Putusan MK tentang sengketa Pilpres 2019 tinggal menghitung waktu. Seperti apa putusan yang dinanti ini dapat diprediksi?
Pinterpolitik.com
Detik-detik menuju penetapan hasil sidang sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah semakin dekat. Setelah melewati rangkaian persidangan yang dibumbui berbagai drama, ketokan palu dari para hakim menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat tanah air.
Semula, tenggat untuk menghasilkan putusan dari rangkaian persidangan tersebut adalah 28 Juni 2019. Meski demikian, MK tampak akan mempercepat waktu putusan dari target, yaitu menjadi tanggal 27 Juni 2019.
Bukan tanpa alasan putusan dari sidang ini menjadi amat dinanti-nanti. Secara alamiah, putusan para hakim ini akan menentukan nasib kepemimpinan nasional selama lima tahun ke depan. Di luar itu, putusan MK ini juga bisa saja memiliki dimensi sosial, di mana saat ini beragam aksi dihelat terkait Pilpres termasuk juga soal persidangan di MK.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 misalnya, sudah menyebarkan publikasi tentang aksi massa ini dengan tajuk “aksi super damai” dan dibalut dengan acara halalbihalal akbar.
Terlihat bahwa putusan MK nanti menjadi hal yang benar-benar penting dengan dimensinya yang tak tunggal bagi masyarakat dan boleh jadi bagi elite di Indonesia. Lalu, seperti apa kira-kira putusan MK nanti?
Tak Tentukan Pemenang
Boleh jadi, putusan apa nanti yang akan dihasilkan murni hanya para hakim yang paling tahu. Meski begitu, bukan berarti hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Ada beragam dimensi yang membuat putusan itu menjadi hal yang bisa diprediksi.
Salah satu prediksi putusan yang bisa muncul dari palu para hakim tersebut adalah putusan nanti boleh jadi akan bersifat ambivalen. Hal ini terutama jika merujuk pada gugatan Prabowo-Sandi yang menyebut bahwa jalannya Pilpres 2019 diwarnai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Jika melihat berbagai proses persidangan di layar kaca, secara kasat mata awam, sulit untuk bisa menentukan apakah kecurangan TSM tersebut sudah terjadi. Para saksi dan berbagai bukti yang disajikan kubu Prabowo kerap menjadi perdebatan banyak orang dan dianggap tak terlalu kuat untuk mempengaruhi hasil.
Meski demikian, sulit pula untuk tidak mencium bahwa telah terjadi ketidakwajaran dalam jalannya Pilpres 2019 ini. Perkara Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang setiap tahun selalu bermasalah adalah fakta yang sulit untuk tidak dicerna sebagai bagian dari Pilpres tahun ini.
Selain soal kecurangan, permohonan yang diajukan secara resmi oleh tim hukum Prabowo juga terkait dengan status pemenang dari Pilpres 2019. Mereka misalnya menyatakan bahwa perolehan suara Pilpres 2019 seharusnya adalah 52 persen suara sah untuk Prabowo dan 48 persen untuk Jokowi. Selain itu, mereka juga meminta MK mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf karena status dari sang cawapres yang dianggap masih menjadi karyawan BUMN.
Boleh jadi, para hakim nanti akan bersikap ambivalen dan tak akan memberi label TSM tersebut kepada Pilpres 2019. Mereka bisa saja mengakui bahwa ada kecurangan atau setidak-tidaknya kelalaian dalam Pilpres lalu, tetapi tak akan dilabeli TSM seperti yang diklaim oleh tim hukum Prabowo.
Oleh karena itu, melalui sikap ambivalen tersebut, MK bisa saja diprediksi tak akan menentukan pemenang melalui putusan yang akan mereka bacakan nanti.
Dua Komponen
Ambivalensi kerap diasosiasikan dengan sesuatu yang memiliki dua komponen baik itu positif atau negatif. Terkadang, hal ini kerap dianggap sebagai sesuatu yang menggambarkan ketidakpastian karena memiliki campuran dari dua perasaan.
Valency dalam ambivalensi ini kerap terkait dengan psikologi, terutama terkait dengan emosi di mana terdapat unsur positif dan negatif dari suatu situasi. Valency ini kerap menjadi salah satu unsur dalam menentukan penilaian atau judgement dari seseorang.
Perkara ambivalensi ini dalam hal peradilan sendiri pernah dibahas oleh Paul J. Mishkin dalam The Uses Of Ambivalence: Reflections On The Supreme Court And The Constitutionality Of Affirmative Action.
Putusan MK bisa saja tak putuskan siapa pemenang Pilpres 2019. Ada dinamika yang terlalu mahal jika mereka paksakan putuskan pemenang. Share on XDalam tulisan tersebut, Mishkin menggambarkan bahwa Mahkamah Agung kerap harus dihadapkan dengan masalah prinsip dan politik. Di satu sisi, mereka harus membuat keputusan berdasarkan prinsip yang ada, tetapi di sisi yang lain mereka juga harus melihat masalah sosial yang tidak dapat ditolak begitu saja.
Merujuk pada hal tersebut posisi ambivalen bisa saja diambil oleh para hakim. Dalam kadar tertentu, meski kerap dianggap menggambarkan ketidakpastian, keputusan ini dapat efektif jika terjadi persimpangan soal prinsip dan politik tersebut.
Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, terlihat bahwa perkara emosi dan juga politik adalah hal yang amat terkait dengan ambivalensi. Perkara emosi ini boleh jadi akan menjadi salah satu pertimbangan selain fakta-fakta persidangan yang dapat mempengaruhi hasil putusan MK.
Ikuti Dinamika
Berdasarkan hal tersebut, MK tak akan jadi pihak yang memberikan trofi kemenangan kepada Jokowi maupun Prabowo. Hal ini juga terkait dengan wewenang MK sendiri sebagai lembaga yang menangani persengketaan Pemilu.
Putusan ambivalen tersebut sekilas seperti sesuatu yang mengambang dan tak memiliki sikap. Meski demikian, dalam kadar tertentu, hal ini bisa menjadi gambaran sikap terutama dalam menghadapi berbagai dinamika politik pasca Pilpres 2019.
Di satu sisi, sikap ambivalen dengan tidak memutuskan siapa yang menang dan kalah, boleh jadi akan menjadi penentu dalam urusan pecah atau tidaknya masyarakat terkait dengan Pilpres. Dalam kadar tertentu, putusan yang lebih aman ini bisa saja meredam potensi perpecahan di negeri ini.
Jika MK memutuskan menentukan pemenang dengan menerima permohonan Prabowo, maka potensi perpecahan boleh jadi akan tetap ada. Suara pendukung Jokowi, terlepas dari klaim BPN Prabowo berbau kecurangan, terlampau besar untuk tidak diakui begitu saja.
Hal serupa juga berlaku jika MK secara serta merta mengakui bahwa pemenang dari Pilpres 2019 adalah Jokowi. Pendukung Prabowo, selama beberapa waktu terakhir tampak begitu militan menyuarakan dugaan kecurangan dalam Pilpres tahun ini. Oleh karena itu, jika militansi mereka tak diakui, potensi pecah belah juga berpotensi tetap ada.
Di luar itu, putusan ambivalen tersebut bisa saja sejalan dengan dinamika yang tengah terjadi di antara elite politik saat ini. Saat ini, tengah kuat berhembus kabar bahwa kedua kubu yang berkompetisi, Jokowi dan Prabowo akan melakukan rekonsiliasi atau dalam kadar tertentu akan melakukan kohabitasi.
Salah satu indikasi dari hal tersebut misalnya terjadi akibat isu pertemuan antara Prabowo dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan. Selain itu, beredar pula kabar bahwa rekonsiliasi benar-benar terjadi, maka kubu Jokowi akan memprioritaskan Partai Gerindra yang nota bene adalah partai utama pendukung Prabowo.
Putusan yang tak memenangkan salah satu kubu bisa saja lebih ramah dengan wacana kohabitasi antara kedua kubu tersebut. Jika MK misalnya memutuskan untuk menerima permohonan Prabowo misalnya, komunikasi yang tengah terjalin antara kedua kubu bisa saja kembali putus, atau lebih buruk para elite bisa saja menjadi seteru tanpa akhir yang berpotensi merembet hingga ke para pendukung.
Seperti yang disebut sebelumnya, ambivalensi memang amat terkait dengan perkara emosional. Oleh karena itu, putusan yang bersifat ambivalen sangat penting untuk menjaga emosi politik dari berbagai pihak terkait agar tak terus panas dan bahkan mengeskalasi jadi lebih tinggi.
Pada akhirnya, hal ini semua masih sebatas prediksi. Putusan resminya ada di tangan para hakim selaku pengetuk palu paling akhir dalam berbagai drama Pilpres tahun ini. Lalu, kalau prediksimu, seperti apa putusan yang akan diambil oleh MK? #berikanpendapatmu (H33)