Hari Raya Idulfitri 1441H yang dirayakan beberapa hari lalu kerap menjadi momen tepat untuk memohon maaf kepada satu sama lain. Bagaimana dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)? Perlukah pemerintahan Jokowi meminta maaf kepada masyarakat?
PinterPolitik.com
“I really apologize for everything right now” – Kanye West, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Masyarakat Indonesia – khususnya umat Islam – baru saja merayakan Hari Raya Idulfitri 1441H beberapa hari lalu. Tentu saja, hari besar satu ini menjadi salah satu perayaan yang paling ditunggu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tak dapat dipungkiri bahwa Idulfitri adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu karena, pada hari besar inilah, banyak warga berangkat pulang kembali ke kampung halaman masing-masing untuk bertemu dengan sanak keluarga. Selain melepas kangen, mudik juga menjadi momen untuk saling meminta maaf atas kesalahan masa lalu.
Orang tua, kakak, adik, kakek, nenek, paman, bibi, hingga sepupu tak luput dari permohonan maaf. Begitu juga dengan para tetangga yang akan saling mengunjungi rumah masing-masing.
Tak ada gelar griya (open house), mudik, atau salat Ied di lapangan pada hari Lebaran tahun ini. Memang ini berat, tapi kita alami dan hadapi bersama-sama.
Semoga pandemi ini segera berlalu agar kita dapat bertemu dan saling melepas rindu. pic.twitter.com/eLxggxylcW
— Joko Widodo (@jokowi) May 24, 2020
Seluruh lapisan masyarakat juga ikut serta untuk merayakan hari besar ini. Baik presiden, pengusaha, pedagang, jurnalis, hingga mahasiswa dan mahasiswi biasanya akan menjalankan kebiasaan dan tradisi lebaran.
Namun, semua tradisi itu tak dapat dijalankan sepenuhnya akibat pandemi virus Corona (Covid-19) yang tengah merongrong Indonesia. Bagaimana tidak? Virus satu ini disebut-sebut dapat menular dengan sangat cepat dari satu orang ke orang lainnya.
Meski pandemi menghantui, ucapan maaf tetap diupayakan untuk disalurkan melalu jejaring daring (online). Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Ibu Negara Iriana misalnya beberapa hari lalu turut mengucapkan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia sebagai bagian dari tradisi lebaran melalui sebuah video.
Namun, sepertinya, tak semua orang puas dengan permohonan maaf yang disampaikan oleh Jokowi tersebut. Direktur Eksekutif Government and Political Studies (GPS) Gde Siriana Yusuf misalnya berkomentar bahwa Presiden Jokowi seharusnya tidak hanya sekadar menyampaikan permohonan maaf ala tradisi lebaran saja.
Menurut Gde, rakyat membutuhkan lebih dari sekadar permohonan maaf yang merupakan basa-basi saja. Rakyat dianggap perlu mendapatkan kata maaf dari Jokowi akibat berbagai kebijakan yang dinilai telah melukai rakyat.
Bukan tidak mungkin sebagian masyarakat merasa dirugikan dengan berbagai kebijakan dan tata kelola yang dinilai belum baik. Soal penanganan pandemi Covid-19 misalnya, pemerintah dianggap terlambat dalam merespons.
Pertanyaannya, mengapa pemerintahan Jokowi dianggap perlu meminta maaf kepada masyarakat Indonesia? Lantas, apa manfaat yang dapat diperoleh dengan meminta maaf?
Kata Maaf dari Pemimpin
Permintaan maaf dari seorang pemimpin bisa jadi dianggap penting oleh publik. Pasalnya, sosok pemimpin dianggap tidak hanya mewakili dirinya, melainkan bisa institusinya atau kelompok yang dibawahinya.
Barbara Kellerman dalam tulisannya di Harvard Business Review setidaknya menyebutkan beberapa fungsi (purpose) dari permintaan maaf yang bersifat publik, yakni fungsi individual (individual purpose) bila pemimpin melakukan kesalahan, fungsi institusional (institutional purpose) bila bagian dari institusi yang dibawahi pemimpin melakukan kesalahan, fungsi antarkelompok (intergroup relations) dengan tujuan untuk memperbaiki relasi dengan kelompok yang dirugikan, dan fungsi moral (moral purpose) guna mencari pemberian maaf dan penebusan kesalahan (redemption).
Setidaknya, Kellerman menyebutkan bahwa permintaan maaf yang dilontarkan ke publik oleh pemimpin dapat berdampak positif. Bahkan, bukan tidak mungkin publik akan memberikan maaf apabila permintaan maaf pemimpin tersebut dapat dilakukan dengan baik.
Kellerman mencontohkannya dengan permintaan maaf yang dilakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton terkait isu perselingkuhan yang dijalaninya dengan seorang pegawai magang di Gedung Putih yang bernama Monica Lewinsky. Dengan permintaan maaf yang diungkapkannya ke publik, Clinton dapat menekan pembicaraan di media dan dapat kembali berfokus menjalankan tugasnya sebagai presiden.
Bahkan, tingkat kepercayaan publik kepada Clinton dianggap tetap kuat. Hingga beliau berhenti menjadi presiden, Clinton memiliki tingkat kepercayaan publik sebesar 66 persen.
Lantas, bagaimana caranya Clinton dapat meminta maaf dengan baik?
Setidaknya, Kellerman menjelaskan bagaimana para pemimpin dapat memberikan permintaan maaf yang baik kepada publik. Dalam permintaan maaf tersebut, harus terkandung pengakuan akan kesalahan, penerimaan akan tanggung jawab, ekspresi penyesalan, dan janji agar kesalahan tak terulang.
Hal inilah yang dilakukan oleh Presiden Taiwan Tsai Ing-wen terkait penyebaran Covid-19 yang terjadi di sebuah kapal militer yang ada di bawah benderanya. Tsai bahkan mengaku bahwa itu merupakan kesalahan beliau karena menganggap kesalahan tersebut dapat merugikan kesehatan masyarakat.
Bahkan, bukan sekali ini saja Tsai melontarkan permintaan maaf. Di luar isu pandemi Covid-19, Tsai juga pernah meminta maaf kepada komunitas adat di Taiwan akibat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan di masa lampau.
Boleh jadi, seringnya permintaan maaf yang dilontarkan oleh pemimpin Taiwan satu ini berhubungan dengan budaya dan nilai yang diyakini oleh masyarakat Asia Timur. Lantas, bagaimana sebenarnya budaya minta maaf di masyarakat kawasan tersebut?
Belajar dari Asia Timur
Tak hanya di Taiwan, budaya minta maaf di Asia Timur – seperti Jepang – memang disebut-sebut penting dalam nilai dan norma yang diyakini. Sebagian besar masyarakat negara-negara tersebut menganggap permintaan maaf sebagai bagian dari sistem kolektivis.
Bagi yang suka menonton anime atau membaca manga, kata maaf mungkin tak jarang keluar dari para tokoh yang ada dalam kisah tersebut. “Gomen nasai,” adalah salah satu frasa yang sering muncul dalam karya-karya khas Jepang tersebut.
Bukan tidak mungkin banyaknya kata-kata tersebut di anime dan manga Jepang adalah refleksi dari nilai yang diyakini oleh masyarakat. Pasalnya, permintaan maaf (apology) seperti ini dianggap menjadi bagian yang integral dalam sistem nilai dan norma masyarakat negara tersebut.
Asumsi ini turut disebutkan oleh Hiroshi Wagatsuma dan Arthur Rosett dalam tulisan mereka yang berjudul The Implications of Apology. Setidaknya, Wagatsuma dan Rosett menyebutkan bahwa permintaan maaf dianggap penting dalam setiap persoalan – khususnya resolusi konflik.
Lantas, mengapa permintaan maaf dianggap penting dalam masyarakat Asia Timur seperti Jepang?
William W. Maddux dan tim penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Cultural Differences in the Function and Meaning of Apologies menjelaskan bahwa budaya minta maaf di Jepang ini berhubungan dengan tipe masyarakat yang ada di negara tersebut, yakni masyarakat yang termasuk dalam kategori collective-agency.
Bila dibandingkan dengan konsepsi permintaan maaf dalam budaya Barat yang menekankan pada pengakuan akan kesalahan dan tanggung jawab, budaya minta maaf di Jepang lebih menekankan pada perbaikan hubungan antarpersonal. Orang Jepang akan meminta maaf guna mengakui interkoneksi dan rasa utang (indebtedness) kepada orang-orang lain.
Inilah mengapa permintaan maaf juga kerap dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Jepang. Bahkan, setiap permintaan maaf publik turut diikuti dengan sikap membungkuk (bowing) di depan para awak media.
Selain Jepang, budaya minta maaf juga diterapkan oleh masyarakat Korea Selatan (Korsel). Hampir sama dengan Jepang, Andrew Sangpil Byon dalam tulisannya yang berjudul Apologizing in Korean menjelaskan bahwa tujuan dari permintaan maaf di masyarakat Korsel adalah untuk mengembalikan harmoni antara peminta maaf dan penerima maaf dalam masyarakat yang kolektivis.
Maka, tidak heran apabila terdapat seorang pemimpin agama di Korsel yang akhirnya meminta maaf kepada publik sambil membungkuk akibat penularan Covid-19 yang dituding terjadi di gerejanya. Permintaan maaf itu ditujukan untuk mengekspresikan rasa penyesalannya akan apa yang telah terjadi (remorse).
Mungkin, dengan belajar pada negara-negara Asia Timur, Jokowi bisa saja juga perlu menunjukkan permintaan maafnya kepada publik akibat banyak kebijakannya yang dianggap tidak sesuai. Kebijakannya untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah kondisi pandemi misalnya dianggap membuat banyak masyarakat merasa tertekan guna mendapatkan akses kesehatan yang lebih terjangkau.
Boleh jadi, permintaan maaf dapat menjadi cara agar publik dapat merasa terkoneksi kembali dengan pemimpinnya seiring dengan meningkatnya kritik publik terhadap penanganan pandemi di bawah pemerintahan Jokowi. Lagi pula, seorang pemimpin tetaplah harus menjaga harmoni dalam hubungannya dengan rakyat. Bukan begitu? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.