dalam sejumlah organisasi internasional yang diinisiasi dan diikuti Indonesia kala Perang Dingin – seperti Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berujung pada lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB). 

Tidak hanya itu, upaya untuk menciptakan jalan ketiga juga tertuang dalam Pancasila. Dalam lima sila tersebut, terdapat nilai-nilai yang mengakui pentingnya perwujudan keadilan sosial sekaligus prinsip-prinsip teistik.

Baca Juga: Ridwan Kamil “Meresahkan” Warga?

Upaya untuk membangun jalan ketiga ini juga diekspresikan oleh Kang Emil dalam kunjungannya ke PinterPolitik.com. Baginya, jalan politik inilah yang diambilnya sehingga tidak bergantung pada salah satu sayap politik saja.

Terkait pembangunan IKN, misalnya, Kang Emil tidak menafikan adanya pihak asing yang terlibat karena pemerintah Indonesia tidak mungkin bisa mewujudkannya sendiri. Maka dari itu, pemerintah perlu menggandeng mereka dengan cara yang terukur agar senantiasa seimbang.

Bila politik tengah dan jalan ketiga inilah yang diambil oleh Kang Emil, pertanyaan lanjutan pun kemudian muncul. Konsekuensi apa yang muncul dengan jalan politik ini bagi Kang Emil? Mengapa ini menjadi strategi yang krusial bagi Gubernur Jabar tersebut?

Strategi “Bersepeda” ala Kang Emil?

Ada pernyataan menarik yang dilontarkan oleh Kang Emil saat melakukan kunjungan ke PinterPolitik.com. Gubernur Jabar tersebut mengatakan bahwa dirinya menganalogikan politik bak sedang belajar bersepeda – terkadang oleng ke kanan dan terkadang oleng ke kiri.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Namun, semakin ke sini, orang yang telah mengetahui cara bersepeda secara baik akan dengan mudah mengayuh kendaraan roda dua tersebut. Bahkan, bila sudah mahir bersepeda, individu tersebut bisa saja belajar bersepeda motor – kendaraan roda dua yang jauh lebih cepat.

Kedua moda transportasi ini sebenarnya memiliki prinsip yang sama, yakni keseimbangan. Namun, kecepatan lah yang menjadikan dua kendaraan ini berbeda.

Bagi orang yang lebih suka bersepeda motor, kecepatan mungkin dianggap menguntungkan karena bisa menyingkat waktu yang dihabiskan dalam perjalanan. Namun, bagi yang lebih suka mengayuh sepeda biasa, ada hal lain yang bisa dinikmati, yakni pemandangan yang ada di sekitar.

Baca Juga: Ketika Ridwan Kamil Beli Gorengan

Ridwan Kamil Puan Maharani 2024

Faktor kecepatan inilah yang mungkin menjadi penting bagi Kang Emil. Dengan memperhatikan panorama politik yang ada di sekitarnya, Gubernur Jabar tersebut semakin berhati-hati dalam menentukan langkah politiknya.

Kayuhan sepeda Kang Emil yang penuh hati-hati ini menjadi analogi yang tepat bagi seorang politikus yang tidak berasal dari lingkaran elite politik yang telah memiliki modal sosial yang besar dalam berpolitik. Nama lain dari sosok politikus seperti Kang Emil adalah politikus outsider.

Secara tidak sadar, dengan strategi “bersepeda”, Kang Emil juga harus “menyeimbangkan” arah jalan politiknya agar tetap berada di tengah. Ini boleh jadi mengapa mantan Wali Kota Bandung tersebut dapat menjaga posisinya di hadapan banyak partai politik – mulai dari PDIP, Golkar, hingga PKS – meskipun partai-partai tersebut memiliki identifikasi ideologi yang saling berbeda.

Taylor N. Carlson dan Jaime E. Settle dalam tulisan mereka yang berjudul Political Chameleons menyebut upaya semacam ini sebagai upaya untuk menjaga conformity (keselarasan). Dengan menyesuaikan nilai-nilai yang saling berbeda di antara kelompok-kelompok tersebut, Kang Emil bisa saja tetap selaras dengan banyak kelompok dan partai politik.

Terlebih lagi, Gubernur Jabar tersebut sudah memberikan sinyal bahwa dirinya akan maju di Pilpres 2024. Ini menjadi penanda bahwa Kang Emil akan segera mendekati partai-partai politik yang mampu dan berkehendak untuk mengusungnya.

Maka dari itu, strategi “bersepeda” agar tetap berada di tengah ini bisa saja menjadi krusial bagi Kang Emil. Pasalnya, tahun politik 2024 masih terlampau dua tahun lagi sehingga keselarasan dengan banyak kelompok ini perlu dijaga.

Seperti yang disebutkan di awal tulisan, sepeda pun menjadi salah satu pilihan bagi seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Bukan tidak mungkin, keselarasan dan keseimbangan dalam mengayuh sepeda inilah yang penting dalam perjalanan politik Kang Emil. (A43)


Baca Juga: Mungkinkah Ridwan Kamil Pimpin IKN?

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?