Kiprah The Squad di House of Representatives AS yang digawangi politisi perempuan menyita perhatian publik. Langkah progresif mereka cukup berani mendobrak kemapanan politik AS. Melihat hal tersebut, mungkin ada yang berharap kelompok serupa muncul di Indonesia.
Selama beberapa waktu terakhir, ada satu kelompok politik yang cukup menyita politik Amerika Serikat (AS). Kelompok tersebut adalah The Squad, sebuah grup di House of Representatives yang berasal dari Partai Demokrat.
Bukan tanpa alasan The Squad begitu menyita perhatian publik AS dan bahkan dunia. Mereka sempat menjadi sasaran kata-kata rasis dari mantan Presiden AS Donald Trump, sesuatu yang kemudian ia anggap bukanlah hal yang rasis.
Di luar itu, sebenarnya bukan itu penyebab mereka menjadi begitu amat dibicarakan dan dalam kadar tertentu jadi harapan. Mereka memiliki agenda politik progresif yang begitu mendobrak politik AS.
Tak hanya agenda politik progresif, mereka juga memiliki identitas yang relatif mirip, yaitu politisi perempuan yang kerap dikategorikan sebagai people of colour.
Baca Juga: Jokowi, Biden, dan Perang Dingin Baru
Memang, belakangan The Squad ketambahan anggota yang tak sesuai dengan kategori tersebut. Meski demikian, kehadiran mereka memberi harapan baru tentang politik perempuan.
Kemunculan mereka kemudian bisa saja direfleksikan ke kondisi lain. Salah satunya, kapankah ada The Squad dalam versi lain? Secara spesifik, mungkinkah ada The Squad versi Indonesia?
Meet The Squad
Seperti disebutkan di atas, The Squad sebenarnya belakangan disebut-sebut sudah ketambahan anggota baru, yaitu Cori Bush dan Jamaal Bowman pada tahun 2020. Meski begitu, untuk tulisan ini, yang akan dibahas adalah adalah The Squad periode awal.
Hal ini terkait dengan isu politik perempuan yang akan dibahas lebih banyak dalam tulisan ini. Seperti diketahui, Bowman adalah seorang laki-laki sehingga agar konteks lebih jelas, The Squad yang dimaksud adalah The Squad awal yang berisi empat politisi perempuan.
The Squad awalnya terdiri empat anggota House of Representatives yang terpilih pada tahun 2018. Anggota kelompok ini adalah Alexandria Ocasio-Cortez dari New York, Ilhan Omar dari Minnesota, Ayanna Pressley dari Massachusetts, dan Rashida Tlaib dari Michigan.
Istilah The Squad sendiri boleh jadi berakar dari kiriman Ocasio-Cortez di Instagram. Kala itu, ia mengabadikan momen mereka berempat di media sosial dengan caption cukup sederhana yaitu “Squad”.
Postingan itu kemudian viral dan meraih banyak sambutan positif. Sejak saat itu, The Squad kerap menjadi headline karena menggambarkan sekelompok perempuan yang berusaha mendobrak kemapanan politik di AS.
Meski demikian, perlu dicatat pula, bagi media sayap kanan, istilah The Squad justru kerap digunakan dalam sisi yang relatif tak terlalu positif.
Terlepas dari hal itu, kemunculan The Squad yang membuat mereka sangat dibicarakan adalah kemampuan mereka untuk menjadi representasi yang progresif. Mereka mampu mewakili demografi yang lebih beragam baik dari segi etnis maupun usia.
Tak hanya itu, mereka juga mendorong berbagai kebijakan progresif semacam Green New Deal, Medicare for All, pembebasan college debt, hingga kenaikan upah minimum. Tak jarang, mereka harus berhadapan dengan petinggi Partai Demokrat sendiri untuk mendorong ragam kebijakan tersebut.
Kiprah mereka kemudian menjadi gambaran dan harapan bagaimana representasi perempuan dapat memiliki agenda perubahan penting. Sesuatu yang kerap diharapkan di berbagai politik di mana pun.
Kuantitas Representasi
Dalam kadar tertentu, kehadiran The Squad dapat menjadi gambaran bagaimana representasi perempuan dapat memberikan pengaruh. Memang, jalan mereka masih cukup panjang, tetapi langkah mereka yang berupaya untuk menggugat status quo dalam politik yang notabene didominasi laki-laki.
Nah, dari kondisi tersebut, boleh jadi ada yang mengharapkan perwakilan perempuan layaknya The Squad di Indonesia. Boleh jadi, ada yang berharap perwakilan perempuan di DPR bisa bersikap progresif dan mendorong ragam kebijakan baik dan penting di Tanah Air.
Sebenarnya, jika dikaitkan dengan kuantitas, representasi perempuan di Indonesia cukup menjanjikan harapan. Pada hasil Pemilu 2019 lalu, persentase keterwakilan mencapai 20,52%, naik dari periode sebelumnya yang ada di angka 17,86%.
Tak cuma itu, untuk pertama kalinya negeri ini juga punya perempuan dalam diri Puan Maharani di pucuk pimpinan DPR.
Sekilas, angka kuantitatif ini cukup memberi senyuman bagi keterwakilan politik di Indonesia. Namun, apakah dari sisi kualitas terutama dari sisi progresivitas mereka sudah bisa disejajarkan dengan The Squad?
Kondisi ini sebenarnya bisa dikaitkan dengan berbagai RUU yang masuk dalam bahasan DPR. Sejauh ini, belum banyak terlihat kiprah representasi perempuan yang punya isu progresif layaknya Ocasio-Cortez dan kawan-kawan.
Tak hanya itu, untuk isu yang berbau perempuan sendiri seperti RUU PKS, beberapa representasi perempuan justru lebih suka mendorong RUU lain seperti RUU Ketahanan Keluarga. Sebuah rancangan regulasi yang boleh jadi tak sepenuhnya sejalan dengan isu progresif perempuan.
Baca Juga: Manuver Budiman di Bukit Algoritma
Hal ini membuat boleh jadi, untuk saat ini, banyak masyarakat Indonesia masih berstatus menanti The Squad ala Indonesia, alih-alih sudah memiliki dan menaruh haapan kepada mereka.
Perkara Representasi
Perkara representasi ini sebenarnya sudah cukup lama dibahas oleh Hanna Pitkin. Ia membagi representasi menjadi representasi formal, representasi deskriptif, representasi substantif, dan representasi simbolis.
Representasi formal merujuk pada perwakilan yang berfokus pada regulasi dan prosedur dalam pemilihan perwakilan. Lalu, representasi deskriptif adalah kondisi di mana perwakilan sudah berdiri untuk yang diwakili.
Representasi substantif kerap didefinisikan sebagai bersikap atas kepentingan yang diwakili dalam sikap yang sangat responsif. Terakhir, representasi simbolis merujuk pada kondisi wakil yang sudah berdiri untuk mereka yang diwakili, dengan penekanan pada simbolisasi.
Dalam kadar tertentu, The Squad versi AS boleh jadi sudah melewati representasi yang bersifat formal belaka. Boleh jadi, mereka juga tak hanya mewakili simbol semacam wilayah atau identitas lain sehingga beberapa mungkin menganggap mereka juga tak cocok dikategorikan sebagai representasi simbolis.
Bisa dikatakan kalau The Squad dengan sikap progresif dan berani berbeda pendapat sudah dalam sisi stand for yang diwakili. Perkara mereka tergolong representasi deskriptif dan substantif akan tergantung subjektivitas yang mengamati.
Lalu, bagaimana dengan perwakilan perempuan di Indonesia?
Jika melihat kiprah sejauh ini, banyak orang mungkin akan menganggap kehadiran perempuan di DPR masih didominasi oleh hal yang berbau formalitas. Memang, tak bisa dimungkiri ada perwakilan individual yang punya ikhtiar politik lebih baik. Namun, sejauh ini mereka masih kesulitan memunculkan perubahan besar atau setidaknya mendapat perhatian.
Masih Terkait Aktor Lain
Sebenarnya, perwakilan perempuan di DPR sendiri bisa saja terkekang oleh berbagai institusi yang menyelimuti mereka. Tak hanya itu, ada juga aktor-aktor lain yang bisa saja membuat mereka tak bisa menjadi representasi yang lebih substantif.
Hal itu digambarkan misalnya oleh penelitian dari Karen Celis, Sarah Childs, dan Jennifer Curtin. Mereka menggambarkan kalau strong representation of women atau representasi perempuan yang kuat amat tergantung pada aktor-aktor penting di sekelilingnya.
Nah, jika mengambil contoh sosok Puan Maharani sebagai Ketua DPR, apakah ia sudah cukup mampu sepenuhnya mewakili perempuan?
Baca Juga: Bukit Algoritma, Cita-Cita Semu?
Pertanyaan itu muncul karena ia berasal dari PDIP, partai yang di mata banyak orang dinilai masih berpusat di sosok ketua umumnya. Tak hanya itu, ia juga berasal dari trah Soekarno, di mana beberapa orang mungkin akan menganggap bahwa masih ada embel-embel laki-laki dalam keterpilihannya.
Sempat ada harapan dengan munculnya politisi perempuan muda seperti Puteri Komarudin atau Hillary Brigitta Lasut. Namun, apakah kiprahnya sudah bisa direfleksikan dengan sosok muda seperti Ocasio-Cortez atau Omar?
Puteri adalah anak perempuan dari politisi Golkar Ade Komarudin. Lalu, Hillary adalah putri dari Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelberd Lasud. Dalam kadar tertentu, bisa saja masih ada pengaruh dari sosok maskulin dalam keterpilihan mereka.
Dari kondisi tersebut, boleh jadi keberadaan aktor lain itu membuat mereka tak terlalu bersikap “stand for” untuk kebijakan penting.
Merujuk pada kondisi tersebut, The Squad versi Kartini Indonesia untuk saat ini masih harus perlu dinantikan. Banyak PR yang harus dibenahi baik dari sisi Pemilu, maupun dari partai politik. Jika hal itu sudah terwujud, kandidat terpilih layaknya Ocasio-Cortez dan kawan-kawan bisa saja mewarnai politik negeri ini. (H33)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.