Site icon PinterPolitik.com

Mencari Eksepsionalisme Indonesia ala Jokowi

Mencari Eksepsionalisme Indonesia ala Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (tengah) ketika berpidato pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75 pada Agustus 2020. (Foto: Setpres)

Banyak negara menggunakan identitas nasionalnya sebagai eksepsionalisme dalam politik luar negeri yang dijalankannya. Lantas, apakah Indonesia memiliki eksepsionalisme serupa di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“I’m no ordinary woman. My dreams come true” – Daenerys Targaryen, Game of Thrones (2011-2019)

Bagi yang pernah menonton seri Game of Thrones (2011-2019) atau GoT, pasti mengetahui bahwa setiap keluarga bangsawan (house) dan tiap kota memiliki kelebihan masing-masing. Mereka pun menjadikan kelebihan ini sebagai identitas unik yang membedakan mereka satu sama lain.

Keluarga Greyjoy, misalnya, merupakan keluarga bangsawan yang berdiri di atas wilayah kepulauan. Mereka pun dikenal dengan kemampuan maritimnya yang unggul dibandingkan keluarga-keluarga bangsawan lainnya.

Selain Greyjoy, terdapat juga keluarga Targaryen. Keluarga bangsawan ini pun dikenal dengan kemampuan uniknya dalam mengendarai dan memiliki naga yang mampu dikontrol oleh mereka.

Alhasil, kemampuan-kemampuan unik mereka ini pun ditonjolkan kepada satu sama lain. Bukan tidak mungkin, kemampuan-kemampuan unik inilah yang membuat suatu keluarga bangsawan merasa lebih menonjol dibandingkan keluarga-keluarga bangsawan lainnya.

Terkadang, perasaan akan identitas yang menonjol ini turut memengaruhi dinamika politik antarkerajaan di GoT. Bahkan, perasaan itu bisa membuat aktor politik tersebut merasa optimis dan eksepsional.

Apa yang dirasakan oleh keluarga-keluarga bangsawan di GoT tersebut pun bisa dirasakan oleh negara-negara di dunia nyata. Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, disebut-sebut merasa eksepsional dalam memengaruhi hubungan antarnegara di penjuru dunia.

Setidaknya, asumsi perasaan diri yang eksepsional dari Tiongkok ini pernah diungkapkan oleh John J. Mearsheimer – seorang profesor Politik di University of Chicago, Amerika Serikat (AS). Bukan tidak mungkin, eksepsionalisme inilah yang mendasari cara berpikir Tiongkok akan diri mereka sebagai pusat dunia.

Sejalan dengan Mearsheimer, Samir Saran dari Observer Research Foundation menyebutkan akan adanya kerangka tiga M dari eksepsionalisme Tiongkok seperti dilansir dari India Today, yakni identitas Middle Kingdom (Kerajaan Tengah), modern tools of engagement (alat-alat modern untuk bertindak), dan medieval mindset (cara pikir abad pertengahan).

Kerangka tiga M ini disimpulkan oleh Saran sebagai sebuah negara dengan identitas Kerajaan Tengah yang memiliki alat-alat modern tetapi masih memiliki pemikiran medieval seperti penerapan kontrol negara yang kuat.

Dengan tiga M ini pula, Tiongkok akhirnya dinilai merasa spesial dalam menjalankan politik luar negeri dengan negara-negara lain. Sengketa Laut China Selatan (LCS), misalnya, didasarkan pada identitas sejarah kekaisaran yang ada di masa lampau.

Bila akhirnya Tiongkok berhasil bangkit sebagai kekuatan besar di dunia dengan eksepsionalisme yang dibawanya, bagaimana dengan negara-negara lain seperti Indonesia? Mengapa eksepsionalisme bisa jadi penting dalam hubungan antarnegara dan politik luar negeri?

Makna Eksepsionalisme

Eksepsionalisme merupakan sebuah keyakinan bahwa suatu benda, spesies, masyarakat, hingga negara adalah suatu hal yang istimewa (exceptional). Dengan adanya cara berpikir serupa, suatu individu atau kelompok yang merasa istimewa ini bisa bertindak berdasarkan rasa keistimewaan tersebut.

Nicola Nymalm dari Swedish Institute of International Affairs dan Johannes Plagemann dari German Institute of Global and Area Studies dalam tulisan mereka yang berjudul Comparative Exceptionalism menjelaskan bahwa rasa akan adanya keistimewaan (eksepsionalisme) ini dapat memengaruhi dinamika dan kebijakan politik suatu negara – khususnya dalam hal politik luar negeri.

Dalam proses membangun eksepsionalisme suatu negara, proses pembangunan identitas sebagai bangsa pun ikut berperan. Diskursus eksepsionalis ini terbangun untuk membedakan satu negara dengan negara lain – menjadikan identitas mereka unik bila dibandingkan dengan negara-negara lain.

Kehadiran eksepsionalisme seperti ini sejalan dengan perspektif konstruktivisme dalam Hubungan Internasional. Setidaknya, perspektif tersebut menjelaskan bahwa konsep identitas nasional (national identity) turut membangun pemahaman intersubjektif antarnegara – akhirnya menentukan bagaimana hubungan antarnegara berjalan.

Salah satu negara yang dikenal erat dengan eksepsionalismenya adalah Amerika Serikat (AS). Sejak negara federal ini berdiri, negeri Paman Sam ini kerap mempromosikan nilai-nilai kebebasan, seperti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Eksepsionalisme ala AS ini pun tercantum dalam deklarasi kemerdekaannya pada tahun 1776 yang mengandung kata-kata seperti freedommorality, dan betterment of humankind. Bukan tidak mungkin, nilai-nilai inilah yang membangun hegemoni liberal (liberal hegemony) ala AS yang disebutkan oleh Mearsheimer – membuat AS merasa memiliki tugas untuk menyebarkan nilai-nilai itu kepada seluruh negara di dunia.

Selain AS, ada juga Tiongkok yang disebut menganut eksepsionalisme tertentu. Seperti yang pernah dijelaskan oleh Mearsheimer, faktor historis Abad Penghinaan (Century of Humiliation) – ketika kekuatan-kekuatan Barat banyak mencaplok kedaulatan Tiongkok pada 1839-1949 – turut memengaruhi eksepsionalisme negara tersebut.

Nymalm dan Plagemann dalam tulisan sebelumnya juga menyebutkan bahwa eksepsionalisme Tiongkok banyak berpusar pada konsep-konsep seperti Zhongguo (Kerajaan Tengah) dan Tanxia (di bawah kayangan) – membuat negara Tirai Bambu ini merasa spesial dan istimewa seperti sebagai negara yang “dipilih oleh kayangan”.

Tidak hanya Tiongkok, perasaan eksepsional seperti ini juga dimiliki oleh negara-negara lain. Beberapa di antaranya adalah India dan Turki. Nymalm dan Plagemann menyebutkan bahwa India menekankan pada eksepsionalisme moral – melawan dunia yang dipenuhi dengan realpolitik, khususnya pada awal era pasca-kemerdekaan.

Bila India menekankan pada moral exceptionalism, Turki lebih menekankan pada hubungan Islam dengan negara. Sejak runtuhnya Kesultanan Utsmani – atau Ottoman, Turki selalu menekankan pada identitas di mana Islam dan sekularisme dapat hidup bersama.

Bila AS, Tiongkok, India, dan Turki dapat memainkan peran eksepsionalisme dalam diplomasi dan politik luar negeri mereka, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memiliki eksepsionalisme tersendiri di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?

Jokowi Menuju Eksepsional?

Indonesia sebenarnya sudah disebut-sebut memiliki eksepsionalisme tersendiri dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, dalam setiap masa pemerintahan, eksepsionalisme ini tampak diterapkan berbeda-beda.

Dalam masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, Indonesia menempatkan diri sebagai negara yang menerapkan demokrasi dan menekankan pada nilai-nilai HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Indonesia secara aktif mempromosikan HAM di Asia Tenggara dengan menyoroti sejumlah negara lain – seperti Myanmar.

Selain itu, di era SBY, Indonesia juga menerapkan eksepsionalisme yang mirip dengan Turki, yakni mempromosikan identitas Indonesia sebagai negara yang menempatkan Islam dan demokrasi secara bersamaan. Guna menerapkan identitas ini, pemerintah terkadang juga menggandeng sejumlah organisasi Islam moderat dan toleran, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Selain eksepsionalisme di era SBY, Indonesia juga dinilai menerapkan eksepsionalisme berbasis historis kerajaan di masa lalu, yakni Kerajaan Majapahit. Stefan Rother dalam tulisannya yang berjudul Wendt Meets East menjelaskan bahwa sejarah dan identitas Majapahit ini menjadi landasan bagi Indonesia dalam menerapkan politik luar negerinya, khususnya di Association of South East Asian Nations (ASEAN).

Landasan historis ini terlihat dalam era pemerintahan Soeharto. Menurut Rother, Majapahit ini juga membawa culture of cooperation (budaya kerja sama) yang akhirnya dipromosikan oleh Indonesia dalam ASEAN dengan nilai-nilai seperti musyawarah, mufakat, dan prinsip non-interferensi.

Bila Soeharto dan SBY dapat menerapkan eksepsionalisme, lantas, bagaimana dengan pemerintahan Jokowi? Menariknya, Presiden Jokowi sendiri dinilai tidak terlalu memperhatikan politik luar negerinya.

Bahkan, mengacu pada buku Benjamin Bland yang berjudul Man of Contradictions, Jokowi justru lebih menekankan pada pragmatisme dan praktikalitas dalam kebijakan luar negerinya. Alhasil, politik luar negeri Indonesia menjadi lebih berfokus pada pembangunan – khususnya pembangunan domestik.

Selain tidak ada kemauan, keterbatasan kekuatan (power) bisa jadi menghambat Indonesia untuk menerapkan eksepsionalisme layaknya negara-negara kuat lainnya, seperti AS dan Tiongkok. Yuen Foong Khong dalam tulisannya yang berjudul Power as Prestige in World Politics menjelaskan bahwa kekuatan – seperti kekuatan militer – dapat memengaruhi citra (prestige) suatu negara di panggung politik dunia.

Citra inilah yang juga menyusun identitas suatu negara dalam pemahaman politik antarnegara ala konstruktivisme. Bukan tidak mungkin, citra Indonesia menjadi tidak sebanding dengan negara-negara kuat yang dikenal dengan eksepsionalisme mereka, seperti AS dan Tiongkok.

Bila benar kemauan dan hambatan menghantui Indonesia, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi tidak akan memiliki eksepsionalisme ala Indonesia seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Mungkin, Presiden Jokowi perlu belajar dari Daenerys Targaryen seperti kutipan di awal tulisan bagaimana rasa istimewa dan eksepsionalisme mampu membawa ambisi menuju kenyataan. (A43)

Exit mobile version