Fadli Zon menambah deretan sejumlah dukungan politisi kelas kakap tanah air kepada calon Wali Kota Medan yang juga menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution pada kontestasi Pilkada 2020. Apakah makna di balik dukungan para tokoh prominen sampai sejauh ini? Serta akankah cukup untuk membuat Bobby memenangkan pertarungan?
Agenda politik terbesar nasional bertajuk Pilkada 2020 akan segera dilangsungkan. Terdapat 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di mana seluruh kandidat yang akan bertarung sedang gencar mengimplementasikan strategi pemenangan masing-masing.
Namun dari ratusan daerah itu, Kota Medan belakangan menjadi yang paling mendapat sorotan setelah sejumlah nama besar di kancah politik tanah air menyatakan dukungan langsung dan terbuka, atau bahkan bisa dikatakan cukup istimewa kepada Bobby Nasution.
Terbaru, sang bakal calon Wali Kota (cawalkot) yang berpasangan dengan Aulia Rahman itu, mendapat dukungan secara langsung dari Wakil Ketua Umum DPP Gerindra yang juga anggota DPR RI, Fadli Zon.
Tak hanya itu, Fadli juga menyindir Wali Kota petahana Medan yang juga akan menjadi satu-satunya lawan Bobby, Akhyar Nasution. Menurut Fadli, keadaan Paris van Sumatera di bawah kepemimpinan Akhyar semakin parah, walau tak merinci keadaan seperti apa yang dimaksud.
Sebelum Fadli sendiri, tercatat ada nama seperti Fahri Hamzah, Dahnil Anzar Simanjuntak, Sandiaga Uno, hingga Airlangga Hartarto yang secara simbolis seolah memberikan sokongan spesial kepada menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
Dukungan semacam itu memang tampaknya lumrah saja jika berlandaskan korelasi faktor Presiden Jokowi dan komposisi koalisi partai pengusung Bobby-Aulia. Akan tetapi, yang menarik adalah, selain datang dari para tokoh prominen blantika politik nasional, pernyataan dan narasi dukungan tersebut juga seolah mengalir secara gradual atau bertahap.
Lalu pertanyaannya, mengapa pola narasi dan karakteristik dukungan “istimewa” semacam itu dilakukan? Serta apakah deretan dukungan tersebut menasbihkan bahwa Bobby ialah kandidat terkuat di pesta demokrasi Kota Medan 2020?
Lawan yang Terlalu Kuat?
Untuk dapat memahami dan memaknai gelontoran dukungan (political endorsement) secara gradual dari para elite kepada Bobby, tinjauan atas esensi dari dukungan politik itu sendiri agaknya dapat menjadi gerbang yang tepat.
Cheryl Boudreau dalam tulisannya yang berjudul The Persuasion Effects of Political Endorsements mengatakan bahwa political endorsement, termasuk yang datang dari para elite politik, cukup vital untuk sebuah persuasi politik sebagai salah satu upaya untuk meraup suara dalam sebuah persaingan elektoral.
Pada konteks Bobby, persuasi politik yang menjadi produk dari political endorsement dari tokoh prominen seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, bahkan Prabowo Subianto dinilai memiliki urgensi tersendiri jika merefleksikan sosok personalnya secara politik.
Urgensi pertama, Bobby menjadi cawalkot yang tampak memang sama sekali tidak memiliki rekam jejak dalam politik dan pemerintahan, apalagi jika berbicara prestasi. Kedua, menantu Presiden Jokowi juga berhadapan dengan petahana, yakni Akhyar Nasution, yang dinilai jauh lebih mumpuni secara personalitas politiknya dibandingkan Bobby.
Sang petahana sendiri sejauh ini dinilai masih lebih kuat ketimbang penantangnya. Hal itu disiratkan Dosen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Fredik Broven Ginting yang menilai bahwa Akhyar memiliki keunggulan dibandingkan Bobby dalam konteks petahana karena diuntungkan atas akuisisi sumber daya untuk melakukan mobilisasi, praktik-praktik klientilisme, hingga melakukan kampanye-kampanye yang strategis.
Selain itu, menurut Fredik, dalam konteks karakter partai politik (parpol) di Indonesia yang pragmatis, mendukung petahana menjadi prioritas. Dengan kata lain, sangat terbuka kemungkinan koalisi besar pengusung Bobby dapat tunduk dari koalisi Akhyar yang hanya diusung Demokrat dan PKS.
Perspektif dinamika konstelasi parpol di Medan juga tampaknya menjadi variabel penentu, paling tidak dengan berkaca pada Pilgub Sumatera Utara (Sumut) 2018 serta Pileg dan Pilpres 2019 lalu yang sayangnya kurang menguntungkan bagi kubu di mana PDIP eksis di dalamnya.
Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP misalnya, gagal meraup suara maksimal di Kota Medan dan harus takluk dari Edy Rahmayadi, sekaligus menambah pahit kegagalan PDIP secara keseluruhan pada Pilgub 2018.
Pada Pilpres 2019 pun meski menang secara nasional, Jokowi-Ma’ruf yang diusung koalisi pimpinan PDIP harus kalah dari Prabowo-Sandi di Kota Medan. Praktis hanya Pileg 2019 yang bisa sedikit menghibur PDIP dengan kemenangan 10 kursi di DPRD.
Variabel itulah yang dinilai kurang bersahabat bagi karakteristik “gerbong” Bobby di Kota Medan dan pada saat yang sama membuat Akhyar agaknya lebih di atas angin pada Pilkada 2020 mendatang.
Dalam The Thirty-Six Stratagems atau Tiga Puluh Enam Strategi yang merupakan esai klasik Tiongkok, dipaparkan ilustrasi serangkaian strategi yang digunakan dalam politik, perang, hingga interaksi sipil.
Di bagian keempat esai tersebut, yakni mengenai Chaos Stratagems, dijabarkan salah satu stretegi yang digunakan ketika berhadapan dengan musuh yang sangat kuat, yaitu dengan melemahkannya secara bertahap dengan “menyerang” sumber dayanya atau melakukan hal yang tak bisa dilakukannya.
Pada titik ini, political endorsement yang juga terlihat dilakukan secara gradual dari tokoh politik terkemuka bisa jadi tengah mengimplementasikan strategi dalam The Thirty-Six Stratagems tersebut, yang mana privilege tersebut memang tak dimiliki oleh petahana.
Oleh karena itu, kombinasi variabel yang kurang menguntungkan bagi Bobby itulah yang kiranya membuat persuasi politik dengan political endorsement, plus strategi dalam esai klasik Tiongkok tersebut sedang dan akan terus diimplementasikan secara berkala demi melawan sang petahana yang tampaknya terlampau kuat dibandingkan Bobby.
Lalu, apakah dengan latar belakang yang telah dijabarkan tersebut membuat Bobby tak berpeluang banyak di Pilkada 2020 edisi Kota Medan pada Desember nanti?
Peluang Tetap Ada?
Berbagai dukungan dari para elite kepada Bobby tampaknya di sisi yang berbeda justru mengekspos kelemahan sang menantu kepala negara itu sendiri.
Meskipun tak menyampaikannya secara eksplisit, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menyiratkan kecenderungan tersebut, di mana turun gunungnya tokoh nasional dalam Pilkada Kota Medan dianggap menunjukkan betapa berat dan rumitnya Pilkada 2020 bagi seorang Bobby.
Belum lagi ketika Pilkada 2020 diiringi isu seputar oligarki politik, politik dinasti, maupun krisis meritokrasi parpol yang sayangnya kontraproduktif pada konteks Bobby.
Akan tetapi, peluang memang tak serta merta tertutup, apalagi Bobby disokong koalisi super besar yang tentu secara matematis dapat “diandalkan”. Selain itu, dalam tulisannya di The New Mandala, Marcus Mietzner menjelaskan bahwa dalam pemilihan lokal atau Pilkada di Indonesia, arah suara dapat ditentukan dari koneksi personal antara calon dengan masyarakat, hingga tendensi yang cenderung minor seperti buy votes atau “membeli” suara.
Faktor pertama terkait koneksi personal sendiri telah Bobby upayakan sejauh ini dengan melakukan pendekatan yang cukup “spartan” ke berbagai elemen masyarakat untuk mengisi gap sosoknya yang tak dapat dikatakan familiar dengan Kota Medan.
Sementara faktor kedua tampaknya menjadi realita yang cukup sulit untuk dielakkan dalam setiap ajang kontestasi elektoral di tanah air, di mana setiap pihak berpeluang melakukannya.
Di luar berbagai rintangan yang ada, koalisi parpol yang besar sendiri secara kasat mata sudah menjadi satu kekuatan tersendiri yang mengiringi langkah dan peluang positif Bobby di Pilkada mendatang.
Karenanya, hal tersebut membuat pertarungan di Kota Medan akan menjadi yang paling menarik dibandingkan ratusan edisi Pilkada 2020 lainnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.