Cita-cita agar air sungai Citarum dapat diminum masih sulit diwujudkan. Persoalan limbah di sungai ini begitu sulit dipecahkan.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]ir yang bersih tidak seharusnya berwarna hitam dan berbau. Pemandangan seperti ini bisa ditemui di sungai terpanjang kebanggaan masyarakat Jawa Barat (Jabar), Sungai Citarum. Persoalan di sungai sepanjang 269 km ini seolah tidak kunjung selesai. Persoalan ini menyita perhatian banyak orang, bahkan hingga presiden.
Presiden Joko Widodo menaruh perhatian serius pada Sungai Citarum. Secara khusus, Jokowi menggelar rapat terbatas untuk membahas revitalisasi sungai kaya sejarah ini. Pencemaran sungai ini harus segera dihentikan. Ia menyadari betul bahwa sungai ini memiliki peran bagi kehidupan masyarakat.
Perhatian serupa juga berlaku pada kandidat-kandidat pada Pilgub Jabar 2018. Sebagian besar kandidat sepakat bahwa revitalisasi Citarum adalah agenda yang penting. Beberapa kandidat bahkan menjadikan pembersihan sungai ini menjadi salah satu prioritas utama.
Menarik bagaimana Citarum menjadi perhatian para politisi. Sungai ini memang acap menyedot perhatian banyak orang. Meski begitu, nyatanya persoalannya tidak kunjung selesai. Sungai ini hingga sekarang masih juga menjadi lautan limbah. Ada apa sebenarnya di Citarum?
Citarum Sumber Kehidupan
Sungai Citarum memiliki posisi vital di daerah yang dilaluinya. Membentang dari Bandung hingga Jakarta, sungai ini kaya akan sejarah. Sungai ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda. Sebagaimana sungai pada umumnya, Citarum berperan dalam peradaban di wilayah sekitarnya.
Selain kuat secara historis, sungai kebanggaan masyarakat Jabar ini juga memiliki peran dalam aspek-aspek kehidupan di sekitarnya. Bisa dikatakan bahwa sungai ini adalah sumber kehidupan bagi masyarakat yang dilewatinya. Ada sekitar 27,5 juta penduduk yang menggantungkan hidup pada sungai ini.
Dari sungai inilah, banyak masyarakat di wilayah sekitar Jabar mengaliri sawah mereka. Diperkirakan ada 420 ribu hektare sawah yang memanfaatkan air Citarum sebagai irigasi. Bahkan aliran sungai ini, kabarnya punya kontribusi bagi 15,41 persen produksi padi nasional.
Selain untuk pertanian, air dari Citarum juga menjadi sumber air minum bagi masyarakat Jabar dan DKI Jakarta. Disebutkan bahwa 80 persen air minum warga Jakarta, disumbang dari sungai ini.
Potensi sungai Citarum juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Arus sungai tercatat menghasilkan total listrik sebesar 1.888 MW. Ada tiga waduk yang menjadi sumber listriknya, yaitu Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Cirata.
@Dadan_Ramdan_ :DAS Citarum Rusak&Tercemar Karena Salah Kebijakan Tata Ruang&Wilayah DAS. Cekungan Bandung Hrs Terbebas dari Industri Polutif https://t.co/pixBa9oJ17 @KementerianLHK @kemaritiman @jokowi @aheryawan @atr_bpn
— WALHI JABAR (@walhijabar) January 16, 2018
Meski memiliki peran yang sangat penting, sayangnya sungai ini justru dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Citarum masuk ke dalam jajaran 10 besar sungai paling tercemar di dunia. Jika melihat kondisinya, Citarum tidak nampak sebagai sungai yang bisa memberi kehidupan. Berbagai jenis limbah telah mencemari sungai yang hulunya berada di Gunung Wayang ini.
Dalam sebuah catatan, disebutkan bahwa pencemaran limbah di Sungai Citarum sudah mencapai tingkat yang serius. Diperkirakan ada 280 ton limbah kimia per hari yang masuk ke badan sungai. Selain itu, diperkirakan pula limbah kotoran dari ternak memberi kontribusi limbah lebih dari 400 ton per hari.
Sampah juga menjadi sumber polusi dari sungai sepanjang 269 km ini. Berdasarkan Survei Kodam III Siliwangi, disebutkan sebanyak 20.462 ton sampah organik dan anorganik dibuang ke Sungai Citarum.
Citarum Sebagai Komoditas Politik
Begitu buruknya kondisi Sungai Citarum, membuat banyak orang memberikan perhatian. Berbagai LSM dan aktivis lingkungan misalnya, menaruh perhatian khusus pada kondisi sungai ini. Tidak hanya itu, akademisi-akademisi jempolan pun menawarkan berbagai solusi untuk memulihkan sungai ini.
Di pemerintahan sendiri, kondisi Citarum yang begitu memprihatinkan sampai juga ke meja orang nomor satu negeri ini. Revitalisasi Sungai Citarum ternyata menjadi salah satu agenda utama dalam masa pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, revitalisasi menjadi amat penting karena peran Citarum begitu vital bagi kehidupan.
Di tingkat lokal, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher) juga begitu peduli dengan kondisi sungai ini. Secara khusus, ia membentuk forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum untuk menyelesaikan persoalan ini. Ia berharap, di tahun 2018, air dari sungai ini sudah bisa diminum.
Kini, jelang Pilgub Jabar 2018, para kandidat pemilihan tersebut juga ikut berbondong-bondong menunjukkan kepeduliannya pada sungai yang bermuara di Laut Jawa ini. Mereka menjadikan Citarum sebagai salah satu komoditas politik utama di Tanah Pasundan.
Pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi contohnya, memiliki cita-cita jangka pendek untuk membersihkan Sungai Citarum. Sementara itu, pasangan TB Hasanudin-Anton Charliyan dititipkan agenda merawat Citarum oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Kini tahun 2018 sudah tiba, tetapi tanda-tanda air Citarum dapat diminum belum juga terlihat. Jika sudah banyak orang yang peduli, mengapa permasalahan di Sungai ini tidak kunjung selesai?
Sulitnya Membersihkan Lautan Limbah
Sulitnya membongkar persoalan di Sungai Citarum terjadi karena kompleksitas yang ada di wilayah ini. Lautan limbah tidak kunjung terurai karena banyaknya pihak yang saling terkait dalam upaya revitalisasinya. Menko Polhukam Wiranto mengatakan ada banyak calo, pemalak, broker, hingga praktik pungutan liar yang membuat kondisi sungai terpanjang di Jawa Barat itu sangat buruk.
Di atas kertas, jika semua orang benar-benar peduli pada sungai ini, maka permasalahannya pasti sudah bisa diatasi. Meski begitu, sudah hampir 30 tahun, berbagai upaya masih juga belum menunjukkan dampak yang signifikan.
Industri adalah salah satu pihak yang kerap menjadi kambing hitam dari buruknya kualitas Sungai Citarum. Wajar, sebab ada sekitar ribuan industri yang membuang limbah ke badan sungai ini. Ada sekitar 53 persen limbah industri yang dibuang ke Sungai Citarum tanpa dikelola terlebih dahulu. Artinya, sebagian besar limbah yang dibuang, adalah limbah beracun (B3) karena belum diproses terlebih dulu.
Memulihkan Citarum: Mulai Dari Limbah Industri #MelawanLimbah. Selengkapnya di: https://t.co/sAFINlWhOp pic.twitter.com/VKop73QMmY
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) January 6, 2018
Karena itu, saat ini pemerintah tengah melakukan pengawasan terhadap 81 perusahaan di wilayah Karawang yang diduga kerap melakukan pembuangan limbah ke sungai secara langsung. Perusahaan tersebut, didominasi oleh industri tekstil yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Bahkan diperkirakan sekitar 90 persen dari 3.236 industri tekstil di sepanjang aliran Sungai Citarum, tidak memiliki IPAL. Akibatnya, air limbah yang dibuang memiliki kadar racun yang amat tinggi. Besarnya jumlah industri tanpa IPAL ini, juga dituding akibat adanya peran Pemerintah oleh para aktivis lingkungan.
Kesalahan terbesar adalah pemberian izin pembuangah air limbah industri yang serampangan, akibat pemerintah tidak menyadari dampai limbah bagi Sungai. Salah satu perusahaan yang terbukti melanggar tersebut adalah PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, dan Five Star Textile Indonesia. Untungnya, Mahkamah Agung telah membatalkan pemberian izin pembuangan limbah bagi ketiga perusahaan ini.
#gerakanTidak agar citarum kembali Bestari..
Setuju? Mari dukung, mari saling mengingatkan.. pic.twitter.com/jg5H40qqO9— Ahmad Heryawan (@aheryawan) March 30, 2016
Masalah perizinan ini, memang pada akhirnya tidak terlepas dari proses penerbitan izin itu sendiri. Karena sudah bisa ditebak bila didalamnya juga akan berkaitan dengan praktik korupsi. Sebab bila tidak ada korupsi dibaliknya, bisa jadi lembaga yang memberikan izin pembuangan limbah tersebut, tidak kompeten dalam melakukan tugasnya.
Selain itu, dari segi penegakan hukum bagi pelaku pembuang limbah pun menjadi sorotan. Sebab selama ini, Pemerintah dinilai tidak melakukan pengawasan dan penindakan hukum yang cukup bagi pelakunya. Tidak ada hukuman yang tegas bagi pelaku, terutama industri yang membuang limbah ke Citarum.
Di sisi lain, ditemukan pula kalau ada oknum TNI yang berperan dalam menjaga kelanggengan Citarum tetap kotor. Belakangan, ditemukan ada oknum TNI yang justru ikut serta dalam pencemaran Sungai Citarum. Oknum ini mengaku memiliki perusahaan pengelolaan limbah medis, namun pada kenyataannya, limbah itu hanya ia buang ke sungai. Oknum tersebut, kini harus menghadapi urusan hukum dengan Polisi Militer.
#ayobersihkancitarum 4 : Tuips pilih kondisi sungai citarum yang mana (PIC KIRI atau PIC KANAN) ???@humasjabar @ElshintaBandung @PRFMnews @ridwankamil @aheryawan pic.twitter.com/3OshtowFu4
— Kodam III/Siliwangi (@kodam3siliwangi) October 26, 2017
Kasus tersebut adalah ironi. Sebab selama ini Kodam Siliwangi memberikan perhatian serius pada pembersihan Sungai Citarum. Pangdam Siliwangi Doni Monardo terbilang getol menyuarakan pembersihan Citarum, karena itu penting untuk terus menelusuri adanya oknum TNI lain yang justru mencemari Citarum.
Berdasarkan permasalahan yang ada, menempatkan pencemaran Citarum sebagai komoditas politik adalah hal yang wajar. Namun jika terbatas di jargon saja, maka masa kegagalan revitalisasi Citarum tidak akan pernah ada penyelesaiannya. Menanti kesadaran industri dan masyarakat adalah hal yang terlampau lama diwujudkan. Pemerintah harus mulai bertindak tegas pada semua yang terlibat, termasuk internal pemerintah sendiri.
Koordinasi yang baik adalah kunci bagi persoalan ini. Koordinasi yang baik dapat menjadi solusi agar air Sungai Citarum menjadi layak untuk diminum. (H33)