Punya serangkaian agenda kebijakan saja ternyata tak cukup bagi orang berkuasa. Perlu ada agenda kekuasaan agar kebijakan itu bisa berjalan sempurna.
Pinterpolitik.com
Siapa yang tidak ingat dengan Kartu Prakerja, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, hingga Kartu Sembako? Ketiga kartu ini menjadi jualan utama kebijakan Joko Widodo (Jokowi) saat berkampanye. Selain ketiga kartu sakti ini, sebenarnya ada banyak ragam kebijakan Jokowi yang akan dijalankan jika dilantik sebagai presiden untuk kedua kalinya.
Soal kebijakan, Jokowi boleh jadi memang jagonya. Sejak muncul di Pilpres 2014, ia sudah memiliki beragam program dan kebijakan yang membuatnya terlihat berbeda. Istilah seperti tol laut dan poros maritim sempat menjadi program andalan utama Jokowi di Pilpres 2014.
Meski kebijakan semacam ini penting, ada pandangan lain tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin menjalankan kuasanya ketika dia benar-benar berkuasa. Dalam artikel yang ditulis di laman Vox, digambarkan bagaimana power agenda atau agenda kekuasaan adalah hal yang penting, bahkan ketika dihadapkan dengan policy agenda atau agenda kebijakan.
Menurut artikel yang ditulis oleh Ezra Klein tersebut, digambarkan bahwa Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS) memerlukan agenda kekuasaan bukan hanya agenda kebijakan saja ketika mendapatkan kekuasaan. Hal ini bisa saja berlaku dalam konteks Indonesia, terutama bagi Jokowi yang kini di ambang kemenangan Pilpres 2019.
Lalu bagaimana agenda kekuasaan dan agenda kebijakan ini akan bertemu di pemerintahan Jokowi? Apakah sudah ada agenda kekuasaan dari Jokowi ketika nanti ia benar-benar dilantik?
Tak Cukup Agenda Kebijakan Saja
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, soal kebijakan Jokowi boleh jadi memang jagonya. Di setiap upayanya menjalani pemilihan, hampir selalu ada agenda kebijakan baru yang menarik. Di mata sebagian orang, agenda kebijakan yang dikampanyekan dapat dianggap sebagai terobosan baru yang reformis.
Tak ada yang dapat memungkiri bahwa pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi sangat terkenal dengan berbagai agenda kebijakannya seperti revolusi mental, tol laut, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sejahtera. Hal tersebut berlanjut di Pilpres 2019 di mana ia mengenalkan Kartu Prakerja, KIP Kuliah, dan Kartu Sembako.
Tidak di masa kampanye saja, garis kebijakan Jokowi selama lima tahun menjabat di periode pertama juga menggambarkan bahwa ia memiliki agenda khusus. Pembangunan infratruktur menjadi hal yang amat identik dengan lima tahun pertama Jokowi.
Jokowi butuh power agenda untuk bisa menjalankan berbagai policy agenda-nya. Share on XMemang, implementasi atau kesuksesan dari berbagai program tersebut dapat menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Meski demikian, melalui rangkaian kebijakan yang ada, terlihat bahwa Jokowi dapat dikategorikan memang benar-benar punya agenda kebijakan ketika mendapatkan kursi orang nomor satu.
Meski demikian, punya agenda kebijakan saja barangkali tidak cukup. Agar semua rencana dapat tereksekusi dengan baik, idealnya memang ada agenda kekuasaan yang melengkapinya. Hal ini penting agar tidak muncul pertanyaan tentang apa yang akan dilakukan dengan kekuasaan yang begitu kuat seperti pada kursi presiden.
Menurut peneliti Roosevelt Institute, Nell Abernathy, Darrick Hamilton, dan Julie Margetta Morgan, sebagaimana dikutip Vox, konsentrasi kekuasaan adalah masalah, sehingga melakukan redistribusi kekuasaan seharusnya menjadi solusi.
Dalam artikel tersebut digambarkan bahwa gagasan untuk mendorong kebijakan untuk menyelesaikan masalah tanpa melakukan konfrontasi dengan struktur kekuasaan di balik masalah itu merupakan kunci bagi kegagalan kebijakan. Hal tersebut mereka gambarkan terjadi di AS era Bill Clinton dan Barack Obama.
Di Lingkaran Para Elite
Tulisan milik Abernathy, Hamilton, dan Morgan itu sebenarnya lebih banyak membahas bagaimana para elite-elite ekonomi dan orang kaya memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi pemerintah. Meski demikian, masalah orang-orang yang memiliki kekuasaan ini boleh jadi bisa diperluas dari tidak hanya terbatas pada elite-elite ekonomi dan elite-elite politik.
Tentu, sulit untuk tidak menutup kemungkinan bahwa elite-elite ekonomi di Indonesia juga memiliki peran untuk mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Meski demikian, dalam konteks Indonesia, banyak indikasi bahwa elite-elite politik memiliki peran dominan dalam mempengaruhi pemerintahan.
Dalam konteks ini, sudah menjadi bahasan publik bahwa pemerintahan Jokowi tidak imun dari intervensi elite-elite politik di sekelilingnya. Salah satu yang paling sering mengemuka adalah wacana Jokowi sebagai “petugas partai” dari PDIP, terutama Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri.
Di luar PDIP, tentu partai-partai lain juga bisa memberi pengaruh tersendiri kepada Jokowi. Meski begitu, sebagai partai dengan kontribusi suara dan kursi paling besar bagi Jokowi, PDIP secara alamiah punya cengkeraman lebih erat ketimbang partai lain. Apalagi, partai ini telah bersama Jokowi sejak dirinya melaju sebagai Wali Kota Solo.
Tak hanya itu, pengaruh dari elite-elite politik ini juga bisa muncul dari elite lain seiring dengan posisi Jokowi yang tak punya modal politik sementereng kelompok tersebut. Tokoh-tokoh militer, terutama mereka yang besar di era Orde Baru misalnya, disinyalir bisa memberikan pengaruh dalam berbagai kebijakan di pemerintahan Jokowi.
Tokoh-tokoh seperti Wiranto dan Hendropriyono tampak memiliki pengaruh cukup besar dalam beberapa langkah yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Salah satu indikasi paling nyata dari hal ini adalah terkait penanganan dan pernyataan lingkaran pemerintah dalam menanggapi dinamika di Pilpres 2019 lalu.
Wiranto sebagai Menkopolhukam misalnya, sempat membentuk tim untuk mengawasi ucapan tokoh terkait dengan Pilpres 2019. Sementara itu, Hendropriyono pernah melontarkan sebuah pernyataan yang dianggap berbau sentimen ras saat meminta WNI keturunan Arab tak menjadi provokator pasca gelaran tersebut. Di atas kertas, gerak-gerik kedua jenderal ini boleh jadi tak menggambarkan sosok Jokowi yang cenderung reformis.
Agar Agenda Lebih Sempurna
Seperti disebutkan sebelumnya, hanya mempercayai gagasan bahwa dengan kebijakan saja bisa memperbaiki berbagai masalah, adalah hal yang belum cukup. Tanpa melakukan konfrontasi kepada struktur kekuasaan yang ada di belakangnya, berbagai langkah yang diambil berpotensi menimbulkan kegagalan dalam kebijakan.
Merujuk pada kondisi tersebut, idealnya Jokowi punya power agenda yang memadai jika benar-benar serius mengatasi berbagai masalah yang ada di negeri ini. Tanpa mengecilkan berbagai rencana dan capaian kebijakannya, Jokowi harus mampu menyelesaikan masalah kekuasaan yang ada di sekelilingnya agar agenda reformisnya dapat terlaksana secara sempurna.
Idealnya, Jokowi tahu betul bahwa dirinyalah orang punya kuasa dan bisa meminimalisasi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Membiarkan orang-orang ini punya kekuasaan lebih bisa membuat berbagai agenda kebijakannya menjadi terhambat.
Seperti yang tergambar pada penanganan keamanan pasca Pilpres, orang-orang di sekitar Jokowi justru melancarkan manuver yang boleh jadi sama sekali tak menggambarkan dirinya. Oleh karena itu, pihak-pihak semacam ini idealnya bisa diminimalisasi perannya agar berbagai kebijakan dan pernyataan kubu pemerintah selalu sejalan dengan policy agenda yang telah direncanakan.
Sebagaimana disebutkan di atas, redistribusi menjadi kata kunci untuk menjalankan power agenda yang kuat. Dalam kadar tertentu, Jokowi idealnya mampu meredistribusi kekuatan yang ada di sekelilingnya seperti dari PDIP dan elite-elite politik lainnya.
Ada berbagai opsi yang bisa diambil untuk melakukan redistribusi kekuatan tersebut. Salah satu yang bisa diambil adalah dengan mengambil porsi elite-elite politik yang ada di lingkaran Jokowi saat ini untuk diredistribusikan ke pihak lain. Jika perlu, pihak yang ada di luar koalisi ini bisa diberi distribusi kekuasaan ini agar pemerintahan tak goyah, sekaligus juga situasi nasional tak terus panas.
Terlepas dari apapun, Jokowi adalah pihak yang paling memiliki kuasa dibandingkan dengan elite-elite politik di sekelilingnya. Saat ini, ia sudah mendapatkan dukungan rakyat cukup besar, sehingga seharusnya para elite sudah mulai bisa diminimalisasi perannya. Oleh karena itu, ia sudah selayaknya punya power agenda di pemerintahannya agar berbagai policy agenda bisa memberikan manfaat luas dan tak berujung pada kegagalan kebijakan. (H33)