Baru-baru ini, politisi PKS Bukhori Yusuf mengusulkan agar Satgas Covid-19 menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menjaga ketahanan spiritualitas karena dapat meningkatkan imun tubuh. Di berbagai daerah, ulama juga digandeng untuk menyosialisasikan protokol kesehatan. Mungkinkah ulama dapat memberikan pengaruh signifikan dalam penanganan pandemi Covid-19?
“Terlalu dini untuk berbicara tentang kematian agama” – Karen Armstrong dalam The Case for God: What Religion Really Means
Tentu sudah terlambat untuk menyetop tebaran teori-teori konspirasi seputar Covid-19 di tengah masyarakat. Peliknya, teori-teori tersebut tidak hanya sekedar menjadi topik-topik diskusi di warung kopi, melainkan juga telah berkonsekuensi untuk menurunkan kedisiplinan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan Covid-19.
Sadar akan pentingnya kedisiplinan tersebut, baru-baru ini Gubernur Sumatera Utama (Sumut) Edy Rahmayadi menggandeng sejumlah tokoh, termasuk para ulama untuk mengajak warganya agar dapat mematuhi protokol Covid-19. Secara khusus, Edy meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut untuk terlibat aktif menyampaikan pesan tersebut.
Hal serupa juga dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor pada pertengahan Agustus lalu. Menyambut baik permintaan tersebut, Ketua Idaroh Wustho Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdiyyah (Jatman) Kalsel, KH Syakerani Naseri turut menegaskan siap membantu pemerintah dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat maupun mendoakan agar pandemi segera berakhir.
Selain untuk menyosialisasikan protokol kesehatan, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf juga memberikan pandangan menarik mengapa Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan Covid-19 harus menggandeng MUI dalam penanganan pandemi. Menurutnya, menjaga kondisi spiritual masyarakat juga penting karena ketahanan spiritualitas berpengaruh secara signifikan terhadap daya tahan tubuh seseorang dari serangan virus.
Bukhori sendiri mengutip penelitian Harold G Koenig, Faten Al Zaben, dan Doaa Ahmed Khalifa yang berjudul Religion Spirituality and Mental Health in The West and The Middle East. Dalam penelitian tersebut, disebutkan bahwa spiritualitas dan keyakinan agama memiliki pengaruh pada kesehatan mental bagi penderita depresi, stres, dan mampu mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Di titik ini, tentu menarik untuk dipertanyakan, seberapa efektif pelibatan ulama dalam melakukan sosialisasi protokol kesehatan Covid-19? Jika efektif, haruskah Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin selaku ulama senior diberikan peran khusus dalam hal ini?
Spiritualitas Mendahului Sains?
Bagi mereka yang membaca buku Steven Pinker yang berjudul Enlightment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress mungkin akan memandang sinis pendapat Bukhori ataupun saran-saran yang mengedepankan pendekatan spiritualitas lainnya.
Bagaimana tidak, pembelaan atas sains merupakan jantung dari buku tersebut. Misalnya dalam pembahasan mengenai Kesehatan, Pinker menyoroti bagaimana Homo Sapiens (manusia) dulunya begitu menderita karena melawan penyakit dengan cara-cara kreatif, seperti doa, ritual kurban, bekam, hingga operasi pengaliran darah.
Akselerasi kemudian terjadi pada akhir abad ke-18 dengan ditemukannya vaksin, penerimaan teori kuman penyakit, pembersihan sanitasi, dan sebagainya. Singkat jawaban Pinker, akselerasi ini terjadi karena sains. Sains adalah aktor utamanya.
Bagi para pembaca Pinker, dalam menangani pandemi Covid-19 saat ini, memberikan peran besar bagi para epidemiolog, pakar kesehatan, dan tenaga medis tentunya menjadi suatu kemutlakan. Pandangan tersebut tentu sangat tepat. Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat, pandemi bukan hanya bencana kesehatan, melainkan juga merupakan bencana sosial.
Artinya, penempatan sudut pandang kesehatan saja tidak dapat dilakukan untuk menangani bencana multi-aspek seperti pandemi Covid-19. Seperti yang disorot oleh Bukhori, aspek sosial seperti spiritualitas juga tidak dapat diremehkan. Suka atau tidak, kepercayaan atas spiritualitas sebenarnya jauh lebih dalam daripada kepercayaan atas sains.
Karen Armstrong dalam bukunya The Case for God: What Religion Really Means mencatat, kendati sekularisme dan ateisme tidak lagi dipandang sebagai istilah pelecehan sejak abad ke-20 – seperti yang diramalkan oleh Friedrich Nietzsche – kelaparan atas spiritualitas dan penolakan terhadap rasionalisme ilmiah nyatanya tetap terjadi.
Bahkan menurut Armstrong, fundamentalisme agama yang kerap dipandang sinis oleh para pengkritik agama justru hadir sebagai respons atas ketakutan nyata atas seruan penghapusan agama dari etos modern.
Greg Fealy dalam bukunya Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer juga menyebutkan bahwa globalisasi dan modernitas di perkotaan yang kerap menghamparkan kehidupan yang gersang secara spiritual, telah mendorong masyarakat untuk mencari kepastian moral, pengayaan spiritual, dan identitas yang saleh.
Sebagaimana diketahui, fenomena hijrah di masyarakat urban telah menjadi semacam tren sendiri saat ini. Singkatnya, ini tentu menunjukkan bahwa di tengah mewahnya peradaban modern, pencarian spiritualitas nyatanya tetap menjadi suatu kebutuhan.
Tiddy Smith dalam tulisannya The Common Consent Argument for the Existence of Nature Spirits dapat membantu kita menjawab mengapa kebutuhan spiritualitas begitu sulit dihilangkan. Mengutip penelitian dari Hervey Peoples, Pavel Duda, dan Frank Marlowe, yang menganalisis 33 kelompok pemburu terisolasi di Afrika sub-Sahara, Austronesia, Rusia, dan Amerika, uniknya ditemukan bahwa semua dari mereka percaya pada spiritualitas, khususnya animisme.
Berbeda dengan kasus kepercayaan atas sains yang membutuhkan transfer informasi antar kebudayaan dan globalisasi, kepercayaan spiritualitas nyatanya tetap terbentuk bahkan di kelompok masyarakat terisolasi. Suka atau tidak, ini menunjukkan bahwa kepercayaan spiritualitas jauh lebih dalam dan “asli” daripada sains yang baru datang setelahnya.
Menanti Peran Ma’ruf
Mengacu pada kondisi Indonesia yang merupakan negara religius, pendekatan merangkul ulama untuk menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19 tentunya merupakan pilihan yang tepat. Diakui atau tidak, dengan adanya kondisi disparitas pendidikan, tokoh masyarakat seperti ulama masih menjadi primadona di daerah pedesaan.
Terlebih lagi, ulama saat ini juga memiliki popularitas yang menyaingi, bahkan melebihi para influencer. Sebut saja Ustadz Abdul Somad (UAS) yang bahkan pernah diusulkan menjadi wapres, Ustadz Adi Hidayat, Buya Yahya, hingga Habib Novel Alaydrus Solo. Saat ini, media dakwah juga telah bertransformasi, para pendakwah telah banyak memanfaatkan platform media sosial seperti YouTube dan Instagram yang memang tengah digandrungi, khususnya oleh milenial.
Sejak Juni lalu, Wapres Ma’ruf Amin sebenarnya telah meminta agar seluruh ulama di daerah, melalui perwakilan MUI, membantu pemerintah dalam menyampaikan pentingnya menaati protokol kesehatan Covid-19. Akan tetapi, sampai saat ini arahan tersebut tampaknya tidak menunjukkan aktualisasi yang signifikan.
Menimbang pada posisi Ma’ruf sebagai ulama senior, pemerintah sebenarnya dapat membentuk badan khusus yang diketuai sang kiai untuk mengkoordinasi ulama dalam sosialisasi tersebut. Pasalnya, sampai saat ini pelibatan ulama masih terlihat sporadis alias hanya merupakan inisiatif kepala daerah.
Seperti yang kerap ditegaskan oleh Ma’ruf, penanganan pandemi Covid-19 dari pemerintah akan percuma apabila tidak terdapat kedisiplinan dari masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.
Selain itu, secara politik, pelibatan resmi ulama juga dapat mendatangkan dampak positif. Sedikit tidaknya, ini dapat mengikis sentimen minor kelompok tertentu bahwa pemerintah saat ini seperti menduakan kelompok Islam. Narasi itu sendiri masif terdengar sejak gelaran Pilpres 2019 lalu.
Bagaimana pun juga, narasi-narasi di warung kopi yang menyebutkan suara umat Islam hanya dijadikan tunggangan politik harus direspons dengan serius oleh pemerintah.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa Ma’ruf dapat menjawab sentimen minor publik yang mempertanyakan perannya di pemerintahan dengan memimpin para ulama untuk menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19. Jika berhasil, itu tentunya menjadi prestasi politik yang sangat baik untuk dikenang publik. Apalagi, ini juga dapat menjadi cara pemerintah untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan para ulama.
Tentu kita berharap, pemerintah dapat menelurkan usaha-usaha terbaiknya untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)